Luhut Binsar Pandjaitan masih akan menjadi tokoh penting dalam politik nasional beberapa tahun ke depan. Apakah ia masih akan mendukung Jokowi untuk periode kepemimpinan berikutnya?
PinterPolitik.com
“Bayangkan kalau kehebatan politik Pak Luhut muncul saat Gus Dur jadi presiden, enggak mungkin jatuh jadi presiden.”- Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB.
[dropcap]D[/dropcap]i belakang pemimpin yang besar selalu ada jenderal yang hebat. Mungkin itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Luhut Binsar Pandjaitan. Pria kelahiran Simargala, Sumatera Utara ini memang dianggap sebagai salah satu sosok penting dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mulai dari Kepala Staf Istana, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), dan kini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman adalah jabatan-jabatan yang menunjukkan pentingnya posisi Luhut di kabinet Jokowi.
Tidak heran jika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyebut jika kekuatan politik Luhut dulu sekuat saat ini, maka Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mungkin dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Kata-kata Cak Imin ini mungkin disampaikan dalam nada candaan, namun mengandung kebenaran yang sangat tersurat.
Bagaimanapun juga, Jokowi adalah presiden terlemah setelah Gus Dur – demikian kata Indonesianis Jeffrey A. Winters – karena tidak punya latar belakang partai politik dan militer. Kehadiran Luhut memberikan kekuatan politik pada Jokowi karena Luhut adalah seorang purnawirawan jenderal dan punya posisi cukup penting di Partai Golkar – dua hal yang memang sangat dibutuhkan oleh Jokowi.
Rappler dalam wawancaranya dengan Luhut pernah menyebut jenderal bintang empat tersebut sebagai salah satu orang yang paling dipercaya oleh Jokowi, bahkan boleh jadi melampaui tokoh politik manapun di sekitar pria kelahiran Solo itu – termasuk partainya PDI Perjuangan. Luhut disebut ‘memiliki’ telinga dan kepercayaan Jokowi.
Hal yang sama juga bisa dilihat dalam kasus pergantian Ketua Umum di Partai Golkar. Yunarto Wijaya dari Charta Politika menyebut posisi Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar juga akan sangat ditentukan oleh faktor Luhut.
Jika demikian, seberapa besar sebetulnya pengaruh politik Luhut? Akankah Luhut masih mendukung Jokowi untuk periode kekuasaan berikutnya?
Jokowi dan ‘The Luhut Factor’
Kolumnis Reuters, Kanupriya Kapoor dalam tulisannya pada Agustus 2015 menyebut Luhut Pandjaitan sebagai ‘one of the country’s powerful men’ karena pengaruhnya dan jabatannya saat itu sebagai Kepala Staf Kepresidenan – posisi yang baru ada pada pemerintahan Jokowi. Luhut dijuluki sebagai ‘the gatekeeper’ – penjaga gerbang – bagi Jokowi, bukan hanya karena latar belakang militer, tetapi juga skill ekonomi mumpuni yang dimilikinya.
Beberapa pihak menyebut Luhut sebagai the eloquent English-speaking politician atau politisi yang sangat fasih berbicara dalam Bahasa Inggris. Hal ini memudahkannya membawa kepentingan Jokowi ketika bertemu dengan investor asing.
Jika ditarik ke belakang, keputusan Jokowi menarik Luhut ke kubunya saat bertarung melawan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 adalah langkah yang sangat jenius – entah inisiatif itu datang dari Jokowi, tokoh politik lain, atau dari Luhut sendiri.
Yang jelas, Luhut membawa gerbong cukup besar dari Partai Golkar dan gerbong dukungan dari para purnawirawan TNI. Nama Jenderal (Purn) Try Sutrisno disebut-sebut sebagai salah satu sesepuh TNI yang ikut mendukung keputusan Luhut.
Kekuatan politik Luhut sangat jelas tergambar dari ketegasan kata-katanya ketika disinggung terkait kemungkinan ia diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar karena mendukung Jokowi. Jika tidak punya kekuatan politik, ia pasti akan langsung didepak oleh Golkar yang saat itu mendukung Prabowo. Tetapi hal itu tidak terjadi.
Selain itu, ‘faktor Luhut’ – jika boleh disebut demikian – menjadi sangat penting untuk Jokowi saat itu karena Luhut adalah ‘abang’ atau senior Prabowo Subianto di Kopassus. Luhut pernah menjabat sebagai Komandan Detasemen 81/Anti Teror, dan pada saat itu Prabowo adalah wakilnya. Hubungan senior-junior ini membuat Luhut hampir pasti mengetahui semua seluk beluk tentang Prabowo – hal yang bisa dibaca dalam biografi Sintong Panjaitan.
