HomeNalar PolitikIvermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan di beberapa rumah sakit. Lalu, mengapa pemerintah tetap ingin memberlakukan Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19?


PinterPolitik.com

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan obat ivermectin dapat menekan angka penularan Covid-19. Dalam konferensi pers virtual, Erick memperkenalkan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19, bukan obat covid-19.

PT Indofarma sebagai bagian dari holding BUMN farmasi akan memproduksi ivermectin. Erick percaya Indofarma mampu memproduksi secara massal yang ditargetkan untuk produksi sebanyak 4 juta obat per bulan.

Harga obat yang dipatok pun terjangkau. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pun mengapresiasi kerja cepat Erick karena masyarakat tertolong dengan obat harga murah.

Moeldoko bahkan sudah membagikan puluhan ribu ivermectin ke berbagai wilayah zona merah, seperti Kabupaten Kudus, Semarang, Demak, Madura, dan sebagainya. Bupati Kudus HM Hartopo pun langsung menyebarkan 2.500 dosis ke rumah sakit dan supermarket.

BPOM sendiri belum menyatakan ada data uji klinis yang membuktikan Ivermectin dapat mencegah dan mengobati Covid-19.

Izin edar yang diberikan BPOM kepada ivermectin tidak diperuntukkan penanganan Covid-19, melainkan mengobati infeksi cacing parasit. Hingga saat ini keabsahan dari ivermectin hanya menjadi obat cacing.

Memang ada penelitian yang mengemukakan ivermectin sebagai obat terapi. Makalah peneliti dari  Australia berjudul The FDA-approved drug ivermectin inhibits the replication of SARS-CoV-2 in vitro menunjukkan ivermectin dapat menekan virus SARS-COV-2. Namun, penelitian tersebut masih sebatas in vitro atau pengujian di luar tubuh manusia.

Klaim ivermectin sebagai obat Covid-19 masih membutuhkan data-data pendukung untuk menimbang manfaat dan risikonya. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.

Baca Juga: Jokowi Lockdown, Saran yang Sia-sia?

Ahli wabah Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menegaskan ivermectin belum memiliki izin penggunaan bagi terapi kesembuhan Covid-19. Ia menyatakan pernyataan Erick merupakan berita miring karena mengklaim ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 yang sudah memperoleh izin edar BPOM.

Menariknya, ivermectin bukan obat pertama yang dipercaya oleh pemerintah dapat mengatasi Covid-19. Sebelumnya ada eucalyptus yang dipercaya dapat menangkal Covid-19 oleh Kementerian Pertanian (Kementan).

Ada juga obat malaria klorokuin yang dipercaya sebagai obat sekunder Covid-19. WHO sendiri mendesak Indonesia agar menangguhkan penggunaan obat klorokuin untuk mengobati pasien terinfeksi Covid-19. Serupa dengan klorokuin, WHO menyarankan ivermectin hanya digunakan dalam uji klinis.

Lantas mengapa Erick Thohir mempromosikan dan menetapkan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19? Apakah ada maksud di balik pernyataan Erick?

Blunder yang Disengaja?

Sebagai menteri, tentunya Erick Thohir dapat mengakses informasi atas ivermectin sebagai obat yang diproduksi oleh holding BUMN farmasi PT Indofarma. Erick seharusnya mengetahui informasi ketiadaan izin edar ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 dari BPOM.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pernyataan Erick menjadi hal yang menarik untuk dianalisis karena Erick membuat pernyataan yang keliru atas ivermectin. Walaupun pernyataan Erick tidak disokong bukti sains yang kuat, Erick tetap mempromosikan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 dan menggenjot produksinya agar bisa digunakan secara massal.

Mungkin saja, promosi Erick terhadap obat ivermectin merupakan bagian dari manajemen isu. Elizabeth Dougali dalam tulisannya Issues Management menyebut manajemen isu menjadi proses strategi pemerintah untuk menggunakan suatu isu sebagai bentuk distraksi atas isu lainnya.

Bisa jadi pernyataan Erick terkait ivermectin merupakan bagian dari blunder yang disengaja sebagai distraksi atas berbagai permasalahan yang sedang terjadi. Ivermectin juga tepat dijadikan bahan manajemen isu karena momentum pandemi.

Pemerintah memang sedang mengalami berbagai polemik yang mengundang kritik, seperti masalah ekonomi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan khawatir atas kemampuan pemerintah dalam membayar utang. Indef juga memprediksi diakhir pemerintahan Jokowi, utang akan mencapai Rp 10 kuadriliun.

Baca Juga: Akhirnya, Jokowi ‘Rilis’ PPKM Baru!

Para pengamat juga mengkritik Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani karena menetapkan prediksi laju pertumbuhan ekonomi yang dinilai kurang perhitungan karena selalu gagal terpenuhi. Ada juga polemik atas pajak sembako, pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain.

