Isu presiden tiga periode kembali digulirkan. Sebelumnya, isu ini telah ditolak secara tegas oleh Presiden Jokowi pada Desember 2019 lalu. Menariknya, isu presiden tiga periode ternyata telah bergulir sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan fakta isu ini bukanlah isu baru, mungkinkah isu ini adalah “mainan” menguntungkan?
Tegas. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” begitu pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menanggapi usulan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode pada 2 Desember 2019 lalu.
Kendati diapresiasi banyak pihak, tanggapan itu sebenarnya terbilang agak terlambat. Hampir berselang sebulan, pada 12 November 2019, pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono yang pertama kali mengusulkan ide presiden tiga periode.
Usulan itu kemudian menjadi bola liar yang digulingkan oleh berbagai elite, mulai dari Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Ketua MPR Bambang Soesatyo, hingga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Sedikit berbeda dengan wacana tiga periode saat ini, respons Presiden Jokowi terlihat jauh lebih cepat. Seperti yang diketahui, isu itu dihembuskan oleh pendiri Partai Ummat, Amien Rais pada 13 Maret, dan dibantah oleh Presiden Jokowi dua hari kemudian, atau tepatnya pada 15 Maret.
“Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama-sama,” begitu penegasan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Di Balik Wacana Jokowi Tiga Periode
Uniknya, sebelum Amien Rais mengeluarkan pernyataan tersebut, pada 9 Maret, Ia bersama dengan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana.
Selain adanya perbedaan waktu dan narasi dalam merespons, serta momentum pertemuan Amien, pernyataan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro juga menjadi variabel penting. Menurutnya, isu presiden tiga periode ternyata sudah ada sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Artinya, ini bukan isu baru, melainkan “mainan” lama.
Lantas, ihwal apa yang dapat ditarik dari empat variabel menarik tersebut?
Sekadar “Mungkin”?
Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu memetakan opsi-opsi yang mungkin terkait wacana presiden tiga periode yang kembali dihembuskan oleh Amien Rais. Pertama, itu “sangat mungkin”. Kedua, itu “mungkin”. Ketiga, itu “tidak mungkin”.
Menimbang pada derasnya penolakan publik, serta adanya mekanisme hukum yang mengatur amendemen, opsi yang paling mungkin adalah yang kedua, yakni wacana itu sekadar “mungkin”.
Dalam artian, itu dapat terjadi karena memiliki mekanisme hukum, namun sulit terealisasi karena akan menimbulkan gejolak politik, khususnya dari masyarakat. Pemerintah tentu menghindari terulangnya demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi pada penolakan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Selain persoalan sentimen publik, ada juga faktor intervensi asing yang tidak dapat diabaikan. Pasalnya, ada desas-desus yang menyebutkan bahwa pihak asing berada di balik dan mendanai amendemen UUD 1945.
Pada 15 Februari 2007, Fadli Zon yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS) menyebutkan bahwa amendemen-amendemen UUD 1945 adalah agenda asing, yang mereka danai untuk kepentingan proyek demokratisasi dan liberalisasi.
Lebih spesifik, pada April 2002, politisi PDIP Amin Aryoso menyebutkan pendanaan dilakukan oleh National Democratic Institute for Internatioal Affairs atau NDI. Saat itu, tudingan intervensi NDI langsung ditepis oleh Direktur NDI di Jakarta, Peter Makinas.
Namun, apabila mengacu pada Larry Niksch dalam tulisannya Indonesia: May 1998 Political Crisis and Implications for U.S. Policy, pernyataan Fadli Zon dan Amin Aryoso tampaknya dapat diafirmasi.
Menurut Niksch, terdapat peran Amerika Serikat (AS) dalam mendukung tekanan International Monetary Fund (IMF) pada Soeharto untuk mereformasi ekonomi, mendesak militer Indonesia untuk menahan diri dalam menghadapi protes, dan mengkritik hilangnya aktivis anti-pemerintah.
Baca Juga: Saatnya Jokowi “Kelabui” AS-Tiongkok?
Sebagaimana diketahui, tekanan tersebut berimbas pada gejolak yang lebih besar, khususnya dalam sektor ekonomi. Alhasil, Soeharto harus tersungkur dari singgasananya.
Lalu, bertolak dari pandangan Profesor Politik di University of Chicago, AS, John J. Mearsheimer bahwa negeri Paman Sam memiliki agenda tatanan dunia yang dikenal sebagai liberal international order (tatanan dunia liberal), serta berusaha menjadi penjaga dan kiblat demokrasi dunia, mudah untuk menyimpulkan bahwa kemungkinan terdapat agenda AS dalam amendemen UUD 1945.
Trial Balloon?
Setelah membahas mengapa opsi yang paling mungkin adalah yang kedua, sekarang kita akan membahas keempat variabel penting sebelumnya. Keempatnya akan dituangkan dalam dua pertanyaan. Pertama, mengapa respons Presiden Jokowi kali ini jauh lebih cepat, serta narasinya lebih lembut dan diplomatis? Kedua, mengapa Amien Rais yang pertama kali mengeluarkannya?
