Baru usai keriuhan Pilkada DKI, kini parpol sudah mulai sibuk kasak kusuk mencari calon yang akan diusung pada Pilkada Jawa Barat 2018 mendatang. Apalagi, suara Jabar disebut-sebut akan menentukan kesuksesan Pilpres 2019.
PinterPolitik.com
“Jabar ini adalah lumbung suara, artinya sangat seksi di mata parpol.”
[dropcap size=big]P[/dropcap]emilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Barat masih akan berlangsung sekitar 14 bulan lagi, namun dengungnya sudah mulai keras terdengar. Beberapa partai politik bahkan sudah mulai menabuh genderang perang, menyatakan siapa yang dipertimbangkan dan siapa yang akan ditumbangkan. Seksi, begitulah istilah yang digunakan oleh Siti Zuhro, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Banyaknya jumlah pemilih di kawasan barat Pulau Jawa ini, membuat parpol harus sigap dan cermat dalam mengamankan kekuatannya. Tak heran bila kemudian mereka mulai melakukan berbagai manuver, mulai dari penyaringan calon hingga hitung-hitungan kursi. “Ini wajar, sebab Jabar memiliki arti yang sangat strategis, yaitu sebagai pijakan penting menuju Pemilu Presiden 2019,” jelas Zuhro, Selasa (21/3).
Jelang Pilgub Jabar 2018, Bursa Calon Gubernur Mulai Memanas: https://t.co/w8MWUhYg6y melalui @YouTube
— AHOK DJAROT 2017 (@Jokowi_JK_Ahok) 2 Mei 2017
Menurutnya, kemenangan calon gubernur di Pilgub Jabar tahun depan dapat menjadi prediksi awal dalam menentukan partai yang akan berkuasa di tahun 2019. Bahkan, bisa jadi pemenang Pilpres mendatang adalah partai yang berhasil berjaya di Pilgub Jabar dan Jatim. “Jadi kalau menang di Jabar dan Jatim, artinya sudah mengantongi kartu (kemenangan). Ini yang membuat kedua wilayah itu sebagai penentu (Pilpres).”
Lumbung Suara Yang Unik
“Tanah Parahyangan diciptakan ketika Tuhan tersenyum.”
Itulah yang dikatakan oleh Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno, mengenai keindahan alam yang dimiliki tanah Parahyangan atau Sunda. Senyuman Tuhan ini, tidak hanya menguntungkan masyarakat awam saja, tapi juga bagi parpol. Sebab jumlah penduduk sangat besar, bahkan terbanyak di Indonesia. Inilah lumbung suara yang dimaksudkan oleh Zuhro sebelumnya.
Besarnya populasi yang dimiliki provinsi ini, menjadikan Jabar wilayah yang paling strategis dari sisi politis dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan jumlah suara di Pilpres 2014 yang dirilis KPU, Jabar memiliki 23,69 juta suara. Karakteristik pemilih di Jabar pun termasuk unik, terang Zuhro, karena perilakunya masih dipengaruhi oleh orientasi masyarakat yang cenderung mengutamakan sisi religius dan popularitas.
Mayoritas masyarakat Jabar yang masih tradisional, lebih mengedepankan isu-isu nonsubstansi, sehingga kepopuleran masih unggul dibandingkan kompetensi dan konsistensi program yang diusung oleh pasangan kandidat cagub dan cawagub. Hal senada juga diungkapkan Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
Tahapan Pilgub Jabar 2018 Dimulai Agustus Tahun Ini https://t.co/MH0ADBJ3Y6
— teropongsenayan.com (@tropongsenayan) 29 April 2017
Gun Gun melihat, perilaku pemilih yang unik ini juga dipengaruhi oleh sebaran geopolitik yang juga unik. Margin rational votter hanya ada di kota-kota, sedang di wilayah pinggiran, ikatan tradisionalnya masih kuat. “Mereka memilih karena alasan emosional, seperti etnis, agama, dan popularitas. Persoalannya lebih kompleks dari Jakarta, sehingga tak cukup kekuatan figur saja, tetapi juga jejaring partai dan publisitas politik,” terangnya.
Selain itu, jangan lupa pula bahwa ada sekitar 20 persen pemilih pemula potensial yang menjadi target para kandidat. Menurut KPU Jabar, pemilih pemula SMA dan mahasiswa tingkat awal akan mempengaruhi tingkat partisipasi publik. Partisipasi golongan muda ini tak hanya besar, tapi memiliki standar keingintahuan yang juga besar, tingkat ekspektasi tinggi, tak mudah dikibuli, dan lebih ke personal dibandingkan partai.
Menguasai Wilayah Lokal
“Dari kondisi geografis, Jawa Barat berbeda dengan Jakarta. Kondisi jumlah pemilih juga lebih banyak Jabar.”
Begitulah tanggapan Eep Saefullah Fatah dalam menanggapi dinamika Pilgub Jabar 2018. Menurutnya, apa yang akan terjadi di Jabar akan jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Sebab masyarakat Jakarta memiliki akses politik yang terbuka dibandingkan Jawa Barat. Jakarta hanya memiliki 5 kota dan 1 Kabupaten, yakni Kepulauan Seribu, selain itu masyarakat Jakarta juga lebih terkumpul.
Sehingga ia bisa memastikan kalau isu Suku Agama dan Ras (SARA) di Jawa Barat tidak akan berkembang seperti di Jakarta. Jika pun ada, isu tersebut akan cepat padam, karena karakter masyarakat Jawa Barat tidak gampang terhasut. “Saya yakin isu SARA tidak akan berkembang di Jawa Barat karena tidak akan berkembang. Siapapun yang menggunakan itu hasilnya akan nihil,” ucap Eep yang melihat karakter wilayah Jabar yang sangat luas, menyebabkan jaringan media sosial tidak tersentuh oleh masyarakat.
