Site icon PinterPolitik.com

Ma’ruf Jadi Wapres, MUI Menguat?

Jadi Wapres, Ma’ruf Mau Apa?

Ma'ruf Amin saat menghadiri Sidang Tahunan DPR/MPR. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Ma’ruf Amin akan segera dilantik menjadi Wakil Presiden (Wapres) ke-13 mendampingi Jokowi. Dalam mengemban jabatannya nanti, pria kelahiran Tangerang, Banten ini diprediksi akan fokus mengerjakan isu-isu terkait kehidupan beragama dan ekonomi. Selain itu, dengan latar belakang Islamnya yang kuat, Ma’ruf juga berpotensi akan meningkatkan Islamisasi kebijakan pemerintah. Lalu seperti apa Ma’ruf akan mempengaruhi arah kebijakan di Indonesia?


PinterPolitik.com 

Jokowi mengatakan pembagian tugas negara ataupun pemerintah antara dirinya dengan Ma’ruf Amin tidak akan ketat dan kaku. Seperti hubungannya dengan Jusuf Kalla (JK), untuk lima tahun ke depan pembagian tugas presiden-wapres akan fleksibel dan saling mengisi.

Namun, mengingat kiprah dan peran JK yang begitu signifikan di pemerintahan Jokowi, pertanyaan muncul terkait mungkinkah Ma’ruf Amin bisa melanjutkan kiprah mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.

Menguatnya MUI?

Menurut Norsharil Saat, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, kemenangan Jokowi-Ma’ruf akan membuat kelompok Muslim mengharapkan Ma’ruf menggunakan jabatan wapres-nya untuk mendorong agenda-agenda terkait Islam, seperti Islamisasi masyarakat melalui ekonomi syariah dan wisata halal.

Selain adanya dorongan dari luar, Saat juga melihat adanya kemungkinan Ma’ruf untuk mendorong sendiri kebijakan-kebijakan yang bersifat konservatif atau tradisional termasuk mempengaruhi jalan kebijakan Jokowi.

Ekspektasi ini muncul mengingat Ma’ruf sudah lama terjun dalam dunia agama, politik, bahkan dilihat sebagai ulama paling kuat di Indonesia, terutama sejak ia terpilih sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2015.

Ya, latar belakang MUI memang memiliki nilai tersendiri, mengingat sejak berdiri pada tahun 1975, organisasi tersebut sudah memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia.

Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dilihat sebagai bentuk dukungan atau legitimasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah, meskipun tidak jarang bertolak belakang dengan pemerintah.

Jika jabatan Rais Aam sudah dilepas sejak September tahun 2018 lalu, berbeda dengan jabatan Ma’ruf di MUI.

Ma’ruf dan MUI terlihat berusaha untuk mempertahankan “ke-MUI-an” sang wapres degan mengatakan bahwa setidaknya hingga 2020, sang kiai akan tetap mejabat sebagai Ketua MUI non-aktif, meski tanggal 20 Oktober nanti ia secara resmi sudah menjalankan tugas dan fungsi kepresidenan.

Di satu sisi, keputusan ini memang tidak datang dari Ma’ruf sendiri, melainkan merupakan hasil rapat pimpinan MUI.

Namun, keputusan ini bertolak belakang dengan pernyataan Ma’ruf sendiri yang pada Juli lalu mengatakan bahwa ia akan mengundurkan diri dari MUI ketika sudah dilantik sebagai wapres.

Padahal beberapa pihak seperti peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati dan politisi sekaligus mantan Wakil Ketua MPR Mahyudin sudah menyarankan agar Ma’ruf melepaskan jabatan MUI-nya, bahkan sejak tahun lalu ketika ia resmi menjadi cawapres.

Hal serupa juga diungkapkan ahli hukum tata negara Feri Amsari.

Menurut Feri, meskipun tidak ada hukum yang dilanggar, Ma’ruf seharusnya mundur dari jabatan-jabatannya yang lain agar dapat fokus menjalankan tugasnya sebagai wapres.

Pun JK pernah mengatakan bahwa Ma’ruf akan kesulitan menjalankan fungsi umara (pemerintahan) jika di waktu yang sama ia masih menjalankan fungsi ulama-nya.

Besar kemungkinan Ma’ruf sudah menggunakan pengaruhnya terhadap beberapa kebijakan pemerintah terkait dunia Islam.

