Dalam kurun waktu 2 tahun, Perindo bertransformasi menjadi partai politik yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Hary Tanoesoedibjo (HT) menunjukkan totalitasnya dalam membangun Perindo menjadi kendaraan politik dengan basis yang kuat.
PinterPolitik.com
“In truth, I care little about any party’s politics – the man behind it is the important thing” – Mark Twain (1835-1910), penulis
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada tahun 1876 Mark Twain menulis kata-kata di atas dalam sepucuk surat untuk sahabatnya yang juga seorang penulis, William Dean Howells (1837-1920). Tampaknya, setelah hampir satu setengah abad, kata-kata itu masih relevan untuk menjelaskan dunia politik, terutama di Indonesia. Salah satunya bisa dilihat pada Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Perindo mungkin masih menjadi pendatang baru dalam dunia politik di Indonesia. Namun, Partai yang dideklarasikan pada 7 Februari 2015 ini seolah membenarkan kata-kata Twain bahwa orang di balik partai inilah yang membuat perbincangan tentang topik ini menjadi menarik.
Dialah Hary Tanoesoedibjo – pebisnis yang juga sering dikenal dengan singkatan nama HT – tokoh utama yang mengubah basis bisnisnya menjadi kendaraan politik bernama Perindo. Kabar terbaru, HT telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam kasus ‘SMS kaleng’ yang disebut-sebut berisi ancaman terhadap Kasubdit Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Yulianto. Setelah sebelumnya menjadi polemik karena Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo terlebih dahulu mengumbar status tersebut di hadapan media, Polri akhirnya menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas kasus tersebut. Dalam SPDP itu, disebutkan bahwa terlapor HT telah ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan HT sebagai tersangka dalam kasus SMS kaleng ini tentu mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya besar. Apakah HT memang benar-benar memberikan ancaman pada penegak hukum ataukah ada hal lain di balik kasus ini?
Perindo: ‘Anak Baru’ yang Mengganggu?
HT bukanlah orang baru dalam dunia politik. Ia telah lama menjadi bagian dari kekuatan politik di Indonesia. Hal inilah yang membuat bagi sebagian orang, Perindo mungkin dianggap sebagai partai yang lahir dari ambisi HT yang tidak tercapai lewat partai politik yang pernah diikutinya. HT pernah bergabung dengan Golkar, Nasdem, dan Hanura. Namun, mungkin mimpinya atau tujuannya belum tercapai lewat partai-partai tersebut, sehingga HT mau tidak mau harus punya kendaraan politik sendiri.
Dalam kurun waktu yang singkat – kurang lebih dua tahun – HT berhasil mentransformasikan Perindo menjadi kekuatan politik yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Untuk statusnya sebagai partai politik, Perindo mengambil jalan pintas. Partai ini menggunakan badan hukum Partai Indonesia Sejahtera untuk mendaftar ke Kemenkum HAM. Perindo lantas sah menjadi partai terdaftar di Kemenkum HAM pada 9 Oktober 2014. Setelah sah diakui, Perindo kemudian mulai bergerilya ke daerah untuk menancapkan basisnya. HT menargetkan terbentuknya 7.000 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perindo di seluruh Indonesia.
Selain itu, keberhasilan HT juga sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk mengubah basis bisnisnya menjadi kendaraan politik. Bukan tanpa alasan predikat ‘mengubah basis bisnis menjadi kendaraan politik’ ini diberikan. Tengok saja dewan kepengurusan Perindo yang isinya sebagian besar kolega bisnis HT atau pun orang-orang penting dalam kerajaan bisnisnya. Syafril Nasution misalnya yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Partai merupakan salah satu Direktur di RCTI – salah satu stasiun televisi milik HT. Tiga dari lima anggota Mahkamah Partai Perindo merupakan kolega bisnis HT. Empat dari lima anggota Majelis Persatuan Partai juga diisi oleh kolega HT – selain juga oleh dirinya dan sang istri. Begitupun dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang juga diisi oleh beberapa kolega bisnis HT. Singkatnya, HT memanfaatkan kerajaan bisnisnya untuk menjadi penggerak partai – hal yang masih jarang dijumpai di Indonesia.
Lalu, bagaimana hasil perjuangan HT dan Perindo tersebut? Faktanya, elektabilitas Perindo sejauh ini cukup menjanjikan, jika menilik beberapa hasil survei yang pernah dilakukan oleh beberapa lembaga. Pada November 2016 lalu, Sinergi Data Indonesia (SDI) mengumumkan hasil surveinya yang menempatkan Perindo sebagai satu-satunya partai baru yang masuk enam besar daftar parpol dengan tingkat keterpilihan tertinggi. Tingkat keterpilihan Perindo mencapai 3,84 %. Angka ini mungkin masih kecil. Namun, posisi Perindo ada di atas PPP, PKS, Nasdem, dan PAN yang nota bene adalah partai-partai lama.
Lembaga lain, misalnya PolMark Indonesia mengeluarkan hasil survei yang bahkan telah menempatkan Perindo di posisi ke-4 dalam daftar partai-partai dengan tingkat elektabilitas tertinggi. Survei PolMark ini dilakukan dalam bentuk exit poll pada saat hari pencoblosan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua, 19 April 2017 lalu. Elektabilitas Perindo ada di angka 5,8 %. Adapun margin of error survei ini adalah plus-minus 3,6%.
Banyak yg tanya soal elektabilitas partai hasil ExitPoll PolMark Indonesia 19/4/2017 lalu. Ini ya ? 710 responden dari 400 TPS. MoE +/- 3,6% pic.twitter.com/GbdXTLfDcs
— Eep Saefulloh Fatah (@EepSFatah) April 25, 2017
Hal yang menarik dari survei PolMark ini adalah Perindo bahkan telah berada di atas Golkar, Nasdem, dan Hanura – tiga partai yang pernah diikuti oleh HT.