Wilayah sebaran penduduk yang besar, membuat identitas kepartaian masyarakatnya juga rendah. Karenanya, Jabar dikenal sebagai wilayah massa mengambang (swing votter) terbesar, karena afiliasi warganya terhadap partai mudah berubah. Karakter ini juga yang memberi peluang bagi kandidat baru untuk bertarung tanpa memperhatikan jumlah kursi partai pendukungnya, sebab bagi Jabar, faktor figur jauh lebih menentukan.
Rendahnya pengenalan warga terhadap parpol, ikut menentukan seberapa keras kemampuan mesin kampanye pemenangan cagub suatu parpol bekerja di setiap kabupaten dan kota. Mesin partai yang mampu bekerja dengan baik, akan menjamin cagubnya meraih kemenangan mutlak di wilayah yang digarapnya, atau memecah suara lawan yang awalnya berbasis di wilayah tersebut.
Cara lain yang juga penting untuk menguasai suara Jabar, adalah faktor keterkenalan dan ketersukaan figur yang diusung. Pentingnya faktor figur, sudah dibuktikan dengan keberhasilan Gubernur Jabar saat ini, Ahmad Heryawan (Aher) yang didampingi wakil gubernur berprofesi artis, seperti Dede Yusuf dan Deddy Mizwar, sehingga mampu memimpin selama dua periode berturut-turut.
Pertarungan Figur
“Menuju 2019 itu salah satu kuncinya memenangkan Pilgub Jawa Barat.”
Begitulah pendapat Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari. Menurut analisanya, partai-partai akan menjadikan Pilgub Jabar sebagai arena ‘pertarungan’ sesungguhnya. Ini bisa dimaklumi karena, pertama, berdasarkan pengalaman sejak Pemilu 1999, partai pemenang di Jawa Barat akan menjadi peraih suara terbanyak dalam pemilu tingkat nasional. “Berbeda dengan Jakarta, partai yang menang di Jakarta belum tentu jadi pemenang di tingkat nasional,” katanya di Jakarta, Rabu (26/4).
Selain itu, Qodari melihat, pada pilgub Jabar tidak ada figur maupun parpol yang dapat disebut juara bertahan, sebab setiap periode parpol pemenangnya selalu berganti. Misalnya pada Pilkada 2014 lalu, pemenangnya adalah PDIP. Sebelumnya, pada 2009, Partai Demokrat yang unggul. Padahal saat 2004, Partai Golkar keluar sebagai pemenangnya. “Pemilih Jawa Barat sangat cair, bayangkan tidak ada juara bertahan. Tiap kali pemilu pemenangnya ganti-ganti. Karakter pemilih orang Sunda luwes.”
Berdasarkan temuan dari hasil survei pra-pilkada Jabar 2018 yang dilakukan Indo Riset Konsultan, ada tiga faktor utama yang dipertimbangkan warga Jabar dalam memilih gubernur mendatang. Yakni merakyat/perhatian dan melayani masyarakat (21,3%), jujur/tidak korupsi (12,6%), dan berkinerja bagus (8,4%). Selain itu, warga Jabar juga menilai terdapat tiga program yang harus menjadi prioritas gubernur, yakni kesejahteraan rakyat (33,7%), lapangan pekerjaan (26,3%), dan pendidikan (20,9%).
Dari hasil survei, juga diketahui terdapat empat nama yang memiliki tingkat popularitas di atas 70 persen. Deddy Mizwar memiliki tingkat popularitas tertinggi yakni 94 persen, diikuti oleh Dede Yusuf (89,5%), Desy Ratnasari (86,6%), Ridwan Kamil (74,2%). Namun dari tingkat ketersukaan masyarakat, Ridwan Kamil memiliki persentase tertinggi yakni 92,2 persen, diikuti Dede Yusuf (86,5%), Deddy Mizwar (86,3%).
Sementara dari tingkat elektabilitas, Ridwan Kamil disebut sebagai calon gubernur dengan tingkat elektabilitas tertinggi dengan 37,50 persen. Disusul secara berturut-turut, Deddy Mizwar (29,17%), Dede Yusuf (15,25%), dan Dedy Mulyadi (4,42%) di posisi empat besar. Melihat hasil survei terhadap tingkat elektabilitas tersebut, diprediksi akan menjadi arena pertarungan tiga kandidat kuat, yaitu Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan Dede Yusuf.
Hasil yang hampir sama juga didapatkan Indobarometer, berdasarkan survei bulan Maret 2017, menyatakan bahwa Ridwan Kamil mengantongi elektabilitas 22%, disusul oleh Deddy Mizwar 14,1%, dan Dede Yusuf 11,8%. Nama lain yang masuk dalam elektablitas tertinggi hasil survei Indobarometer adalah Dedi Mulyadi, Rieke Diah Pitaloka, dan Bima Arya Sugiarto. Survei ini dilakukan sebelum deklarasi pendukungan Partai Nasdem.
Berbeda dari yang lain, berdasarkan survei Akselerasi Indodata, posisi calon yang memiliki elektabilitas tertinggi di Jabar adalah Deddy Mizwar di angka tertinggi dengan 29%, disusul Ridwan Kamil (27%), dan Netty Prasetyani (18%). Bila dilihat dari hasil berbagai survei tersebut, maka akan ada dua nama yang menduduki angka elektabilitas tertinggi, yaitu: Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar. Menariknya, kedua figur ini sama-sama bukan kader parpol. Sehingga bisa dipastikan, pilkada Jabar ke depan akan penuh kejutan yang menarik.
(Berbagai sumber/R24)