Survei SMRC mengungkap bahwa banyak masyarakat takut bicara masalah politik. Kondisi ini bisa saja menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu.
Apakah mungkin masyarakat Indonesia mulai takut bicara politik? Mungkin, pertanyaan ini terdengar biasa saja. Meski begitu, boleh jadi ada indikasi bahwa warga mulai menghindarkan diri dari perkara tersebut.
Dari sisi obrolan di media sosial, cobalah tengok meme dan komentar populer terhadap sebuah kiriman politik, terutama yang terkait kritik. Nyaris semua kiriman itu akan dihiasi oleh meme “abang tukang bakso bawa walkie talkie” atau yang sejenisnya.
Meme itu seolah pengingat kepada pengirim untuk berhati-hati atas post-nya karena akan ada yang selalu mengawasi. Hal itu tentu masih ditambah dengan komentar lain seperti “ninu ninu” atau ajakan untuk memantau kondisi sekitar rumah.
Baca Juga: Andika, Kunci Jokowi Tetap Perkasa?
Dari sisi yang lebih serius, survei dari Saiful Mujani Research Center (SMRC) mengungkap fakta yang cukup menarik. Berdasarkan penelitian tersebut, terlihat bahwa semakin banyak warga yang menilai masyarakat takut bicara masalah politik.
Kondisi ini tentu merupakan sebuah ironi. Bagi negara yang kerap membangga-banggakan capaian demokrasi pascareformasi, hal tersebut boleh jadi menggambarkan bahwa kebebasan berpendapat mendapatkan ancaman.
Lalu, mengapa sebenarnya ketakutan berbicara politik tersebut dapat muncul? Apa dampak dari rasa takut tersebut bagi negeri ini?
Hati-hati Bicara Politik
Siapa yang tak pernah lihat meme abang tukang bakso bawa walkie talkie? Sekilas, gambar ini terlihat amat jenaka karena menggambarkan seorang pedagang bakso keliling yang tengah bertingkah layaknya anggota intelijen.
Meski terlihat seperti sebuah candaan, meme tersebut boleh jadi adalah sebuah alarm awal tanda bahaya bagi kebebasan berpendapat. Gambar tersebut bisa saja menjadi indikasi awal bahwa masyarakat kian takut bicara politik, utamanya jika berbau kritik.
Meme tersebut boleh jadi semacam new normal alias normal yang baru ketika membicara sesuatu berbau politik secara kritis. Jika biasanya orang lebih leluasa untuk berbicara politik, kini harus selalu ada yang mengingatkan untuk selalu berhati-hati.
Tentu, ajakan untuk berhati-hati bisa saja diwajarkan untuk sebuah berita bohong atau ujaran kebencian terutama yang berbau SARA. Namun, bagaimana jika meme itu disebar ke berbagai kritik berbasis fakta atau bahkan penelitian dan karya jurnalistik?
Meme dan ungkapan semacam “ninu-ninu” atau sejenisnya boleh jadi kemudian terefleksi dalam survei yang dirilis oleh SMRC. Seperti yang disebutkan di atas, lembaga tersebut mengungkap bahwa semakin banyak warga yang menilai masyarakat takut bicara masalah politik.
Dalam rilis survei bertajuk Sikap Publik Nasional terhadap HTI dan FPI terlihat bahwa ada sekitar 39 persen masyarakat yang takut berbicara masalah politik. Jika dirinci lebih jauh, ada 32,1 persen masyarakat yang sering merasa takut dan 7,1 persen yang selalu merasa takut.
Baca Juga: Menguak Foto Jokowi-Kepala Staf TNI
Temuan SMRC tersebut sebenarnya bisa menjadi sinyal awal untuk memperhatikan kebebasan berpendapat di Indonesia. Memang, jika dikalkulasikan, angka di atas bukanlah sesuatu yang menunjukkan mayoritas.
Meski begitu, jika melihat trennya, SMRC mengungkap bahwa ada peningkatan pada rasa takut bicara politik. Pada Juli 2009, masyarakat yang takut bicara politik hanya mencapai 14 persen. Dari hal itu, angka 39 persen di Maret 2021 agaknya menjadi sesuatu yang harus jadi perhatian.
Budaya Ketakutan
Seperti yang disebutkan sebelumnya, memperingatkan dengan meme atau ungkapan lain seolah menjadi normal baru untuk kritik berbau politik dan kebijakan. Bisa dibilang, ada budaya baru dalam menyikapi beragam sikap politik yang kritis di ruang publik.
Dalam kadar tertentu, boleh jadi ada semacam budaya ketakutan atau culture of fear untuk urusan bicara politik di Indonesia. Survei yang diungkap oleh SMRC boleh jadi menjadi indikasi dari munculnya budaya ini.
Konsep tentang culture of fear cukup lazim dibicarakan setelah Barry Glassner menulis dalam bukunya yang berjudul The Culture of Fear: Why Americans Are Afraid of the Wrong Things: Crime, Drugs, Minorities, Teen Moms, Killer Kids, Mutant Microbes, Plane Crashes, Road Rage, & So Much More.
Di dalam buku tersebut, Glassner menyebutkan kalau masyarakat Amerika Serikat telah menjadi lebih takut ketimbang bertahun-tahun yang lalu. Namun, apakah sebenarnya mereka dalam era yang benar-benar berbahaya?
