Media internasional banyak memberitakan gagasan Islam Garis Tengah milik Ma’ruf Amin.
Pinterpolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]a’ruf Amin go International. Seperti itulah kira-kira yang tergambar dari berbagai pemberitaan media internasional terkait cawapres nomor urut 01 itu. Sosok yang semula jarang dibicarakan media asing, kini menjadi salah satu buah bibir karena buah pikirannya.
Sorotan media internasional kepada Ma’ruf muncul karena gagasannya terkait dengan Wasathiyah Islam atau dalam berbagai media disebut sebagai middle-way Islam. Ungkapan ini muncul setelah ia memaparkan sebuah pidato di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura beberapa waktu lalu.
Banyak yang menangkap bahwa ada kontradiksi atau perubahan sikap dari seorang Ma’ruf Amin. Ma’ruf, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara umum dianggap sebagai wajah konservatisme Islam yang cukup kental. Melalui gagasan Wasathiyah Islam, Ma’ruf dianggap sudah melakukan reinvention atau penemuan ulang terhadap jati dirinya, terlebih dalam menghadapi kontestasi politik Indonesia.
Perlu diakui, gagasan Islam tengah ala Ma’ruf memang tergolong menarik. Meski begitu, dengan reputasi Ma’ruf yang cenderung amat konservatif, benarkah ia sudah sepenuhnya melakukan reinvention tersebut?
Moderat
Wasathiyah Islam tampak menjadi gagasan utama Ma’ruf Amin dalam memikat dunia global. Terkenal sebagai sosok konservatif, gagasan tersebut seperti menjadi caranya untuk melakukan rebranding citra politik dirinya di mata dunia.
Menurut Ma’ruf, menegaskan kembali Islam moderat merupakan hal yang penting. Karakter Islam tersebut menurutnya merupakan karakteristik mainstream umat Islam di tanah air. Moderasi semacam ini hadir sebagai bentuk respons dari berbagai jenis ekstremisme bernapaskan agama.
Syaikhuna Prof. Dr. KH. Maruf Amin memberikan kuliah umum di Singapura: The Emergence of Wasatiyyah Islam: Promoting Middle Way Islam and Socio Economic Equality in Indonesia. pic.twitter.com/rfCeXN3MAa
— IG: @akmalmarhali (@akmalmarhali) October 17, 2018
Ada dua tren yang membuat Islam mengarah ke kutub ekstrem. Ada kutub yang cenderung intoleran, kaku, dan dapat dikategorikan sebagai ekstrem radikal. Sementara itu, ada pula kutub yang cenderung permisif dan liberal. Kedua kutub ekstrem ini perlu dijawab dengan moderasi Islam.
Ma’ruf menyebut bahwa gagasan ini bukanlah hal yang benar-benar baru. Ia menggambarkan bahwa ide tersebut merupakan semacam kompromi antara Islam politik dan nasionalisme – dua aliran politik utama Indonesia yang menguat sejak tahun 1945.
Pentingnya gagasan tersebut, membuat Ma’ruf ingin mempromosikan Wasathiyah Islam ke seluruh dunia. Secara khusus, menurut mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut gagasan Islam tengah ini dapat menjadi penjaga stabilitas dan harmoni di kawasan Asia Tenggara.
Gagasan itu tampaknya disambut cukup antusias oleh berbagai media internasional, terutama di negara-negara terdekat Indonesia. Pertanyaan mulai muncul, apakah sosok Ma’ruf dapat menjadi senjata andalan bagi Jokowi melalui gagasan Islam moderat-nya tersebut?
Dalam tulisan di RSIS yang ditulis oleh Yang Razali Kassim, melalui gagasan Wasathiyah Islam, mulai dipertanyakan apakah Ma’ruf akan menjadi senjata rahasia bagi Jokowi. Hal ini terutama gagasan Islam garis tengah semacam ini juga ditemukan di negara-negara seperti Malaysia dan Singapura.
Adaptasi
Untuk melihat pandangan Islam Wasathiyah ala Ma’ruf ini, penting untuk dilihat terlebih dahulu kiprah Ma’ruf selama ini. Greg Fealy dari Australian National University misalnya, menggambarkan Ma’ruf bukan sebagai sosok yang dimensinya tunggal. Profesor dari Universitas Islam Negeri (UIN) Malang ini disebutkan sebagai sosok yang dapat beradaptasi sesuai dengan kebutuhannya.
Penting pula untuk dilihat bahwa pada hakikatnya Ma’ruf juga sebenarnya adalah politisi. Ia memiliki masa lalu sebagai anggota legislatif mewakili PPP dan PKB. Hal itu kemudian menjadi semakin tegas tatkala sang kiai memutuskan untuk maju di Pilpres 2019.
Ma’ruf mau tidak mau akan tetap diingat melalui kiprahnya sebagai Ketua Komisi Fatwa dan juga pimpinan tertinggi di MUI. Berkaitan dengan kiprahnya tersebut, Ma’ruf tergolong sering menerbitkan fatwa yang berkenaan langsung dengan masyarakat. Sayangnya, beberapa fatwa sang kiai terkadang menimbulkan polemik di masyarakat.
