Penetapan denda bagi kelompok LGBT di Kota Pariaman mendapatkan sorotan dari banyak media internasional. Selain potensi persekusi serta kekerasan yang mungkin timbul, tidak sedikit yang menyinggung konteks Pilpres 2019 yang dianggap “tidak ramah” terhadap kelompok-kelompok marjinal ini dan menjadi salah satu variabel yang ikut menentukan isu tersebut. Keadaan ini memang kuat dipengaruhi oleh konteks religius-kultural masyarakat Indonesia, serta menguatnya kelompok-kelompok konservatif. Survei dari SMRC beberapa waktu lalu juga menyebutkan bahwa sekitar 90 persen masyarakat Indonesia menganggap kelompok LGBT sebagai “ancaman”.
PinterPolitik.com
“In an election, one needs both hope and audacity.”
:: Francois Hollande, mantan Presiden Prancis ::
[dropcap]A[/dropcap]khir November 2018 lalu beberapa media internasional menyoroti pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) di Kota Pariaman, Sumatera Barat yang mengenakan denda sebesar Rp 1 juta bagi oknum atau kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
The Guardian misalnya menulis bahwa persoalan ini telah menjadi isu yang punya dampak besar setelah aksi-aksi persekusi yang muncul terhadap kelompok-kelompok marjinal tersebut.
Sementara South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa kebijakan yang cenderung abusive dan absdurd ini dibangun dengan tendensi politik yang menjurus ke kepentingan elektoral. Pasalnya, menguatnya kelompok-kelompok konservatif memang menjadi salah satu alasan mengapa isu ini punya kekuatan politik tersendiri dan mengapa pemerintah tidak mampu berbuat banyak.
Tidak ada partai politik yang berani bicara soal perlindungan terhadap kaum LGBT, bahkan partai nasionalis seperti PDIP sekalipun. Alasannya karena isu ini akan membuat mereka kehilangan suara. Share on XKelompok-kelompok konservatif kini memiliki kekuatan politik yang sangat besar, terutama pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Tidak heran, muncul ketakutan di kalangan kelompok-kelompok marjinal ini – seperti yang ditulis oleh media domestik, The Jakarta Post – sebagai perwujudan dari konteks Pemilu di tahun mendatang.
Hal ini dapat terjadi karena dua kandidat yang akan bertarung sama-sama “menggunakan” kelompok konservatif untuk menggalang dukungan politik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya memilih Ma’ruf Amin, ulama yang oleh kelompok-kelompok marjinal dianggap sebagai “musuh” lewat fatwa-fatwanya saat menjadi petinggi di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ma’ruf pernah mengusulkan agar LGBT dimasukkan ke dalam delik pidana dan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Sosok sang kiai itu kontras dengan pribadi Jokowi sebagai pasangannya yang dianggap sebagai sosok yang bisa menjadi saluran aspirasi kelompok-kelompok marjinal.
Sementara, pada saat yang sama Prabowo Subianto pun mayoritas didukung oleh partai-partai Islam serta kelompok-kelompok konservatif dan Islam garis keras yang tentu saja tidak akan bersahabat dengan komunitas LGBT dan yang sejenisnya.
Konteks ini sempat membuat banyak bagian dari komunitas tersebut mewacanakan untuk tidak ikut memberikan suaranya pada Pilpres 2019 mendatang.
Menariknya, dengan konstelasi politik yang saat ini menguat, pemerintahan Jokowi dianggap diam menghadapi munculnya aksi-aksi kekerasan dan persekusi terhadap kelompok-kelompok marjinal tersebut. Beberapa pihak menyebutkan Jokowi “bermain aman” dalam isu ini demi menjaga suaranya dari kelompok-kelompok Islam.
Sementara bagi Prabowo, sekalipun punya platform politik nasionalis, namun ia telah ada dalam koalisi yang menggunakan isu agama sebagai konteks perjuangannya. Pertanyaannya adalah seberapa besar signifikansi isu LGBT terhadap hasil Pilpres di 2019 nanti?
Elegi Kelompok Marjinal
Isu LGBT dan homoseksualitas memang bisa menjadi topik perdebatan yang panjang dalam politik Indonesia.
Banyak penulis dan aktivis yang menyebutkan bahwa konteks isu ini sebetulnya telah ada dalam akar budaya masyarakat Indonesia. Serat Centhini yang terbit tahun 1814 dianggap telah mengambarkan hal tersebut, sementara kesenian Lenong dan Ketoprak misalnya, telah sejak lama memasukkan unsur transeksualitas sebagai bagian dari cara untuk menyampaikan humor yang mengundang gelak tawa dan hiburan.
Namun, pada saat yang sama, kultur berbasis agama juga sangat kuat di Indonesia dan menganggap LGBT sebagai perilaku yang “haram” dan menyalahi ajaran-ajaran agama. Konteks religius-kultural ini jauh lebih kuat karena agama adalah identitas yang paling kuat di Indonesia.
Hal inilah yang kemudian melahirkan benturan terhadap kelompok-kelompok marjinal seperti komunitas LGBT.
Konteks benturan-benturan tersebut kemudian semakin tajam setelah globalisasi membawa arus perubahan dan liberalisme ke seluruh dunia. Demokrasi sebagai ujung tombaknya kemudian memberikan ruang-ruang pada semua kelompok untuk memperjuangkan kepentingannya – termasuk kelompok-kelompok LGBT.
Pasca reformasi 1998, aktivisme kelompok-kelompok marjinal ini memang memiliki ruang yang dijamin oleh negara. Namun, demokrasi juga memberikan kesempatan pada kelompok-kelompok konservatif untuk memperkuat basis politiknya.
