Isu mengenai reshuffle kembali berhembus dan salah satunya menyebut bahwa Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto akan digeser dan menjabat sebagai Menteri Pertanian (Menhan). Pergeseran posisi Mentan dinilai akan sangat bermanfaat bagi legacy politik Prabowo, mengapa demikian?
Konstelasi pergeseran jabatan dalam politik dan pemerintahan tanah air sepertinya tak kalah seru dibandingkan perpindahan pemain sepak bola dari satu klub ke klub lainnya dalam bursa transfer Eropa yang berbagai isu dan kemungkinan-kemungkinannya semakin panas saat ini.
Isu pergeseran kursi Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang dikatakan akan bergeser ke pos Menteri Pertanian (Mentan), agaknya memiliki daya tarik luar biasa yang serupa ketika Lionel Messi diisukan meninggalkan Barcelona, meskipun kabar terakhir menyebut El Messiah akan bertahan.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane baru-baru ini memetakan potensi reshuffle yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bersamaan dan berkaitan dengan pergantian dengan transisi Panglima TNI.
Pane menyebut bahwa Panglima TNI saat ini, Marsekal Hadi Tjahjanto, kemungkinan akan mengisi jabatan Menhan dan Prabowo Subianto akan digeser menjadi Mentan.
Tentu rasionalisasi tersebut cukup bisa diterima ketika amanat untuk memimpin sektor ketahanan pangan yang dipercayakan Presiden Jokowi kepada Prabowo seolah merupakan “kode” tersendiri sejak awal.
Kredibilitas penerawangan Pane pun agaknya tidak bisa dikesampingkan begitu saja, saat pada beberapa kesempatan prediksinya terbukti tepat memetakan konstelasi pergeseran jabatan di tubuh Polri. Utamanya dalam hal ini, reshuffle yang akan datang pun Pane katakan terkait dengan potensi adanya tambahan unsur dari kepolisian dalam Kabinet Indonesia Maju.
Pada konteks Prabowo, menarik untuk mengetahui mengapa kiranya eks Panglima Kostrad itu sampai harus digeser menjadi Mentan? Serta bagaimanakah kiprah dan dampak dari proyeksi jabatan baru tersebut bagi karier politiknya?
Sektor Pertanian, “Jalan Ninja” Prabowo?
Selain karena telah dipercaya kepala negara untuk memimpin sektor ketahanan pangan nasional dari dampak pandemi Covid-19, Menteri Pertanian kemungkinan besar merupakan posisi yang paling ideal bagi Prabowo saat ini.
Jika menganalisa sosok Prabowo dan kaitannya dengan proyeksi jabatan Mentan dari aspek sosiologis, Max Weber dalam publikasinya yang berjudul Politics as a Vocation menyebut jika good politician atau politisi yang baik dan berkualitas ditentukan oleh tiga hal esensial, yakni passion atau gairah, responsibility atau tanggung jawab, serta sense of proporstion atau rasa proporsional.
Weber mengatakan bahwa genuine passion tidak hanya terkait dengan ketertarikan pribadi pada suatu hal tetapi juga mengenai pengabdian pada suatu tujuan atas hal tersebut. Dan dalam pandangan Weber, ketika genuine passion telah eksis, di situlah responsibility dan sense of proportion dapat terbangun dengan sendirinya.
Satu hal yang menarik berdasarkan analisa Weber tersebut, Prabowo dinilai relevan dengan posisi Mentan ketika dianggap memiliki passion lebih tersendiri di sektor pertanian dan ketahanan pangan yang telah ditunjukannya, bahkan di awal ketika memasuki dunia politik.
Sebuah passion yang bahkan telah melebur menjadi visi Prabowo saat pertama kali memperkenalkan Gerindra pada debutnya di Pemilu dan Pilpres 2009 dan terus konsisten membawa kampanye dan narasi ketahanan pangan dan pertanian pada pesta demokrasi serupa di tahun 2014 hingga 2019.
Selain itu, determinasi Prabowo di bidang pangan dan pertanian juga tak bisa dianggap sebelah mata ketika sebelum membentuk Gerindra, dirinya dipercaya menjadi Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2004-2009.
Artinya, hal yang lumrah atau bahkan cukup positif jika nantinya Presiden Jokowi memang berencana menggeser Prabowo pada posisi Mentan jika mengacu pada passion dan visinya yang telah melekat.
Dan seandainya perpindahan meja kerja Prabowo dari Medan Merdeka Barat ke Pasar Minggu terealisasi, hal tersebut dinilai akan punya dampak positif yang signifikan pada karier politik eks Danjen Kopassus itu. Mengapa demikian?
Ulangi Romansa Swasembada Pangan Orba?
Sebagai seorang berlatar belakang militer yang lahir di era Orde Baru (Orba), Prabowo tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh multi aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari rezim di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tersebut.