Sang kiai kerap kali dianggap tidak memiliki toleransi melalui berbagai fatwanya. Ma’ruf misalnya pernah mengeluarkan fatwa larangan untuk mengucapkan selamat natal kepada masyarakat yang merayakannya. Dari kacamata kelompok pluralis-toleran, fatwa ini tergolong tidak mudah diterima. Selain itu, ia juga pernah mengeluarkan fatwa pelarangan kelompok Ahmadiyah yang dianggap berkontribusi pada kekerasan dan persekusi terhadap kelompok jamaah tersebut.
Puncak dari kontroversi Ma’ruf boleh jadi adalah saat ia mengeluarkan fatwa penistaan agama kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Fatwanya dianggap menimbulkan luka dalam di mana politik identitas pada akhirnya makin kuat muncul ke permukaan. Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid dianggap bersumber dari fatwanya tersebut.
Merujuk pada beragam kontroversi tersebut, banyak kelompok minoritas dan pro keberagaman merasa Ma’ruf bukanlah sosok yang benar-benar toleran. Pemahaman agamanya tergolong konservatif dan kerap mengancam kelompok-kelompok minoritas dan termajinalisasi.
Rekam jejak konservatif itu membuat banyak kalangan menyimpan ragu dan menganggap sikap Ma’ruf selama di MUI akan berlanjut saat memerintah. Meski demikian, Fealy tidak sepenuhnya sepakat dengan pandangan tersebut, hal ini terutama karena kemampuan Ma’ruf untuk beradaptasi pada lingkungan yang berbeda.
Fealy menemukan misalnya Ma’ruf belakangan mulai menurunkan porsinya untuk berbicara terkait hal-hal yang berbau agama. Ia kemudian lebih banyak membantu untuk meredam berbagai isu miring yang dialamatkan kepada pasangannya, Jokowi.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa Ma’ruf adalah sosok yang bisa mengejar beragam agenda dan menekan impuls konservatifnya sesuai dengan kepentingan yang ia perjuangkan. Lalu bagaimana dengan langkahnya mempromosikan Wasathiyah Islam ini?
Masih Konservatif?
Merujuk pada kondisi tersebut, antusiasme media-media internasional kepada Ma’ruf boleh jadi terburu-buru. Agenda Islam moderat yang ia gagas bisa saja hanya pertunjukan dari bagaimana ia mampu beradaptasi sesuai dengan kepentingannya.
Sebagai ulama yang dikenal konservatif, boleh jadi pemahaman awalnya tersebut belum sepenuhnya akan memudar. Ia hanya tengah menekan impuls konservatifnya tersebut untuk mengejar agenda dan kepentingan tertentu.
Dalam konteks tersebut, Ma’ruf boleh jadi tengah menunjukkan sisinya yang lain, yaitu sebagai politisi. Pidatonya di Singapura bisa saja hanya sebagai cara untuk mendapatkan kepentingannya sebagai politisi tersebut yang nota bene sedang bersaing memperebutkan dukungan jelang Pilpres 2019.
Secara khusus, pidato Wasathiyah Islam ini bisa saja hanya dimaknai sebagai upaya Ma’ruf merebut hati dunia internasional. Pidato tersebut boleh jadi hanya sebagai upaya meyakinkan masyarakat global bahwa ia bukanlah sosok konservatif seperti pada dua tahun yang lalu saat memicu demonstrasi berjilid-jilid untuk menentang Ahok, sang kepala daerah berlatar belakang minoritas.
Ma'ruf Amin jadi buah bibir media internasional karena pidatonya tentang Islam moderat. Share on XPelurusan sejarah ini boleh jadi krusial bagi seorang Ma’ruf Amin. Bagaimanapun, nilai-nilai toleransi cenderung lebih mudah diterima di dunia internasional ketimbang konservatisme yang selama ini melekat padanya. Hal ini terutama berlaku di dunia Barat.
Bisa saja Ma’ruf tengah memperbaiki citranya tersebut di mata Barat, apalagi, jika merujuk pada lokasinya di Singapura yang tergolong sebagai negara yang dekat dengan negara-negara Barat.
Promosinya yang gencar dalam hal Wasathiyyah Islam boleh jadi motifnya amat kental dengan perkara itu. Di titik ini, ia seperti tengah menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan seperti yang disebutkan Fealy. Ia seperti tahu harus menjual Islam moderat agar kepentingan politiknya dapat dimengerti dunia Barat. Meski begitu, boleh jadi pemahaman konservatifnya masih tertinggal, hanya impulsnya saja yang diredam.
Berdasarkan kondisi tersebut, berbagai media internasional ini boleh jadi terlalu terburu-buru menyambut gagasan Ma’ruf. Meski begitu, jika ia benar-benar berubah menjadi sosok yang lebih moderat, tentu hal ini perlu disambut baik. Boleh jadi, hal ini bisa menjadi amunisi berarti bagi ikhtiar politiknya bersama Jokowi. (H33)