Johanes Abraham Dimara adalah seorang pejuang dari tanah Papua. Diangkat menjadi pahlawan nasional karena jasanya atas integrasi Irian Barat ke Indonesia dan menjadi salah satu inspirasi berdirinya patung pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
PinterPolitik.com
“Fa ido ma, ma ido fa – memberi jika menerima, menerima jika memberi”
(J.A. Dimara)
[dropcap size=big]K[/dropcap]alimat di atas adalah kalimat yang sering di ucapkan J.A. Dimara. Maksud yang tersirat dari kalimat ini adalah untuk membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan karena dengan saling memberi maka segala sesuatu akan terpenuhi baik tenaga, pikiran, harapan ataupun pengetahuan. Patung/monumen pembebasan Irian Barat di Jakarta merupakan simbol dari keseriusan putra-putri Indonesia dalam mempertahankan kejayaan ibu pertiwi dara rongrongan penjajah.
Merantau hingga Menjadi Serdadu Jepang
Nama kecil Johanes Abraham Dimara adalah Arabei. Ia lahir di Biak Utara, pada 14 April 1916, dengan Ayahnya seorang Korano (Kepala Kampung) bernama Willem Dimara. Saat berusia 13 tahun, ia diboyong oleh Elis Mahubesi – Kepala Polisi Ambon- ke Ambon. Di kota ini Dimara menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah dasar pada tahun 1930, kemudian memasuki sekolah pertanian di Laha. Dari tahun 1935 sampai 1940 ia menempuh pendidikan sekolah Injil. Sebagai lulusan sekolah agama, ia bekerja sebagai guru Injil di Kecamatan Leksuka, Pulau Buru, di bawah asuhan seorang pendeta Belanda.
Tatkala balatentara Jepang memasuki Pulau Buru pada awal 1942 semua sekolah ditutup. Dimara kemudian bergabung dengan pasukan Jepang karena saat itu tengah menganggur. Selama pendudukan Jepang, kesempatan sebagai anggota Heiho dan pembantu Kempeitai, telah memberikan semacam pengenalan dasar-dasar strategi militer pada Dimara. Setelah Jepang menyerah karena kota Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh Sekutu, Soekarno dan Hatta kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Merobek Bendera Belanda
Saat proklamasi dibacakan, Dimara tak mengetahuinya, sebab wilayah Ambon masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Saat pertemuan Linggarjati berlangsung, dia masih bekerja sebagai polisi di Pelabuhan Namlea, Ambon. Kehadiran sejumlah anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan kapal Sindoro dan membawa merah putih menjadi pintu awal tumbuhnya semangat nasionalisme. Kedatangan kapal tersebut melahirkan rasa ingin tahu, hingga membuatnya memutuskan untuk naik ke atas dan menemui kepala kapal. Kepada Yos Sudarso, Dimara menceriterakan bahwa orang-orang di Namlea sudah mendengar ‘soal merah putih’ (kemerdekaan Indonesia), hanya saja tidak ada gerakan.
Selanjutnya bersama sekitar 300 orang pemuda setempat dan pemuda Maluku yang diseludupkan oleh KM Sindoro itu, diantaranya ada Anton Papilaya, Dimara kemudian bergabung untuk menyerbu Pos Polisi di Namlea. Penyerbuan berhasil dan pada tanggal 8 April 1946, dengan merobek warna biru bendera Belanda, bendera merah putih berkibar di Namlea. Kegembiraan meliputi seluruh warga yang ada di Namlea. Selama empat hari kota Namlea dikuasai oleh merah putih. Peristiwa ini mengagetkan pihak Belanda di Ambon. Hal ini menyebabkan Dimara bersama Patisahursiwa dan Ibrahim Kabau ditangkap, kemudian dibawa ke Ambon untuk dipenjarakan hingga Desember 1949.
Berjuang Demi Irian Barat
Setelah dibebaskan karena adanya penyerahan kedaulatan, pada Maret 1950 ia bersama Johanes Latumakulita kembali ke Ambon. Ternyata Ambon telah dikuasai oleh para pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS) dan nyawa mereka terancam, sehingga kapal Waikelo yang ditumpanginya berbalik haluan kembali ke Makasar. Sampai di Makassar, ia bergabung menjadi tentara dalam Batalyon Pattimura, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pada Juli 1950, pasukan Dimara diberangkatkan ke Ambon untuk menumpas RMS pimpinan Soumokil. Kedatangan pasukannya disambut oleh pasukaan RMS sehingga terjadi pertempuran sengit. Dimana mendapat luka tembak dan dievakuasi ke Makasar untuk dirawat di Rumah Sakit Stella Maris. Di sana, ia bertemu dengan Presiden Soekarno yang berkunjung ke Rumah Sakit itu.
Setelah keluar dari rumah sakit, Dimara kembali ke Ambon dan langsung menghadap Komandan Resimen 25 Maluku Let. Kol. Sokowati. Dalam beberapa kali pertemuan yang juga dihadiri oleh Pieter dan pejabat militer lainnya, dibicarakan untuk membentuk Organisasi Pembebasan Irian (OPI). Dimara diangkat menjadi Ketua OPI, dan dalam perkembangannya OPI juga mempunyai cabang di Sorong dan Manokwari. Untuk kamuflase di Sorong dan Manokwari OPI merupakan singkatan dari Organisasi Pemuda Irian.