Adapula permasalahan lainnya, seperti penolakan Jokowi menetapkan lockdown, masih berjalannya proyek pembangunan di tengah pandemi, lonjakan kasus Covid-19, tes kebangsaan pegawai KPK, korupsi, terutama kasus bantuan sosial (bansos), dan sebagainya.

Di tengah berbagai masalah, blunder Erick terkait ivermectin mungkin saja hanya pengalihan isu belaka. Sebagai menteri, Erick seharusnya tidak memberikan pernyataan yang keliru tentang obat ivermectin karena Erick memiliki akses untuk memperoleh informasi atas obat tersebut.

Namun, bagaimana jika ini bukan manajemen isu? Apakah ini bentuk kebijakan prematur dari pemerintah?

Keputusan yang Terburu-buru?

Ivermectin yang sudah dipromosikan oleh Moeldoko sejak awal bulan Juni sempat ditegur oleh BPOM karena ivermectin dapat digunakan secara bebas oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Keputusan pemerintah untuk menetapkan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 menjadi keputusan yang terkesan terburu-buru. Hal ini disebabkan ketiadaan bukti saintifik yang menyatakan ivermectin merupakan obat Covid-19.

Beberapa negara memang sudah menggunakan ivermectin untuk menekan laju Covid-19, seperti India, Ceko, Peru dan Slovakia. Namun, WHO hanya mengizinkan penggunaan ivermectin dalam lingkup proses uji klinik.

Rekomendasi WHO dijalankan oleh BPOM, di mana BPOM belum memberikan izin edar terhadap ivermectin karena obat masih berada di tahap uji klinis. Uji klinik sendiri akan dilaksanakan BPOM di delapan rumah sakit di sejumlah daerah selama tiga bulan.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Lantas, mengapa Erick Thohir terus mendorong penggunaan ivermectin?

Tindakan Erick dapat dijelaskan melalui tulisan Tom Sasse dan kawan-kawan yang berjudul Science Advice In A Crisis. Sasse mengatakan dalam situasi krisis, saran saintifik dalam keputusan kebijakan publik tidak mudah untuk diimplementasikan.

Saran saintifik membutuhkan waktu kajian penelitian yang memakan waktu yang lama agar hipotesa dapat teruji kebenarannya. Di sisi lain, pemerintah juga harus cepat dalam membuat keputusan di situasi krisis. Kondisi in menempatkan pemerintah dalam situasi dilematis.  

Sasse mencontohkan kebijakan Britania Raya yang dibuat berdasarkan hasil penelitian SAGE. Namun,  penelitian tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga menimbulkan keterlambatan kebijakan lockdown dan kewajiban menggunakan masker.

Berangkat dari tulisan Sasse, walaupun kajian terhadap ivermectin sebagai obat Covid-19 belum kuat, keputusan Erick atas ivermectin tampaknya merupakan respons atas krisis pandemi Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Pemerintah berada di situasi dilematis karena harus berhadapan dengan waktu.

Di satu sisi, pemerintah harus menunggu hasil saintifik yang menetapkan ivermectin sebagai obat Covid-19. Namun, di sisi lain pemerintah juga harus bergerak cepat dalam membuat keputusan untuk menekan laju penularan Covid-19 yang semakin parah. Terutama semua varian Covid-19 dunia yang sudah berada di Indonesia saat ini.

Baca Juga: Luhut Akui Kesalahan Pemerintah?

Hal ini menjelaskan keputusan terburu-buru pemerintah dalam menetapkan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19. Pemerintah mencontoh negara lain yang juga menggunakan ivermectin, di mana fakta ini dijadikan dasar pemberlakuan Ivermectin.

Namun, keputusan prematur kebijakan publik yang tidak disokong oleh bukti saintifik yang kuat tentu memberikan dampak negatif. Menurut Sasse, hal ini akan berdampak buruk pada kepercayaan dan kepatuhan publik atas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi. 

Pemerintah harus transparan dan melakukan komunikasi yang efektif terkait pembuktian saintifik yang menyokong kebijakannya. Pemerintah juga perlu transparan dalam membuat kebijakan publik untuk membangun kepercayaan publik. Kepercayaan publik akan mempengaruhi kepatuhan masyarakat atas pemerintah dalam menangani Covid-19.

Situasi pandemi yang semakin kritis memang mendorong pemerintah untuk membuat keputusan yang cepat dan efektif. Namun, pernyataan keliru Erick terkait penetapan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 juga tidak dapat dibenarkan. Pernyataan Erick menjadi bukti komunikasi yang buruk oleh pemerintah kepada publik. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...

Jokowi Dukung Ganjar di 2024?

Relawan Jokowi menanti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menentukan dukungannya pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Sebagai king maker, siapa yang akan didukung Jokowi? Mungkinkah...