Dari hasil-hasil survei tersebut, keberadaan Perindo seolah telah menjadi ‘ancaman serius’ bagi partai-partai lama. Golkar misalnya, terlalu sibuk dengan friksi di internal partai dan akhirnya mulai semakin tergerus suaranya. Jika tetap dalam keadaan yang demikian, bukan tidak mungkin akan banyak suara Golkar yang berpindah ke partai lain.
Pertaruhan di 2019
Pertaruhan politik di tahun 2019 akan menjadi pembuktian serius seberapa besar HT dan Perindo telah membangun kekuatan politiknya. Dari sisi personal, HT memang punya ambisi untuk menjadi orang nomor satu – atau setidaknya nomor dua – di negeri ini. Walaupun demikian, pekerjaan itu masih sangat berat, apalagi saat ini HT telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus SMS kaleng.
Survei dari Media Survei Indonesia (Median) yang dirilis pada Februari 2017 lalu menempatkan HT di posisi ke-12 sebagai calon presiden pilihan warga DKI Jakarta. Posisi HT bahkan ada di bawah pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab yang ada di posisi ke-5. Bukan kebetulan juga keduanya saat ini sama-sama terkena kasus hukum.
Artinya, posisi HT saat ini belum menjanjikan untuk maju menjadi calon presiden. Namun demikian, posisinya tetap sangat vital di Perindo, mengingat tanpa HT, sepertinya tidak akan ada Perindo. Perindo adalah HT, dan HT adalah Perindo – sama halnya dengan kebanyakan oligark politik di Indonesia, sebut saja SBY dengan Demokrat, Megawati dengan PDIP, ataupun Prabowo dengan Gerindra.
Pertarungan politik di tahun 2019 juga akan menjadi pembuktian apakah investasi yang selama ini dihabiskan HT akan berbuah manis atau tidak. Bukan rahasia lagi, HT telah menghabiskan jumlah kekayaan yang tidak sedikit untuk Perindo. Pada tahun 2015 lalu, total kekayaan HT mencapai 1,5 miliar dollar. Namun, di tahun 2017, jumlahnya berkurang menjadi 1,1 miliar dollar – walaupun dalam daftar orang terkaya di Indonesia, peringkat kekayaan HT naik signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2016, yakni dari 29 menjadi 19. Dengan memperhitungkan nilai bisnis HT yang kemungkinananya sangat kecil merugi, boleh jadi ada sejumlah besar dana yang dihabiskan HT untuk membesarkan Perindo. Tanpa modal yang besar, tentu mustahil untuk mendirikan partai yang besar dan mempunyai cabang di seluruh wilayah Indonesia.
HT juga memanfaatkan penguasaannya atas media televisi untuk mengkampanyekan dirinya dan Perindo. Sebut saja lagu Mars Perindo yang menjadi begitu populer karena setiap hari diputar secara berulang-ulang di media-media televisi milik HT – walaupun saat ini telah dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Program-program sosial HT juga nampak dari program bantuan Perindo untuk UMKM, penyediaan ambulans, dan berbagai program lainnya. Semua program tersebut tentu saja butuh modal yang tidak sedikit.
Pertaruhan politik HT dan Perindo akan tergambarkan hasilnya di tahun 2019. Jika berbagai survei yang telah ada benar-benar menggambarkan hal yang riil, maka boleh jadi HT dan khususnya Perindo telah bertransformasi menjadi kekuatan politik yang tidak sekedar berasal dari kolega bisnis dan – boleh disebut – karyawan RCTI saja. Dan bagi partai-partai lama, hal ini tentu berbahaya.
Ke Mana Arah Perahu?
Saat ini, HT telah ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimana kelanjutan petualangan Perindo? Jika kemungkinan terburuknya, misalnya HT dipenjara, bagaimana nasib Perindo?
Marilah seluruh rakyat indonesia arahkan pandanganmu kedepan….~~ #np-marsperindo https://t.co/ovoqvANZ46
— Galih Noviandi (@galihdegal) June 23, 2017
Tentu saja Perindo akan kesulitan jika kasus hukum yang menjerat HT ini menjadi berlarut-larut. Di samping itu, boleh jadi – tanpa mengesampingkan asas praduga tak bersalah – apa yang menimpa HT merupakan keuntungan tersendiri bagi partai-partai lain. Artinya ada ‘saingan’ yang sedang menderita dan – boleh jadi – ‘penderitaannya’ juga karena disengaja? Tidak ada yang tahu. Dalam politik, ‘serigala-serigala sering memakai bulu domba’. Kasus hukum yang menimpa HT akan menjadi jalan terjal bagi perjuangan Perindo. Oleh karena itu, arah kemudi Perindo akan sangat tergantung pada nasib kasus hukum HT.
Pada akhirnya, harus diakui, Perindo telah menjadi partai yang tidak bisa dianggap enteng lagi. Awalnya mungkin banyak orang meremehkan ambisi HT mendirikan partai politik. Tidak sedikit pula yang mungkin menertawakannya. Namun, seperti kata Mahatma Gandhi:
“First they ignore you, then they laugh at you, then they fight you, then you win”,
boleh jadi HT sedang ada dalam tahap menuju ‘kemenangan’-nya. Dalam politik, tidak ada yang abadi. Kawan bisa menjadi lawan, lawan bisa menjadi kawan. Semuanya tergantung pada kepentingan. Tentu pertanyaannya adalah seberapa banyak ‘kawan’ dan ‘lawan’ yang dimiliki oleh HT? (S13)