Setelah Marsekal Hadi Tjahjanto dilantik Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI yang baru, pertanyaan muncul terkait jalan Jenderal Gatot Nurmantyo selanjutnya. Apakah the double green general ini masih akan ada di jalur politik proxy yang selalu digunakannya?
PinterPolitik.com
“The military don’t start wars. Politicians start wars.” – William Westmoreland (1914-2005), jenderal Amerika Serikat dalam Perang Vietnam
[dropcap]B[/dropcap]ukan tanpa alasan The Diplomat – sebuah majalah daring yang berpusat di Jepang – pernah menyebut Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai ‘the double green general’. Gatot dianggap sebagai sosok yang mewakili militer, pembela negara dan sekaligus pembela Islam. Sebutan the double green memang tidak berlebihan mengingat Gatot juga mewakili faksi terkuat dalam TNI: Angkatan Darat (AD) yang identik dengan warna hijau.
Kini, setelah Marsekal Hadi Tjahjanto dilantik sebagai pengganti Gatot untuk posisi Panglima TNI, pertanyaan-pertanyaan bermunculan terkait masa depan Gatot dan apa yang akan dilakukan oleh the double green pasca pensiun dari jabatannya di militer. Bahkan, masa depan Gatot menjadi topik perbincangan yang menarik, bukan hanya bagi pengamat politik yang muncul di prime time TV-TV berita, tetapi juga bagi para pemegang tampuk kekuasaan di partai politik.
1.Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan memasuki masa pensiunnya pada Maret 2018 mendatang.#JohnnyGPlate#JokowiPresidenku #NasdemPartaiku #BeJo#BentengJokowi#MenangBesarMenuju3Besar pic.twitter.com/krIaitdxvq
— Partai NasDem (@Official_NasDem) December 5, 2017
Partai politik beramai-ramai memperebutkan Gatot. Rumor politik yang berhembus menyebutkan kemungkinan Gatot akan merapat ke Partai Golkar atau Partai Nasdem. Apalagi, beberapa hasil survei – misalnya Poltracking – masih menempatkan Gatot sebagai calon wakil presiden dengan elektabilitas paling tinggi.
Sosok Gatot tentu saja cukup populer di kalangan masyarakat dan membuatnya punya potensi untuk terjun ke dunia politik. Namun, pertanyaannya adalah apakah Gatot bisa diterima secara internasional, mengingat berbagai kontroversi yang pernah ditimbulkannya termasuk teori proxy yang sering digunakannya untuk menjelaskan berbagai masalah keamanan dalam negeri? Apakah Gatot masih akan berada dalam jalan pemikiran politik tersebut pasca pensiun?
Teori Proxy Sang Jenderal Hijau
Proxy war adalah salah satu pemikiran politik yang paling diingat dari Gatot Nurmantyo. Oxford Dictionary mengartikan proxy war sebagai perang yang melibatkan dua kekuatan besar, namun keduanya tidak terlibat langsung dalam peperangan tersebut.
Proxy war bisa juga disebut sebagai pertarungan antara dua kekuatan besar dengan menggunakan ‘pemain pengganti’ untuk meminimalkan korban dari keduanya. Beberapa contoh proxy war misalnya antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di Vietnam dan beberapa negara lain saat perang dingin, atau antara Arab Saudi dengan Iran di Irak dan Yaman.
Tercatat, sejak 2014 Gatot mulai muncul ke permukaan dengan teori proxy-nya. Saat itu, Gatot masih menjabat sebagai Panglima Kostrad. Dalam kesempatan kunjungannya ke kampus-kampus atau momen tertentu, Gatot memang menyebut proxy war sebagai alasan utama kekacauan politik, ekonomi dan bahkan hukum yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Menurut Gatot, banyak negara luar yang ingin mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Majalah Gema Dipenogoro sempat memuat artikel kunjungan Gatot ke Universitas Dipenogoro, Semarang dan bagaimana ia menjelaskan bahaya proxy war tersebut terhadap Indonesia.
Gatot menyebut konflik di Timur Tengah akan bergeser ke negara-negara ekuator seperti Indonesia. Sumber utama konflik tersebut adalah energi dan makanan, termasuk daya tampung planet yang semakin berkurang, dan karena Indonesia kaya akan sumber daya alam, maka banyak negara mengincar negara ini.
Saat terpilih sebagai Panglima TNI pun banyak pengamat yang menyebut pilihan Presiden Jokowi sangat tepat karena Gatot paham tentang proxy war tersebut. Puncaknya adalah ketika Gatot tampil di salah satu acara di stasiun TV dan menyebut ada negara yang ingin menunggangi aksi-aksi bela Islam pada Desember 2016 lalu. Ia juga secara tegas menyebut ada pihak-pihak asing yang ingin menggulingkan kekuasaan Presiden Jokowi.
Berbagai pandangannya tersebut tentu mengejutkan dan membuat nama Gatot melambung tinggi. Secara politik, namanya juga muncul ke permukaan sebagai tokoh politik yang diperhitungkan. Tidak heran jika popularitas dan elektabilitas Gatot juga terus meningkat.