Luhut juga berperan penting dalam hubungan dengan oposisi di DPR. Jika bukan karena Luhut, sulit membayangkan program-program pemerintahan Jokowi bisa dimuluskan di parlemen. Ia juga dianggap sebagai salah satu tokoh utama ‘pembalik’ posisi Golkar, dari yang semula mendukung Prabowo, kemudian berbalik memenangkan pemerintahan Jokowi di parlemen. Emirza Adi Syailendra dari Rajaratnam School of Internastional Studies (RSIS) menyebut Luhut juga punya hubungan yang cukup baik dengan Setya Novanto.
Penyeimbang Kekuasaan
Namun, hal ini nyatanya membuat PDIP tidak begitu suka. Partai merah yang mengusung Jokowi ini menganggap Luhut dan jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan saat itu sebagai hal yang tidak diperlukan. PDIP juga merasa keberatan dengan dominannya kekuatan politik Luhut – mungkin karena merasa kepentingan partai banteng moncong putih itu jadi terganggu.
Banyak pengamat politik Indonesia menganggap jika bukan karena Luhut, maka pemerintahan Jokowi tidak akan mungkin bisa kuat menghadapi tekanan politik, termasuk dari partai-partai pendukung. Secara garis besar, keputusan Jokowi menunjuk beberapa purnawirawan militer dalam kabinetnya sesungguhnya menunjukkan cara presiden ‘terlemah setelah Gus Dur’ ini untuk menyeimbangkan kekuatan politik.
Bukan rahasia lagi jika oligarki-oligarki politik di sekitar Jokowi – termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) – selalu punya kepentingan tertentu dalam pemerintahan Jokowi. Emirza Adi Syailendra juga menyebut Luhut adalah orang yang merekomendasikan Rizal Ramli untuk diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman demi membendung dan mengkritisi program-program yang sarat kepentingan oligarki, salah satunya terkait program listrik 35 ribu MW. Keberadaan Luhut membantu Jokowi menyeimbangkan pengaruh Wapres JK di kabinet.
Walaupun demikian, keputusan Jokowi memindahkan Luhut ke posisi Menko Kemaritiman dari yang sebelumnya di pos Menkopolhukam juga dianggap sebagai cara Jokowi untuk sedikit menurunkan peran Luhut dan menunjukkan kekuasaannya sebagai presiden yang dipilih rakyat, sekaligus memasukkan kelompok penyeimbang lain – Wiranto – ke dalam kabinet.
Dalam konteks ‘kejeniusan’ strategi politik, Jokowi sepertinya paham betul bagaimana menyeimbangkan kekuatan politik dari banyak patron dalam kabinet kerjanya. Jokowi menggunakan pengaruh Luhut sebagai penyeimbang terhadap tekanan PDIP dan JK. Sebaliknya, ia juga menggunakan orang-orang PDIP (misalnya kader PDIP Pramono Anung di Seskab dan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan yang punya hubungan cukup hangat dengan Megawati) untuk meredam pengaruh Luhut jika berlebihan.
Pada saat yang sama, ada Wiranto dari kelompok lain yang juga sangat efektif menjaga keseimbangan kabinet. Cara paling sederhana untuk mengamati hal tersebut adalah dengan melihat posisi Menteri Koordinator yang ada di kabinet Jokowi.
Sejauh ini, strategi politik ini cukup berhasil, termasuk ketika Jokowi berhadapan dengan kubu oposisi dan patron politik lain di luar pemerintahan. Bahkan, dalam hubungan dengan oposisi, sejarah hubungan Luhut dan Prabowo sangat membantu Jokowi memastikan program pemerintah berjalan dengan baik. So, who is stronger, Jokowi atau Luhut?
What’s Next, Pak Luhut?
Di tengah menguatnya tensi politik menuju 2019, pertanyaan terbesarnya tentu saja adalah akan ke manakah Luhut? Apakah masih akan mendukung Jokowi untuk periode berikutnya?
Secara politis, posisi Menko Kemaritiman yang kini disandangnya adalah posisi yang sangat penting dan mungkin menjadi salah satu capaian tertinggi Luhut dalam kariernya. Jika Jokowi bisa memastikan Luhut untuk tetap mendukungnya di 2019, maka sangat sulit membayangkan Jokowi tidak menjadi presiden di periode berikutnya.
Namun, jika hal sebaliknya yang terjadi, maka Jokowi tentu saja akan kesulitan memenangkan kontestasi politik. Persoalannya tinggal apakah memori ‘abang-adik’ Luhut dan Prabowo bisa menjadi faktor pemutus rantai dukungan Luhut terhadap Jokowi atau tidak. Sekali lagi, faktor Luhut akan sangat menentukan kondisi politik di 2019.
Jika Prabowo benar-benar berambisi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini, membalikkan dukungan Luhut boleh jadi menjadi satu-satunya cara untuk mengalahkan Jokowi – mengingat nama terakhir seolah menjadi tokoh politik tanpa saingan belakangan ini.
Apakah hal itu mungkin terjadi? Sangat mungkin, karena politik itu sangat dinamis! Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)