Site icon PinterPolitik.com

Iwan Bule Terselamatkan Budaya Korea?

081413900 1577528637 r 8733

Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, bersama pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, dalam perkenalan pelatih Timnas Indonesia di Stadion Pakansari, Cibinong, Sabtu (28/12). (Foto: Bola.com/Yoppy Renato)

Baru-baru ini, pernyataan Pelatih Tim Nasional (Timnas) sepak bola Indonesia  Shin Tae Yong (STY) mengundang banyak pro dan kontra di masyarakat terkait pengunduran dirinya jika Iwan Bule mundur. Pernyataan itu berangkat dari Tragedi Kanjuruhan dimana PSSI dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Lantas, mengapa Iwan Bule tidak kunjung mundur?


PinterPolitik.com

Pelatih Tim Nasional (Timnas)sepak bolaShin Tae Yong (STY) bisa saja menjadi sosok yang dicintai oleh masyarakat Indonesia. Namun, baru-baru ini dirinya mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan.

Hal itu lantaran dirinya sempat membela Ketua Umum (Ketum) PSSI Mochamad Iriawan atau yang akrab dipanggil dengan Iwan Bule yang didesak mundur akibat Tragedi Kanjuruhan.

Dia menyatakan kepada publik bahwa jika Iwan Bule mundur, dirinya juga akan ikut mundur dari PSSI. Melalui unggahannya di Instagram, dia merasa perlu bertanggung jawab atas semua yang terjadi dan mengundurkan diri.

Menurutnya jika terdapat kesalahan dari rekan kerja yang bekerja bersama sebagai satu tim, maka dirinya pun juga memiliki kesalahan yang sama.

Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) mengungkapkan rasa kecewa tersebut dengan mengingatkan STY terkait politik sepak bola Indonesia. Melainkan daripada itu, Ketum PSTI Ignatius Indro berpendapat STY lebih baik hanya fokus melatih Timnas Indonesia.

Menurutnya juga, STY perlu menghindari pernyataan tersebut karena akan berpengaruh terhadap sentimen publik. Dia juga mengungkapkan STY seharusnya percaya diri saja dengan kemampuannya sehingga tidak bergantung dengan Ketum PSSI sekarang.

Jika STY memang cukup berprestasi, maka dia pasti akan menjabat kembali sebagai pelatih Timnas. Jika menyangkut dengan politik, masalah boleh jadi akan menjadi runyam.

Selain itu, menurut asisten pelatih Timnas Indonesia Nova Arianto, wacana mundurnya STY tidak didasari oleh tekanan siapa pun. Inisiatif itu memang hanya keluar dari hatinya yang paling dalam.

Lalu, sebagai orang yang akrab dengan budaya Korea Selatan (Korsel), bagaimana kacamata budaya melihat fenomena ini? Serta adakah korelasinya dengan dinamika perpolitikan Indonesia ke depan?

“Shame Culture”

Di Negeri Ginseng, ada sebuah istilah yang disebut dengan “shame culture” dimana ketika seorang pemimpin gagal, maka bawahannya merasa harus mundur juga. Di Semenanjung Korea, fenomena seluruh anggota berhenti jika pemimpin gagal seringkali ditemui

Istilah “shame culture” itu juga memiliki keburukan tersendiri. Ketika seseorang diserang oleh perasaan bersalah karena dibentengi oleh reputasi, hormat, gengsi, dan harga diri.

Prof. Dr. Kees Berten, seorang pakar etika terkemuka di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Aborsi sebagai Masalah Etika berpendapat terkait bahaya terbesar jika seseorang telah memiliki “shame culture”.

Dia menuturkan budaya berbahaya yang dimiliki oleh masyarakat yang memiliki tingkat shame culture tinggi akan dirundung perasaan rasa malu ketika kecacatan atau aib mereka diketahui oleh orang lain.

Konsep ini berlawanan dengan istilah “guilt culture” di mana sekalipun suatu kejahatan maupun kelalaian dalam konteks profesionalisme tidak diketahui oleh orang lain, pelaku tetap memiliki perasaan bersalah.

Pelaku kemudian akan merasa tidak tenang dan sering menyesal atas perbuatannya. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah untuk melakukan undur diri dari jabatannya tanpa harus dibuka terlebih dahulu kesalahannya.

Berdasarkan apa yang diungkapkan STY, dirinya lebih merujuk pada “shame culture” yang berkaitan pula dengan konsep solidaritas yang diungkapkan oleh Emile Durkheim dan Henri Bergson dalam bukunya yang berjudul Moral dan Religi.

Solidaritas memiliki makna keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang berdasarkan perasaan moral dan kepercayaan bersama. Hal tersebut  dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional.

Faktor yang paling berpengaruh dari solidaritas yakni adanya keterikatan yang didukung oleh nilai-nilai moral dan kepercayaan bersama. Dengan demikian, solidaritas akan menciptakan pengalaman emosional sehingga akan memperkuat hubungan antar mereka.

Seringkali olahraga sepak bola dikait-kaitkan dengan solidaritas dan profesionalisme. Pada budaya Korsel terutama, seringkali budaya mundur dari jabatan ditemukan akibat ada atasan atau pemimpin yang tidak profesional.