Dan salah satu kesuksesan dari era Orba yang mungkin saja mengilhami genuine passion dan visi ketahanan pangan dan pertanian Prabowo saat ini ialah swasembada pangan yang pernah dicapai Indonesia pada medio 80-an.
Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, mengemukakan konsep collective memory atau ingatan kolektif yang menyatakan bahwa ingatan individu hanya dipahami dalam konteks kelompok, mempersatukan bangsa atau entitas masyarakat tertentu dalam ruang dan waktu.
Ruth García-Gavilanes dan kawan-kawan dalam The Memory Remains: Understanding Collective Memory in The Digital Age memberikan sampel bagaimana collective memory publik terkonstruksi menjadi sebuah impresi tersendiri pada pemerintah Amerika Serikat (AS) di periode tertentu terkait beberapa peristiwa besar, seperti momen Pemboman Hiroshima dan Nagasaki, hingga Perang Irak.
Pada konteks berbeda, kesuksesan swasembada pangan sendiri menjadi sebuah collective memory yang bahkan masih terngiang hingga generasi saat ini jika berkaitan dengan kebijakan pangan dan pertanian di era Soeharto, di luar kontroversinya.
Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mengekspor 100 ribu ton beras ke negara-negara Afrika berkat tingkat produksi yang luar biasa di bawah Revolusi Hijau yang digagas oleh Soeharto di bidang pertanian, khususnya padi. Keberhasilan ini pun diganjar oleh penghargaan dari organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO).
Oleh karenanya, jika dipercaya mengemban sebagai Mentan dan berhasil melakukan terobosan di sektor pangan dan pertanian bahkan hingga melakukan swasembada, collective memory publik tanah air akan sosok dan legacy Prabowo tentu akan terkonstruksi secara positif seperti apa yang terjadi pada Soeharto.
Selain dapat dijadikan tumpuan untuk membangun collective memory, posisi Mentan juga nyatanya memiliki keunggulan politik tersendiri dibandingkan Menhan, bahkan mungkin lebih menguntungkan juga bagi Prabowo.
Pertama, secara matematis tentu bukan rahasia lagi bahwa sosok strategis di Kementerian Pertahanan (Kemhan) ialah “orang-orang” Prabowo. Dan siapapun sosok yang akan menggantikannya di kursi Menhan kelak, agaknya tak akan “lancang” menggeser “orang-orang” tersebut.
Terlebih, Prabowo dinilai memiliki privilege politik tersendiri dari Presiden Jokowi yang jamak publik lihat setelah merapat ke barisan pemerintah. Ditunjuk menjadi yang terdepan dalam urusan food estate salah satunya.
Dengan kata lain, Prabowo pun dinilai tetap dapat “mengontrol” Kemenhan meski nantinya digeser ke kursi Mentan.
Kedua, dengan mengemban misi food estate di tengah ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19, posisi Mentan menjadi penting dan dapat menjadi strategi politik tersendiri bagi Prabowo.
Beberapa pihak menganggap bahwa konsep Great Leap Forward dari pemimpin Tiongkok pada akhir dekade 50 hingga awal 60-an, Mao Zedong bisa jadi merupakan ide brilian di bidang revolusi agrikultural, jika saja diimplementasikan dengan tepat.
Selain itu, Kenneth Lieberthal dalam The Great Leap Forward and The Split in The Yan’an Leadership 1958-1965 menyebut di balik revolusi agrikultural tersebut tersimpan sebuah strategi politik tersendiri untuk memanfaatkan penyuluh pertanian sebagai bagian dari kampanye dan alat politik dalam komunikasi serta konsolidasi basis dukungan terhadap Mao.
Komparasi strategi politik Mao mungkin sedikit memiliki tendensi minor, namun dalam sebuah proses politik hal tersebut sangat mungkin dan menjadi lumrah dilakukan Prabowo dengan rasionalisasi memperkuat sektor pangan dan pertanian hingga ke elemen yang paling kecil melalui para penyuluh pertanian.
Singkatnya, dengan Mentan yang memiliki penyuluh di seluruh Indonesia, bahkan di daerah-daerah pelosok pedesaan, itu dapat menjadi alat politik sendiri untuk semakin memperkenalkan nama Prabowo.
Bagaimanapun, penilaian minor sejumlah kalangan akan dualisme posisi Prabowo sebagai Menhan yang berbarengan dengan amanah memimpin terobosan food estate memang tak berlebihan mengingat potensi terbelahnya fokus dan saling tumpang tindih.
Karenanya, isu pergeseran menjadi posisi Mentan yang baru saja mengemuka tampaknya menjadi pembuka diskursus konstruktif tersendiri bagi opsi yang dimiliki Prabowo serta mengenai potensi dinamika politik ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.