Pada akhirnya, benturan antara dua kelompok ini pun semakin tidak bisa dihindarkan. Sayangnya, benturan ini tidak sedikit yang berujung pada kekerasan, persekusi dan diskriminasi – yang pada titik tertentu memang menjadi pelanggaran terhadap basis hak-hak asasi manusia (HAM).
Dalam konteks Pilpres 2019, benturan politik dengan kelompok-kelompok marjinal ini sebetulnya menandai fenomena yang lebih besar yang terjadi di atasnya.
Terkait hal tersebut, kolumnis Yaroslav Trofimov dalam tulisannya di The Wall Street Journal menyebutkan bahwa fenomena intoleransi memang sedang menguat di Indonesia.
Ia kemudian mengutip pernyataan putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Yenny Wahid yang menyebutkan bahwa konteks intoleransi tersebut lahir karena lawan-lawan Jokowi mencap sang presiden sebagai pemimpin yang anti-Islam.
Konteks anti-Islam ini kemudian menjadi narasi yang meluas karena diterjemahkan bukan hanya anti terhadap kepentingan pemilih Islam saja, tetapi juga anti terhadap nilai-nilai Islam. Kelompok-kelompok minoritas pun pada akhirnya berada pada posisi di seberang karena isu eksklusi – menghambat individu atau komunitas terhadap entitas, sumber daya, atau hak tertentu – menjadi salah satu muatan politik utama yang digaungkan lawan-lawan politik Jokowi.
Sebagai catatan, eksklusi itu salah satunya bisa dilihat dari isi sambutan Rizieq Shihab pada acara Reuni 212, terutama dalam konteks eksklusi Pancasila dan UUD 1945. (Baca: Rizieq: Ayat Sudi di Atas Konstitusi) Pada titik inilah isu-isu LGBT yang dianggap bertentangan dengan agama mendapatkan penekanan lebih.
Persoalannya menjadi semakin kompleks sebab beberapa daerah kemudian membuat peraturan untuk “mengeradikasi”– kata yang digunakan oleh beberapa pemimpin daerah – atau menghapus keberadaan LGBT dari masyarakat.
Pariaman adalah yang telah membuat peraturan tersebut, sementara daerah-daerah lain, seperti Payakumbuh di Sumatera Barat dan Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah juga tengah mewacanakan Perda anti LGBT.
Beberapa pihak menganggap hal ini dapat terjadi pasca meningkatnya “ketakutan publik” setelah beberapa tahun lalu terjadi kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah umur di beberapa daerah.
Hal ini kemudian menjadi salah satu alasan muncul ketakutan yang cukup masif di masyarakat. Ini dibuktikan oleh survei dari SMRC pada awal 2018 lalu yang menyebutkan bahwa sekitar 90 persen masyarakat Indonesia merasa “terancam” oleh kelompok LGBT.
Survei tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 53,3 persen masyarakat menyatakan tidak akan menerima anggota keluarga yang LGBT. Artinya, perjuangan kelompok-kelompok LGBT bukan hanya dalam konteks aspirasi politik semata, tetapi juga melawan konteks religiusitas dan sosio-kultural masyarakat. Tantangan tersebut semakin berat seiring menguatnya kelompok-kelompok konservatif berbasis agama.
Jokowi-Prabowo Main Aman?
Pengacara asal New York, Virat K. Gupta dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa di negara seperti Amerika Serikat (AS), suara kelompok-kelompok LGBT memang punya peningkatan pengaruh dalam kontestasi politik. Di negara tersebut diperkirakan ada sekitar 4-5 persen anggota komunitas-komunitas LGBT dari total keseluruhan jumlah pemilih, dan rata-rata memang cenderung ada di kubu Partai Demokrat.
Sementara di Indonesia memang belum ada angka pasti total jumlah anggota kelompok ini. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 menyebut ada sekitar 1 juta orang anggota kelomkpok LGBT. Namun, diperkirakan jumlah anggota komunitas-komunitas LGBT bisa menyentuh angka 3 persen dari total keseluruhan populasi atau antara 7,5 sampai 8 juta.
Pada Pilpres 2014 lalu, memang ada kecenderungan kelompok-kelompok ini mendukung Jokowi. Namun, kini dukungan mereka berpotensi hilang, bahkan bisa melahirkan political cynicism – sebuah sikap tidak percaya pada kubu politik manapun sebagai akibat gagalnya negosiasi kepentingan.
Bagi Jokowi, akan ada peluang untuk kehilangan suara dari kelompok ini. Sang presiden memang terlihat “bermain aman” demi mengamankan suara kelompok mayoritas. Hal serupa juga terjadi di kubu Prabowo yang cenderung kuat karena kelompok-kelompok konservatif.
Ini dengan sendirinya membenarkan pernyataan pendiri lembaga advokasi kelompok LGBT, GAYa Nusantara, Dede Oetomo yang menyebutkan bahwa tidak ada partai politik yang berani bicara soal perlindungan terhadap kaum LGBT, bahkan partai nasionalis seperti PDIP sekalipun. Alasannya tentu saja karena isu ini akan membuat mereka kehilangan suara dari mayoritas masyarakat.
Pada akhirnya, memang besar harapan bahwa pertarungan politik di 2019 tidak melahirkan gesekan-gesekan yang memecah belah masyarakat. Bagaimanapun juga, kekerasan dan persekusi adalah hal-hal yang tidak dibenarkan. Selain itu, seperti kata Francois Hollande di awal tulisan, Pemilu seharusnya mendatangkan harapan. (S13)