Atas mandat lisan dari Soekarno, pada pertengahan Oktober 1964, bersama sekitar 40 anak buahnya, pasukan Dimara menuju Irian Barat (Papua). Pertarungan yang tak seimbang terjadi saat OPI dan Belanda terlibat kontak senjata. 11 Anak buahnya tewas diterjang peluru musuh, sedangkan Dimara dan pasukan yang tertangkap. Sejak akhir Oktober 1954 sampai bulan Mei 1955 Dimara bersama anak buahnya mendekam dipenjara di Jayapura. Pengadilan kolonial akhirnya memutuskan Dimara bersama anak buahnya harus dikirim ke Penjara di Boven Digoel Tanah Merah.
Selama tujuh tahun Dimara mendekam di penjara Boven Digoel Tanah Merah. Pada April 1961 Dimara bebas dan pergi ke Soa Siu, Tidore. Pada akhir Agustus 1961, Dimara mendapat perintah dari Panglima Busyiri untuk pergi ke Jakarta. Bersama-sama dengan Suwages dan beberapa pemuda Papua lainnya berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal laut, mereka tiba di Jakarta pertengahan September 1961. Di Jakarta Dimara membuat laporan kepada Jendral Nasution tentang tugasnya masuk ke Papua tahun 1954 sampai dipenjarakan di Digoel.
Menjadi Delegasi RI
Pada bulan yang sama, ia dipanggil untuk bertemu Presiden Soekarno dan Menlu Soebandrio di Istana Merdeka. Kehadiran Dimara di istana mengukuhkannya sebagai salah seorang anggota yang ikut serta dalam delegasi Republik Indonesia (RI) ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Mulai saat itu Dimara sebagai tokoh pembebasan Irian Barat di PBB dan berangkat pada Oktober 1961.
Meskipun Dimara menjadi salah seorang tokoh Papua, tetapi tidak pernah meninggalkan komunitasnya di Jakarta. Sebagaimana diketahui pada tahun 1953 Mahmud Rumagessan diangkat menjadi Ketua Umum Gerakan Cenderawih Revolusioner Irian Barat (GCRIB). Sebagai Ketua I yaitu J.A. Dimara, Ketua II Andi Basso, dan A. Rambitan sebagai Sekretaris. Tujuan GCRIB ialah membantu usaha pemerintah RI dalam upaya memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi dari tangan kaum penjajah. Organisasi GCRIB kemudian lebih dikenal dengan nama Gerakan Rakyat Irian Barat (GRIB) dan dipimpin oleh J.A. Dimara menggantikan Silas Papare.
Organisasi GRIB memberikan kepercayaan kepada J.A. Dimara selain sebagai ketua GRIB juga sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional (Depertan). Hal yang menarik adalah J.A. Dimara sebagai anggota Depertan hanya berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu). Perkembangan selanjutnya, berdasarkan Keppres No.179/M Tahun 1962 tanggal 12 April 1962 terhitung mulai tanggal 1 April 1962 pangkat J.A. Dimara dinaikkan menjadi Mayor TNI AD. Pelantikan dilaksanakan pada tanggal 28 April 1962 oleh Wakasad Letjen Gatot Subroto. Akhirnya, sesuai pentahapan Persetujuan New York 1962, pemerintahan Untea di Irian Barat berakhir pada 1 Mei 1963, pada konteks ini Dimara menyaksikan peristiwa Presiden Soekarno meresmikan pemerintahan di Irian Barat dalam naungan Republik Indonesia.
Ide Patung Pembebasan Irian Barat Hingga Akhir Hayat
Seperti biasa HUT RI selalu saja di ramaikan dengan lomba-lomba serta pawai, pada pawai tahun 1962, Dimara yang baru kembali dari New York ikut serta dalam pawai tersebut. Untuk kostum ia memilih pakaian seragam tentara dengan pangkat mayor di lengkapi dengan rantai yang terputus di kedua kaki dan tangannya. Putusnya rantai menandakan bahwa tanah kelahirannya telah bebas dari penjajahan. Bung Karno melihat itu dan terinspirasi membuat patung pembebasan Irian Barat. Maka, dibuatlah patung pembebasan Irian Barat di lokasi yang hanya berjarak tidak sampai 1,5 km dari Istana negara, yakni di Lapangan Banteng.
Sejak Maret 1967 Dimara sering sakit, pada Oktober 2000 kesehatannya semakin menurun. J.A. Dimara sempat di rawat di RSPAD Gatot Soebroto. Pada 20 Oktober 2000, sang ‘Mutiara Hitam’ Papua ini akhirnya wafat dan dimakamkam di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer pada 23 Oktober 2000. Pemerintah kemudian menetapkan J.A. Dimara sebagai Pahlawan Nasional pada 11 November 2010. (dari berbagai sumber/ K-32)