Pada pertanyaan pertama, kuncinya pada variabel bahwa isu ini adalah isu lama, yang bahkan telah ada sejak era SBY. Artinya apa? besar kemungkinan ini hanyalah bagian dari strategi manajemen isu yang secara spesifik dikenal sebagai trial balloon.
Trial balloon adalah strategi yang dilakukan dengan cara melempar informasi ke tengah publik untuk mengobservasi dan memetakan reaksi atasnya. Bertolak dari pemetaan tersebut, maka ditentukanlah tanggapan atau sikap yang harus diberikan.
Mengacu pada isu pada November 2019 ketika terdapat jeda hampir sebulan, besar kemungkinan Presiden Jokowi saat itu sedang mengobservasi dan memetakan reaksi yang timbul akibat dihembuskannya isu tersebut.
Nah, bertolak dari kesimpulan pada Desember 2019 bahwa Presiden Jokowi mendapatkan atensi positif dari penolakan tegasnya, besar kemungkinan bahwa hal serupa tengah dicoba untuk diulang saat ini. Ihwal tersebut kemudian menjawab mengapa respons saat ini jauh lebih lembut dan diplomatis. Sederhananya, respons kali ini lebih terencana.
Lanjut pada pertanyaan kedua. Pertanyaan ini menjadi penting karena itu dapat menjadi jawaban perihal siapa pihak yang lebih mungkin melempar isu ini. Variabel penentunya pada pertemuan Amien Rais pada 9 Maret. Lalu, konteks yang lebih penting adalah, berbeda dengan Suhendra Hadikuntono yang disebut merupakan pendukung pemerintahan Jokowi, Amien sudah lama dikenal sebagai oposisi keras.
Sedikit berspekulasi, mungkinkah Amien Rais diberikan tugas untuk melempar isu tersebut? Pasalnya, bukankah isu ini akan lebih menarik atensi publik apabila oposisi yang menghembuskannya? Di titik ini, tentu timbul pertanyaan, mengapa Amien berkenan menjadi “pion”? Jawaban yang paling mungkin adalah sebagai barter atas penyelesaian kasus kematian enam laskar FPI.
Mengacu pada logika elektoral, jika Amien berperan besar dalam menyelesaikan kasus kematian enam laskar FPI, mudah untuk menyimpulkan bahwa Partai Ummat ataupun dirinya akan mendapatkan simpati luas dari kalangan yang menuntut pengusutan atas kasus tersebut.
Kesimpulan ini menjadi semakin relevan jika melihat wacana revisi UU ITE beberapa waktu yang lalu. Dengan fakta revisi UU ITE tidak diusulkan oleh pemerintah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, berbagai pihak kemudian menyimpulkan bahwa wacana tersebut hanyalah rebranding politik semata.
Baca Juga: Revisi UU ITE, Strategi Rebranding Jokowi?
Tujuannya sederhana, untuk menciptakan persepsi bahwa pemerintahan Jokowi mendengar aspirasi publik dan ingin membuat laju politik demokrasi berjalan lebih baik. Melihat momentumnya, wacana itu juga berdekatan dengan rilis data Economist Intelligence Unit (EIU), di mana skor indeks demokrasi Indonesia pada 2020 hanya menyentuh angka 6,30. Itu adalah skor paling rendah dalam 14 tahun terakhir.
Simpulan wacana UU ITE sebagai rebranding politik dapat kita afirmasi melalui tulisan Christopher Wlezien dan Stuart N. Soroka dalam Public Opinion and Public Policy. Menurut mereka, hubungan antara opini publik dan kebijakan publik merupakan hal mendasar bagi representasi politik. Prinsip fundamental dari pemerintahan yang demokratis adalah menjadikan kebijakan sebagai ekspresi dari opini masyarakat.
Mengacu pada Wlezien dan Soroka, akan sangat mudah terbentuk persepsi bahwa pemerintah sedang berlaku demokratis dengan menghembuskan wacana revisi UU ITE yang telah lama menjadi perhatian khusus masyarakat luas, akademisi, hingga elite politik.
Dengan asumsi pemerintah sedang melakukan rebranding politik lagi, maka secara logis dapat disimpulkan bahwa wacana presiden tiga periode yang kemudian ditolak Presiden Jokowi adalah rebranding politik. Ini adalah simpulan tautologis.
Well, pada akhirnya perlu untuk digarisbawahi, sekelumit analisis ini berpijak pada satu asumsi inti, yakni bertolak dari tesis Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe bahwa kekuasaan akan selalu mencari cara untuk mempertahankan status quo-nya. Artinya, sangat mudah membantah tulisan ini secara metodis, yakni cukup dengan membantah asumsi politik realis yang digunakan.
Selain itu, dengan fakta isu presiden tiga periode telah ada sejak era SBY, tentu sukar untuk mengetahui siapa sebenarnya yang memproduksi isu ini. Terakhir, terkait Amien, bisa jadi ini hanyalah trik mantan Ketua Umum PAN tersebut untuk menarik atensi publik semata. Kita lihat saja perkembangannya. (R53)