Sepak terjang SK Trimurti di kabinet Amir Sjarifuddin menjaga buruh, hampir selaras dengan kisah Frances Perkins di Amerika Serikat.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]oerastri Karma Trimoerti atau akrab dikenal SK Trimurti, boleh saja dilahirkan dalam lingkungan keluarga keraton Boyolali yang mendengungkan tugas perempuan ‘hanya’ ada empat, yakni marak (setia pada suami), macak (pandai menghias diri), masak (pandai memasak) dan manak (bisa melahirkan anak).
Tetapi untungnya, saat menamatkan sekolah di Mesjess Normaal School (Sekolah Guru Perempuan), Trimurti remaja mulai berkenalan akrab dengan buku-buku politik. Saat itu, ia sudah bekerja sebagai guru di Meisjesschool atau sekolah khusus perempuan.
Karena situasi penjajahan, Trimurti merasa terdorong terlibat lebih jauh dalam gerakan politik. Perlahan tapi pasti, Trimurti meninggalkan apa yang diajarkan ayahnya, Raden Mangunsuromo, soal tugas perempuan ala priyayi.
Perempuan berperawakan mungil tersebut, pertama kali menceburkan diri di dunia politik sebagai anggota Rukun Wanita dan beberapa kali mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo cabang Banyumas. Di tahun 1930-an, dirinya mulai tertarik dengan tulisan dan pidato Bung Karno. Menurutnya, saat itu ide pembebasan dari kolonialisme dan imperialisme merupakan satu-satunya jalan keluar untuk merdeka.
Saat Bung Karno keluar dari penjara di tahun 1932, Trimurti memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, pindah ke Bandung, dan bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo). Saat itu, ia mengajar di Perguruan Rakyat, sekolah yang didirikan oleh Sanusi Pane dan tinggal di rumah istri Bung Karno, Inggit Ganarsih.
SK Trimurti juga kerap diingat sebagai seorang jurnalis yang tajam tulisannya. Bakat itu juga tak bisa dilepaskan dari dorongan Bung Karno. Suatu hari, Bung Karno mengajak Trimurti menulis di Fikiran Ra’jat, sebuah majalah minggu politik populer yang diisi oleh penulis tokoh terkenal.
Dari hasil belajar kerasnya, Trimurti mampu membuat tulisan yang tajam dan garang. Karena hal tersebut, ia beberapa kali dikejar oleh pihak Belanda karena dianggap menyebarkan ide berbahaya anti-kolonialisme. Karena hal itu pula, Trimurti harus memakai nama samaran, SK Trimurti atau Karma saat menulis. Ini juga dilakukan agar aktivitas politiknya tidak tercium oleh kedua orangtuanya.
Trimurti mencicipi dinding penjara saat kependudukan Jepang mulai menguasai Indonesia. Ia menyebarkan pamflet gelap. Alhasil, dirinya harus mendekam selama sembilan bulan di penjara bersama dengan anak balitanya.
Usai proklamasi kemerdekaan, Trimurti menjadi pimpinan pusat Partai Buruh Indonesia (PBI). Saat kabinet Amir Sjarifuddin dibentuk, ia menduduki posisi sebagai Menteri Perburuhan, tak hanya itu sejarah juga ikut mencatat dirinya sebagai menteri buruh pertama perempuan RI. Sepak terjangnya dimulai dengan aktif mengganti UU Perburuhan Kolonial dengan UU Perburuhan Baru, yang di antaranya adalah adanya jaminan upah minimum, jam kerja, hak istirahat dan hari libur, keselamatan kerja, jaminan sosial, dan UU perjanjian kerja.
Perjuangan yang dilakukan oleh SK Trimurti, selaras dengan jargon Manifesto I karya Karl Marx yang berbunyi, “Sejarah seluruh umat manusia di seluruh dunia, adalah sejarah perjuangan kelas.” Teori Perjuangan Kelas sendiri sudah berkembang di Prancis dengan tokoh-tokohnya seperti Francois Guizot, Francois Mignet, dan Adolphe Thiers.
Teori Perjuangan Kelas, secara sederhana adalah definisi kelas dalam masyarakat berdasarkan atas pekerjaan dan kelasnya. Menurut teori ini, keaggotaan seseorang di dalam kelas ditentukan oleh hubungannya dengan alat-alat produksi dalam struktur sosial yang memiliki ciri kapitalis. Dari sana, lahirlah istilah kelompok buruh dan borjuis.
Perjuangan ‘menjaga’ buruh yang dilakukan oleh Trimurti, terpasang baik dalam teori perjuangan kelas yang berbicara soal kelas-kelas dalam masyarakat, lebih tepatnya kelas buruh atau kaum pekerja.
Sebagai menteri buruh perempuan pertama, SK Trimurti tidak sendiri. Di Amerika Serikat, Frances Perkins juga menjadi Menteri Kesekretariatan Buruh di tahun 1933. Lantas, apakah perjuangan mereka masih relevan hingga hari ini? Apa sumbangsih yang diberikan oleh tokoh ini?