Namun, teori proxy Gatot membuatnya kurang disukai oleh beberapa negara. Amerika Serikat disebut-sebut sebagai salah satu negara yang tidak suka terhadap Gatot. Akibat proxy war yang selalu disebutnya, Gatot memang selalu menaruh curiga terhadap Australia dan Amerika Serikat.
Apalagi, Gatot sepertinya sadar bahwa Amerika Serikat adalah salah satu ancaman bagi Indonesia. Saat ini ada 13 pangkalan militer Amerika Serikat di sekeliling Indonesia, yang antara lain tersebar di Pulau Christmas, Pulau Cocos, Darwin, Guam, Filipina, Malaysia, Singapore, Vietnam, Kepulauan Andaman dan Nicobar. Tidak heran jika Gatot selalu mencurigai setiap aktivitas Amerika Serikat, terutama dari pangkalan-pangkalan yang terdekat.
Kantor berita asal Australia, ABC News menyebutkan kecurigaan ini sebagai salah satu alasan insiden penolakan terhadap Gatot saat akan berkunjung ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Gatot juga sering mengkritik kehadiran marinir Amerika Serikat di Darwin dan pernah menangguhkan kerja sama latihan dengan Australia terkait insiden Pancasila.
Sikap keras terhadap Amerika Serikat juga terlihat, misalnya ketika terjadi penahanan 2 tentara negeri Paman Sam tersebut yang disebut menyusup saat peringatan ulang tahun TNI pada awal Oktober 2017 lalu. Selain itu, aksi Gatot yang membuka persoalan pembelian senjata ilegal beberapa waktu lalu disinyalir juga membuatnya kurang disukai oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat.
Secara politik, apa yang dilakukan Gatot ini tentu menaikkan citra politiknya. Apalagi, nasionalisme Gatot juga membuatnya diterima di kalangan nasionalis. Namun, beberapa pihak menyebut apa yang dilakukan oleh Gatot ini hanyalah sebatas strategi politik untuk merengkuh kekuasaan, katakanlah demi posisi capres atau cawapres. Tetapi, apakah benar demikian?
What’s Next, Pak Gatot?
Pilihan Gatot untuk terjun ke politik akan cukup menentukan peta politik nasional, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan. Dengan segala pemahamannya tentang proxy war, Gatot tentu akan membawa warna pada politik Indonesia jika – misalnya – ia dipilih Jokowi sebagai calon wakil presiden. Walaupun diwarnai prediksi beberapa pengamat yang menyebut pamor dan elektabilitas Gatot akan turun setelah ia tak lagi menjabat sebagai Panglima TNI, kiprah the double green general tetap patut diperhitungkan.
Dalam konteks nasional, politik proxy yang digunakannya tentu mendukung tingkat keterpilihannya. Kekuatan politik ini bisa dilihat misalnya ketika Prabowo Subianto mulai memberikan lampu hijau dan mempersilahkan Gatot bergabung dengan Gerindra. Ajakan ini tentu punya banyak dimensi politis, namun salah satunya bisa diartikan sebagai upaya meredam pengaruh Gatot yang oleh banyak pollster dianggap paling berpeluang merebut hati pendukung Prabowo.
Semoga di segerakan pak Gatot merapat ke Gerindra..
— carloz (@19carloz33) December 9, 2017
Namun, dalam konteks internasional, hal sebaliknyalah yang bisa terjadi. Berbagai aksi dan teori proxy Gatot menggambarkan paham politik realisme – pandangan yang menempatkan kepentingan nasional (national interest) di atas segalanya.
Realisme juga memandang kerja sama internasional tidak punya peran sekuat negara itu sendiri dan selalu menganggap dunia internasional dipenuhi oleh anarkisme serta bersifat konfliktual, sehingga selalu melihat pola-pola tertentu sebagai bentuk ancaman.
Dalam konteks tersebut, posisi Gatot akan kurang diuntungkan, mengingat dalam politik kontemporer, saling ketergantungan antarnegara dan hubungan yang mutualis merupakan hal yang tidak bisa dihindari.
Apalagi jika benar selentingan bahwa pemimpin di Indonesia selalu harus mendapatkan ‘restu’ dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat. Realisme Gatot tentu akan kurang disukai oleh negara tersebut jika dibandingkan dengan jalan politik politisi lain yang lebih soft. Apalagi Gatot selalu mencurigai tindak-tanduk Amerika Serikat dan Australia.
Artinya, Gatot adalah daya tarik politik domestik yang patut diperhitungkan, namun secara internasional – khususnya terhadap Amerika Serikat – ia adalah sosok yang kurang disukai. Mungkin pertanyaanya adalah apakah sang jenderal akan tetap dengan politik proxy-nya pasca pensiun, atau mengubah jalan politiknya. Hanya Gatot yang tahu.
Pada akhirnya, jika pilihan untuk menjadi politisi diambil Gatot, maka ia mungkin akan mengalami apa yang dikatakan Jenderal Westmoreland di awal tulisan ini. ‘Perang tidak dimulai oleh militer, tetapi oleh para politisi’. (S13)