Site icon PinterPolitik.com

Jadi Pahlawan, Jokowi Revisi JHT?

Jadi Pahlawan, Jokowi Revisi JHT?

Presiden Joko Widodo (Foto: Biro Pers Setpres)

Seminggu terakhir ini publik dihebohkan dengan peraturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) karena baru bisa dicairkan ketika berusia 56 tahun. Menurut Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo, dengan derasnya penolakan publik, Presiden Jokowi akan tampil seperti pahlawan dengan merevisi atau mencabut aturan yang dikeluarkan Menaker Ida Fauziah tersebut. Mungkinkah prediksi itu terjadi?


PinterPolitik.com

“Buku pedoman para diktator,” begitu julukan Michael H. Hart terhadap buku Niccolò Machiavelli yang termahsyur, Il Principe. Diterbitkan sekitar tahun 1532, banyak yang antipati terhadap Il Principe karena disebut memandang lumrah kebohongan, kelicikan, hingga pembunuhan demi merebut dan menjaga kekuasaan politik.

Bukan tanpa alasan memang, dalam salah satu nasihat Machiavelli yang terkenal, disebutkan, “Manusia akan membela orang yang mereka takuti, dibanding yang mereka cintai. Rasa takut tidak akan pernah gagal.” Dengan mudah ditafsirkan bahwa Machiavelli ingin seorang pemimpin ditakuti oleh rakyatnya. Ini adalah daya pengikat yang luar biasa. 

Namun, agaknya banyak yang kurang utuh membaca dan menafsirkan Il Principe. Meskipun benar disarankan berbagai tindakan kejahatan demi mempertahankan kekuasaan, dan bahkan mempromosikan pentingnya seorang penguasa untuk ditakuti, Machiavelli selalu mewanti-wanti agar seorang penguasa tidak boleh dibenci oleh rakyatnya.

Yang menarik adalah, Machiavelli menyebut ditakuti dengan dibenci tidaklah sama, bahkan cinta disebut dapat berjalan bersamaan dengan ketakutan. Kasus ini dicontohkan dalam kepemimpinan Hannibal, di mana ia sangat dihormati dan dipatuhi oleh pasukan besarnya, bukan karena kebaikan dan kemurahan hati, melainkan kekejamannya yang melampaui kemanusiaan.

Apa yang harus dihindari oleh penguasa, bukanlah ditakuti rakyatnya, melainkan dibenci dan dipandang hina. Menurut Machiavelli, penguasa akan dibenci apabila tamak, merampas properti, dan pasangan bawahannya. Sementara penguasa akan dipandang hina apabila tidak memiliki pendirian, sembrono, lemah, penakut, dan tidak tegas. 

Dan yang terpenting dari itu semua adalah, seorang penguasa harus memastikan bahwa rakyat puas terhadap pemerintahannya. Menurut Machiavelli, rasa kepuasan tersebut adalah jaminan dari rencana pihak-pihak yang ingin mengkudeta penguasa. Pemerintahan akan tetap berhasil dipertahankan selama rakyat mendukung dan bersama sang penguasa. 

Dalam literatur politik modern, penekanan-penekanan Machiavelli jelas terasa, meskipun dihadirkan dalam diksi yang berbeda. Populisme, misalnya, ini merupakan pendekatan politik untuk menarik simpati masyarakat dengan memposisikan diri sebagai perpanjangan tangan rakyat kecil dan melawan kaum elite yang selama ini mengabaikan mereka.

Apabila dibaca rinci, Il Principe sebenarnya memberi penekanan pada populisme. Berulang kali disebutkan bahwa seorang penguasa harus lebih mementingkan rakyatnya dari para bangsawan untuk menjaga kepuasan masyarakat. 

Jokowi dan Populisme

Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu sosok yang erat dikaitkan dengan populisme. Ruth Pollard dalam tulisannya New Culture Wars Worsen Political Slide in Indonesia, bahkan menyebut Presiden Jokowi sebagai salah satu pemimpin dunia populis yang bombastis.

Menurut Marcus Mietzner dalam bukunya Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, sejak Pilpres 2014 telah terjadi pertarungan antara kandidat populis.

Di satu sisi Prabowo Subianto mengusung populisme klasik dengan retorika anti-asing, kecaman terhadap status quo, membela orang miskin, dan rencana reformasi neo-otoriter. Sementara di sisi lain, Jokowi membawa bentuk baru populisme teknokratis yang inklusif, non-konfrontatif, serta berfokus pada peningkatan kualitas pemberian pelayanan publik. 

Menurut Mietzner, kemenangan Jokowi menunjukkan bahwa bentuk populisme baru yang sekarang lebih diterima. Sejak kemenangannya, Presiden Jokowi disebut kerap menelurkan kebijakan-kebijakan populis dan berusaha seayun dengan persepsi masyarakat. 