Frances Perkins, Trimurti dari Barat
Jika Trimurti sangat dekat dan menganggap Bung Karno adalah mentornya, Perkins menganggap Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR) adalah teman dan mentornya. Sama pula seperti Trimurti, Perkins lahir di tengah keluarga konservatif yang meninggikan adat dan moral ala priyayi. Tetapi pemikirannya seputar buruh berubah 180 derajat, saat ia menyaksikan sendiri kebakaran melanda pabrik yang berada dekat kediamannya.
Perkins muda mulai bertanya pada dirinya, apa yang diinginkan oleh dunia terhadapku? Ia mengabdikan diri mengajar dan menuntut ilmu di bidang kimia dan fisika. Saat menyaksikan bagaimana keadaan buruh yang bekerja di pabrik tempat keluarganya bekerja, Perkins mulai mempelajari politik di University of Columbia jurusan politik.
Ia lantas aktif menjadi aktivis yang menyuarakan hak-hak pekerja dan kesetaraan. Dari sana, ia berusaha masuk ke jajaran kabinet FDR. Seperti halnya Trimurti, sejarah akhirnya mencatat dirinya sebagai perempuan pertama yang duduk di Kementerian Buruh, ia juga menjadi perempuan satu-satunya yang duduk di parlemen.
Sepak terjangnya di parlemen, paling kentara saat ia mengusahakan kebijakan Kebijakan New Deal untuk mengatasi pengangguran dan krisis ekonomi akibat depresi ekonomi tahun 1930-an. Dengan kebijakan Social Security Act, Perkins berhasil memberikan kebijakan pensiun, dana pengangguran, dan bantuan sosial bagi warga miskin Amerika Serikat. Perkins juga mendorong perusahaan untuk mengurangi kecelakaan pekerja dan membuat UU anti pekerja di bawah umur.
Tak hanya itu, Perkins berhasil mendefinisikan standar bekerja 40 jam seminggu, upah minimum, dan uang lembur. Aksinya ini, sempat membuat FDR gerah dengan berkata sampai kapan Perkins akan terus ‘mengganggunya’? Tetapi saat itu, keduanya tidak memiliki pilihan lebih banyak. Malah yang terjadi, FDR terus mempertahankan Perkins hingga 12 tahun lamanya. Dengan ini, Perkins tak hanya menjadi perempuan pertama dan satu-satunya yang berada di parlemen Kementerian Buruh, tetapi juga menteri terlama duduk di parlemen.
Kisah kedekatan intelektual yang terjadi pada Perkins dan FDR, juga dialami Trimurti dan Bung Karno. Perkins akhirnya menemui surut popularitas saat menghadapi puncak Perang Dunia II yang menyebabkan ledakan pengangguran dan tak terlalu berhasil membuat lingkungan kerja yang ditinggal oleh kepala keluarga dan harus ikut bekerja.
Lantas bagaimana relevansi perjuangan keduanya dengan masa kini?
Perjuangan Masih Relevan
Baik Perkins dan Trimurti, tak hanya bicara buruh saat duduk di kabinet. Mereka juga bicara soal kesejahteraan perempuan. Trimurti sejak awal sangat melawan poligami, sementara Perkins bicara soal kesetaraan memperoleh pekerjaan.
Tetapi sayang, keduanya harus menelan kenyataan pahit. Trimurti harus melihat mentornya sendiri, Bung Karno melakukan poligami, bahkan dirinya juga dipoligami oleh Sajuti Melik, suaminya. Ia akhirnya memutuskan berpisah dari suaminya dan tak sungkan mengkritik Bung Karno. Sementara Perkins, akhirnya harus menolak jabatan yang kembai ditawarkan oleh FDR karena tak mampu bersitegang dan mengadvokasi lebih banyak organisasi. Ia memilih untuk menulis The Roosevelt I Know sebagai bentuk apresiasi kepada Presiden AS ke-32 tersebut.
Penolakan ini memang tak banyak dijelaskan, tetapi yang pasti saat suaminya sakit Perkins memutuskan untuk perlahan mundur teratur. Sementara Trimurti juga menolak jabatan sebagai Menteri Sosial di tahun 1959, karena saat itu sedang berkuliah di Universitas Indonesia. Penolakan tersebut sempat membuat Bung Karno marah.
Perjuangan keduanya, yaitu untuk kesejahteraan buruh, hingga saat ini masih sangat relevan. Keadaan material berbeda yang dihadapi keduanya, yakni Perang Dunia II dan Penjajahan, melahirkan sebuah kekhawatiran yang sama, yakni keamanan para pekerja dengan upah sesuai, perlindungan kerja, dan kesempatan kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Mengingat perkataan kembali perkataan Elbert Hubbart, seorang penulis dan filsuf asal Amerika Serikat, manusia memiliki tangan dan kaki yang seharusnya digunakan untuk bekerja, bukan dibayar.
Bagi Trimurti dan Perkins, keberadaan tangan dan kaki yang digunakan bekerja tak hanya dibayar tetapi juga harus dilindungi dan dijaga. Bila hingga saat ini diskriminasi masih terjadi di lingkungan kerja, terutama pada buruh perempuan, maka selama itu pula perjuangan Trimurti dan Perkins terus akan relevan. (A27)