Pada akhirnya, prinsip yang dimiliki STY untuk mundur dari jabatan tampaknya juga merupakan buah hasil dari budaya tersebut yang lekat terhadap pengaruh emosional dari konsep solidaritas di dunia sepak bola.

Jika seseorang merasa bersalah mungkin saja dirinya melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kesalahannya meskipun hanya sebatas aksi solidaritas. Salah satu contohnya yaitu permohonan maaf, namun apakah hal ini sudah cukup untuk memaknai “shame culture”?

Maaf Tak Bermakna?

Kembali ke Iwan Bule, mantan Kapolda Metro Jaya itu sebenarnya telah menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat. Meskipun sebuah permintaan maaf tidak dapat mengembalikan nyawa para korban atau setidaknya mengobati luka akan trauma Kanjuruhan, namun nyatanya banyak masyarakat masih menuntut permintaan maaf darinya yang dinilai kurang berempati dan hanya dinilai sebagai “lip service” alias tanpa makna belaka.

Berbagai pemberitaan media juga menyebut bahwa Iwan Bule tidak terima dengan permintaan netizen bahwa dirinya harus mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab.

Desakan juga datang dari berbagai tokoh yakni pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Relawan Anies, Bonek alias suporter Surabaya, dan berdasarkan petisi yang telah mencapai 32.000 suara setuju Iwan Bule mundur.

Korsel menjadi salah satu negara yang dijadikan acuan jika ingin menilik moral etika. Mereka masuk dalam rumpun “shame culture”, bukan “guilt culture” seperti Jepang, Tiongkok, dan Indonesia.

Oleh karenanya, eksistensi STY seharusnya dapat menjadi “tamparan” bagi Iwan Bule bahwa dirinya masih perlu mengelola rasa malu dan tanggung jawab.

Salah satu contoh kisah yang sekiranya dapat mengacu pada budaya “shame culture” di Korea yakni kisah Perdana Menteri (PM) Korsel Chung Hong Won yang menyatakan mundur dari jabatannya karena tragedi tenggelamnya Kapal Sewol yang menewaskan 187 orang meninggal.

Chung Hong Won menyatakan perasaan duka dan rasa malunya melalui satu kalimat yang cukup menyayat hati. “Cries of the families of those missing still keep me up at night”. (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam).

Ungkapan Chung Hong Won tentunya berbeda dari “lip service” permohonan maaf budaya Indonesia. Dia mampu menunjukkan rasa empati terhadap para korban, meskipun sebenarnya secara teknis tragedi itu merupakan tanggung jawab kapten kapal, krew, dan pejabat terkait lalu lintas kapal.

Lantas, mengapa Iwan Bule tidak mengindahkan desakan dari berbagai pihak itu?

PSSI Kendaraan Politik?

Iwan Bule sendiri pernah dituding menjadikan PSSI sebagai kendaraan politik untuk menjadikan dirinya sebagai Gubernur Jawa Barat (Jabar). Terlebih, dirinya bahkan pernah menjadi Plt. Gubernur Jabar pada 18 Juni hingga 5 September 2018.

Jika benar, bisa jadi dia akan menjadi the next Ketua Umum PSSI sebelumnya yakni Edy Rahmayadi yang berhasil menjadi Gubernur Sumatera Utara (Sumut).

Upaya politik Iwan Bule sendiri yang sejauh ini telah tampak antara lain melalui  banner yang tersebar di beberapa titik di Jawa Barat, rilis resmi di PSSI terkait capaiannya, dan dukungan dari beberapa kelompok masyarakat untuk maju di Pilgub Jabar 2024.

Sebenarnya tidak mengherankan lagi jika PSSI memang sarat akan tendensi politis berdasarkan riwayat historisnya.

Salah satu publikasi berjudul The Politics of Indonesian Football yang ditulis oleh seorang antropolog dan sejarawan asal Belanda Freek Colombijn menyoroti asosiasi sepak bola yang telah menarik banyak baik peserta aktif maupun pasif, termasuk juga aktor politik.

Pada awalnya sepak bola memang dianggap sebagai representasi politik penguasa dan aspek sosio-kultural masyarakat. Hal itu dapat digambarkan melalui adanya berbagai aktor dan entitas politik yang silih berganti menduduki pucuk pimpinan PSSI demi kepentingannya.

Salah satu momentumnya yaitu pada penyelenggaraan liga alias piala nasional yang berpuncak pada semifinal dan final di Jakarta pada era Orde Baru (Orba). Setelah itu, ketika Soeharto tumbang, Colombijn menyiratkan bahwa kepentingan politik semakin terlihat  dalam dunia sepak bola Indonesia.

Oleh karena itu, dia menyimpulkan dunia sepak bola Indonesia merupakan manipulation of the game for political agendas alias manipulasi permainan untuk agenda politik.

Kembali lagi kepada narasi awal terkait pemahaman budaya “shame culture” di Korea beserta kisah mundurnya PM Korsel Chung Hong Won serta menilik kemungkinan kepentingan politik Iwan Bule, bisa jadi budaya “shame culture” STY bisa saja dianggap sebagai alat politik Iwan Bule untuk mempertahankan posisinya demi menjadi Gubernur Jabar.

Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, tragedi Kanjuruhan semestinya memang menjadi refleksi bagi para pihak terkait untuk bertanggung jawab penuh tanpa dibumbui intrik maupun kepentingan personal di baliknya. (Z81)

Exit mobile version