Tampaknya bertolak dari poin populisme, Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo memberikan pandangan menarik terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT (Jaminan Hari Tua) yang saat ini tengah menuai polemik publik. Seperti yang diketahui, Menaker Ida Fauziah tengah disorot tajam atas hal ini.

Menurut Kunto, polemik aturan JHT yang mensyaratkan pencairan pada usia 56 tahun ini dapat mendongkrak kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi. Simpulan ini ditarik dengan melihat fenomena pada 2015 lalu, ketika Menaker Hanif Dhakiri menetapkan ketentuan bahwa JHT baru bisa cair jika peserta telah terdaftar selama 10 tahun. 

Sama seperti saat ini, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015 tersebut juga mendapat protes keras masyarakat. Tidak berselang lama, Presiden Jokowi kemudian meminta Menaker Hanif Dhakiri untuk merevisi aturan itu.

Menurut Kunto, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi akan mengulang langkah itu jika penolakan publik terus mengalami eskalasi. “Kalau publik enggak ribut, ya kebijakannya terus. Kalau publik ribut, kritik, Pak Jokowi tampil sebagai hero (pahlawan). Menurut saya, itu salah satu strategi yang luar biasa dari Pak Jokowi,” ungkapnya pada 14 Februari.

Kembali mengutip Machiavelli, sebagai penguasa yang bijaksana, tentunya Presiden Jokowi tidak ingin membiarkan ketidakpuasan meluas di tengah masyarakat. Apalagi, dengan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 51,75 juta jiwa, isu JHT jelas merupakan kepentingan besar. 

Melihat Pola

Selain aspek populisme, ada satu faktor fundamental yang membuat prediksi Kunto Adi Wibowo dapat terjadi, yakni cara kerja otak manusia. Mark P. Mattson dalam artikelnya Superior pattern processing is the essence of the evolved human brain, menjelaskan bahwa fitur unik yang paling membedakan otak manusia dengan spesies lainnya adalah kemampuan menangkap dan membuat pola. Ini disebut superior pattern processing (SPP).

SPP merupakan fitur unik yang membuat manusia memiliki kecerdasan, bahasa, imajinasi, penemuan, dan kepercayaan pada entitas imajiner seperti hantu dan dewa. Selama evolusi, kemampuan pemrosesan pola ini menjadi semakin canggih seiring dengan perluasan korteks serebral, terutama korteks prefrontal dan bagian otak yang terlibat dalam pemrosesan gambar. 

Menurut Mattson, terbentuknya pola diperkuat oleh pengalaman emosional dan indoktrinasi. Disebutkan, SPP menjadi acuan hingga memberi intervensi dalam pengambilan keputusan manusia.

Mengacu pada SPP, bukan tidak mungkin pola seperti yang disebutkan Kunto Adi Wibowo dapat terulang. Terlebih lagi, pada 2015 lalu telah terbukti bahwa pola tersebut memberikan persepsi positif terhadap Presiden Jokowi. Seperti penjelasan Mattson, pengalaman emosional seperti itu akan memperkuat pola.

Namun, ada satu poin penting yang tampaknya menjaga ganjalan, yakni ini adalah periode kedua atau akhir pemerintahan Jokowi. Berbeda dengan periode pertama, di mana menjaga persepsi sangat dibutuhkan sebagai modal maju di periode kedua, saat ini Presiden Jokowi justru disebut semakin kurang populis.

Ini misalnya dilihat dari berbagai kebijakan berani yang diambil sejak awal kemenangannya di periode kedua. Yang paling terkenal adalah revisi UU KPK, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dan pemindahan ibu kota negara (IKN). 

Donald Greenlees dalam tulisannya Jokowi on track for a second term, but can he deliver? pada 16 April 2019 telah jauh-jauh hari mengajukan pertanyaan menarik. 

Menurutnya, Presiden Indonesia sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyia-nyiakan masa jabatan keduanya karena lebih sibuk mempertahankan popularitas publiknya daripada mengambil keputusan sulit untuk mengamankan kualitas demokrasi, kohesi sosial, dan kemajuan ekonomi. 

Tanya Greenlees, mampukah Presiden Jokowi menghindari jebakan itu? Apakah mantan Wali Kota Solo ini akan lebih memilih menjaga popularitas atau lebih memilih menjadi kurang populer dengan mengambil keputusan-keputusan sulit?

Well, tentu hanya waktu yang dapat menjawab apakah Presiden Jokowi merevisi aturan JHT seperti prediksi Kunto Adi Wibowo. Kita lihat saja bagaimana kelanjutan peraturan yang telah menjadi bola panas ini. (R53)

Exit mobile version