Misalnya dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di mana diduga ada dorongan dari Ma’ruf dan MUI agar DPR segera mengesahkan rarancangan tersebut sekalipun terjadi penolakan keras dari publik.

Kemudian pada kasus disahkannya RUU Pesantren di mana Ma’ruf, NU dan MUI sama-sama menginginkan agar RUU tersebut disahkan, meskipun masih ada penolakan dari sebagian kelompok Muslim khususnya dari Muhammadiyah.

Selain untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, kuat dugaan dipertahankannya jabatan Ketua MUI juga berkaitan dengan hubungan MUI-Pemerintah, khususnya dalam urusan dana.

Anggapan ini berasal dari pernyataan Masduki Baidlowi, Ketua MUI bidang informasi dan komunikasi, yang secara terbuka mengatakan bahwa banyak penguru MUI di daerah berharap adanya Ma’ruf di kursi wapres akan mempermudah akses pendanaan khususnya yang berasal dari pemerintah daerah (pemda).

Selama ini MUI memang menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Namun, penerimaan dana ini sempat menjadi polemik karena laporan keuangan MUI tidak dibuka kepada publik.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa kehadiran Ma’ruf sebagai wapres juga berpengaruh pada polemik otoritas sertifikasi halal antara pemerintah-MUI.

Mulai bulan ini, pemerintah mencabut wewenang penerbitan sertifikasi halal yang selama ini ada di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Wewenang ini kemudian dipindahkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

LPPOM MUI kemudian berusaha “merebut” kembali otoritas sertifikasi halal ini dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Terjadinya sengketa otoritas ini bisa dimengerti mengingat ke depannya pendapatan tahunan dari sertifikasi halal bisa mencapai angka Rp 22,5 triliun.

Ekonomi dan Bayangan JK

Selain bidang keagamaaan, banyak pihak juga melihat bidang ekonomi akan menjadi panggung utama Ma’ruf selama periode 2019-2024 mendatang.

Hal ini salah satunya diungkapkan oleh peneliti PolGov Research Centre Universitas Gadjah Mada (UGM) Ignasius Jaques. Ia melihat bahwa Ma’ruf akan fokus kepada isu kesejahteraan umat dan perbankan syariah.

Selain itu, JK juga berpesan kepada penggantinya tersebut agar memperhatikan masalah ekonomi.

Harapan ini tidaklah berlebihan. Selain latar belakang agama, Ma’ruf juga memiliki pengetahuan dan pengalaman bidang ekonomi yang kuat.

Ma’ruf merupakan Guru Besar bidang Ekonomi Muamalat Syariah di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

Selain itu Ma’ruf juga baru saja melepaskan jabatannya sebagai ketua dewan pengawas syariah di Bank Muamalat Indonesia, Bank BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri.

Pada masa kampanye Pilpres 2019, Ma’ruf juga sudah memaparkan tiga konsep atau program ekonomi umat.

Pertama, mendorong kemauan masyarakat untuk berwirausaha. Kedua dikeluarkannya regulasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi umat oleh pemerintah. Ketiga, mendorong konglomerat agar mau berkolaborasi dengan masyarakat ekonomi bawah.

Terakhir, Ma’ruf harus bersiap diri karena kinerjanya akan selalu dibanding-bandingkan dengan wapres terdahulu, yaitu JK, khususnya di bidang hubungan internasional.

JK memilki banyak pengalaman di level internasional yang juga digunakan oleh Jokowi untuk menutupi kekurangannya dalam menangani isu-isu internasional.

Peran JK sebagai “tameng” internasional Jokowi ini salah satunya terlihat ketika untuk lima tahun berturut-turut JK menggantikan Jokowi di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain itu, kiprah JK di level internasional, khususnya di bidang resolusi konflik, juga sudah diakui dunia dengan berbagai penghargaan yang diterimanya.

Pada akhirnya, sosok Ma’ruf bisa menjadi pisau bermata dua bagi periode kedua pemerintahan Jokowi.

Di satu sisi, dengan pengaruh yang dimilikinya, Ma’ruf bisa mebuat MUI semakin mendukung kebijakan pemerintah melalui fatwa-fatwanya.

Di sisi lain, seperti pendapat Saat, justru Ma’ruf akan memanfaatkan kursi wapres  untuk mendukung agenda-agenda terkait kegamaan ataupun memperkuat MUI. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version