Glassner mengungkap bahwa sebenarnya persepsi kita terhadap bahaya yang berubah. Jadi, menurutnya, tingkat risiko sebenarnya tidak berubah. Ia menggambarkan bahwa ada orang atau kelompok yang memanipulasi ketakutan dan mengambil keuntungan darinya.
Hal ini termasuk para politisi yang bisa saja melakukannya untuk memenangkan suatu pemilihan.
Jika berbicara soal ketakutan dan politik, boleh jadi lekat pula dengan politik ketakutan alias politics of fear. Hal ini misalnya disebutkan oleh Arash Javanbakht, Assistant Professor of Psychiatry di Wayne State University. Ia menjelaskannya lewat sebuah artikel di The Conversation berjudul The politics of fear: How it manipulates us to tribalism.
Ia menyebut bahwa seperti hewan, manusia belajar dari pengalamannya seperti saat diserang oleh predator. Manusia juga belajar dari pengamatan seperti saat melihat predator menyerang manusia lain.
Dari pengalaman tersebut, ada kecenderungan untuk menurunkan risiko hal seperti serangan tadi kepada manusia lainnya. Lalu, beberapa dari manusia lainnya itu akan percaya kepada saran yang diberikan terkait dengan bahaya tersebut. Dengan mempercayainya, manusia bisa terhindar dari kematian atau hal buruk lainnya yang muncul sebagai konsekuensi.
Menurut Javanbakht, sikap tribalisme semacam tadi menjadi lubang yang kemudian dimanfaatkan oleh politisi. Mereka memanfaatkan rasa takut dan insting tribalisme manusia.
Contoh nyata dari hal itu misalnya adalah Nazisme dan Ku Klux Klan. Pola yang sering muncul adalah melabeli kelompok lain sebagai sosok berbeda dan akan memberikan bahaya.
Peluang untuk Politisi
Dari pendapat-pendapat tersebut, rasa takut sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik. Pertanyaannya adalah, apakah takut bicara politik di Indonesia muncul dari kondisi itu?
Jika dilihat dari pola-pola yang muncul belakangan ini, boleh jadi ada kerentanan untuk menuju ke arah sana. Fenomena meme tukang bakso misalnya dapat menjadi gambaran dari sesuatu yang disebutkan oleh Javanbakht.
Beberapa waktu terakhir misalnya, banyak pihak yang dengan keras mengkritik pemerintah harus menghadapi kasus hukum. Salah satu contohnya adalah penangkapan aktivis seperti Ananda Badudu atau Dandhy Laksono.
Keduanya tergolong aktif memberikan kritik tajam kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Jika mengambil contoh kasus Ananda, ia tergolong aktif dalam demonstrasi menentang RKUHP, RUU KPK, dan sejumlah RUU lainnya.
Memang, belum ada pembuktian lebih lanjut mengenai detail penangkapan Ananda terkait dengan apa saja. Meski demikian, publik bisa saja menangkap sinyal bahwa jika bersikap kritis dan beroposisi kepada pemerintah, siap-siap saja harus berurusan dengan aparat negara.
Baca Juga: Andika Perkasa Sulit Jadi Panglima?
Dari sinyal tersebut, masyarakat yang lain kemudian menjadikannya pengalaman lalu mengirimkan sinyal bahwa jika tak ingin ditangkap, tak perlu terlalu aktif dalam kegiatan yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Salah satunya adalah dengan meme abang tukang bakso.
Dari kondisi tersebut, kemudian ada pihak lain yaitu para buzzer yang mulai masuk sehingga rasa takut mungkin saja makin kentara.
Para aktivis misalnya bisa saja dilabeli social justice warrior (SJW), kiri, atau mungkin tidak pro pembangunan. Produk jurnalistik seperti besutan Tempo dicap sebagai berita hoaks jika mengkritik pemerintah. Belum lagi ada label kadal gurun kepada oposisi bernapas Islam termasuk cap Taliban kepada penyidik KPK Novel Baswedan.
Di sinilah bahaya itu dapat muncul. Ada lubang yang bisa dimanfaatkan politisi untuk menjalankan kebijakan yang belum tentu sesuai kebutuhan masyarakat. Misalnya, jika mengkritik pemberantasan korupsi, bisa ditangkap seperti Ananda atau dicap Taliban seperti Novel.
Masyarakat kemudian takut untuk bersuara terkait dengan hal tersebut. Nah, dari situ muncul celah bagi para politisi untuk membuat kebijakan apa pun yang lebih menguntungkan mereka.
Akibatnya, kebijakan yang dibuat pun terancam tak berkualitas karena hanya demi memenuhi kebutuhan politisi dan elite lain di sekelilingnya. Sementara itu, meski terdampak, masyarakat lebih memilih melanjutkan hidup ketimbang bersuara karena berisiko mendapat bahaya.
Oleh karena itu, temuan SMRC idealnya membuat kita tak mewajarkan lagi meme abang tukang bakso. Ada indikasi kebebasan berpendapat semakin terancam sehingga politisi bisa memanfaatkannya untuk kebijakan berkualitas minim. (H33)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.