Desain Istana Negara yang terbaru menghasilkan polemik di antara masyarakat. Desain tersebut dikritik oleh kelompok masyarakat karena dianggap mengabaikan aspek lingkungan dan sosial. Desain itu sendiri tidak dibuat oleh arsitek melainkan pematung yang menekankan nilai estetika. Jika benar demikian, mengapa pemerintah mengutamakan nilai estetika pada pembangunan Istana Negara?
Desain Istana ‘Garuda’ Presiden yang akan dibangun di Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Istana tersebut memiliki desain yang megah dengan bentuk burung garuda yang sedang mengembangkan sayapnya.
Desain ini diunggaholeh Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa melalui akun instagramnya. Sayangnya unggahan yang berisi video singkat desain Istana Negara tersebut telah dihapus beliau.
Desain tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama asosiasi profesional arsitektur. Metafora harafiah pada Istana Negara ini berseberangan dengan rencana pemerintah yang ingin mewujudkan konsep forest city atau kota yang berwawasan lingkungan. Desain tersebut tidak memberikan contoh sebagai gedung yang mencirikan pembangunan rendah karbon.
Permasalahan lainnya adalah desain Istana Negara ini tidak didesain oleh arsitek, melainkan seorang pematung yang bernama I Nyoman Nuarta. Nyoman merupakan pematung yang menggarap proyek Patung Garuda Wisnu Kencana di Bali dan telah menghabiskan biaya sebesar Rp 1,4 triliun. Angka ini lebih tinggi dari biaya pembangunan patung Liberty dan menara Eiffel. Maka dari itu, ada kekhawatiran terkait pemborosan anggaran.
Asosiasi profesional arsitektur meminta agar arsitek dilibatkan dalam perencanaan Istana Negara. Nyoman Nuarta memang memiliki keahlian dalam pembangunan monumen, tetapi tidak pada proyek Istana Negara, karena itu merupakan dua hal yang berbeda. Pemerintah berdalih bahwa Nyoman masuk dalam sayembara perancangan bangunan Istana Negara karena dianggap memiliki jiwa arsitek. Hal ini didasari oleh Garuda Wisnu Kencana dan patung-patung yang dibuat oleh Nyoman yang dinilai bagus.
Sikap pemerintah yang memilih seorang pematung daripada arsitek untuk mendesain Istana Negara menjadi hal yang tidak biasa. Hal ini seolah menunjukkan nilai estetika menjadi aspek yang dominan dalam perencanaan. Memberatkan perhatian pada nilai estetika dianggap hanya menjadi citra belaka dan dapat mengabaikan aspek-aspek lainnya yang tidak kalah penting.
Baca Juga: Ibu Kota Baru, Jokowi’s Gambit?
Hal ini membawa kita ke pertanyaan, keuntungan politik apa yang dapat diperoleh oleh pemerintah melalui Istana Negara ini? Apakah gedung berbentuk garuda ini menjadi simbol politik yang membawa Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperoleh legasi politik?
Istana Negara, Legasi dan Simbol Pancasilais
Indonesia tidak memiliki pengalaman dalam pemindahan ibu kota. Pemindahan terakhir dilakuan pada masa penjajahan Belanda. Maka dari itu, upaya Jokowi untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim dapat menjadi sebuah legasi.
Legasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin akan membentuk memori dan persepsi kolektif dari publik. Ungkapan itu disebut dalam tulisan Political Legacies: Understanding Their Significance to Comtemporary Political Debates oleh Christina Fong dkk. Fong bahkan menjelaskan bahwa memori dan persepsi kolektif tersebut dapat tetap ada di masyarakat setelah tokoh pemimpin tersebut sudah tidak menjabat lagi. Maka dari itu, proyek Ibu Kota Negara (IKN) akan membuat memori kolektif terhadap Jokowi sebagai sosok yang memindahkan ibu kota ke Kaltim.
Simbol burung garuda pada gedung Istana Negara juga akan meninggalkan legasi kepada Jokowi yang mengandung makna tersendiri. Kelebogile Resane pada tulisannya Statues, symbols and signages: Monuments towards socio-political divisions, dominance and patriotism? menjelaskan bahwa patung, simbol, ikon dan sebagainya, memiliki makna yang dibentuk oleh orang atau masyarakat itu sendiri. Makna monumen tersebut juga dibentuk berdasarkan alasan dia dibangun.
Misalnya, Patung John Rhodes di Afrika Selatan yang menunjukkan simbol dominasi kolonialisme. Patung tersebut akhirnya dirusak oleh gerakan #RhodesMustFall yang terjadi di Afrika Selatan sebagai bentuk protes dari praktik kolonialisme. Legasi kolonialisme juga terlihat pada patung Edward Cornwallis dan John A. Macdonald di Kanada yang dirusak oleh aktivis pada tahun 2018.
Pada konteks Jokowi, desain burung garuda memiliki filosofi tersendiri. Nyoman mengatakan bahwa filosofi lambang garuda mencerminkan Indonesia adalah bangsa yang besar dan menggambarkan negara yang kuat. Mengikuti dari ungkapan Resane, maka lambang burung garuda memiliki makna politik, yakni menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang kuat dan besar.
Baca Juga: Ibu Kota Baru, Penentuan Jokowi
Selain itu, burung garuda serta filosofinya juga menggambarkan karakter Jokowi yang hobi menyematkan nilai-nilai Pancasila pada berbagai kondisi sosial. Beberapa kali Jokowi mengatakan bahwa ideologi Pancasila menjadi bintang penjuru bagi Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan menghadapi pandemi Covid-19. Selain itu, Jokowi juga sering mengingatkan untuk memproduksi kebijakan yang mengandung nilai Pancasila.
Filosofi desain burung garuda dan Jokowi yang pancasilais sepertinya menjelaskan desain Nyoman dipilih sebagai desain Istana Negara. Sikap pancasilais Jokowi juga terlihat pada pembangunan IKN yang menggunakan konsep Kota Pancasila dan memiliki lima tugu Pancasila, danau Pancasila dan plaza Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, pembangunan yang menekankan nilai estetika memunculkan problematika lainnya. Pasalnya, pemerintah seperti terkesan mengenyampingkan aspek lainnya yang tidak kalah peting untuk dijadikan bahan konsiderasi dalam perencanaan pembangunan Istana Negara di Kaltim.
Nilai Estetika vs Fungsional
IKN yang baru menggunakan konsep Nagara Rimba Nusa, yakni desain IKN akan mengandung nilai-nilai lingkungan sebagai bentuk refleksi dari potensi alam Indonesia yang memiliki hujan tropis terbesar di dunia. Desain IKN bermaksud menyatukan alam dan teknologi secara berdampingan. Hal ini juga menjadi bentuk realisasi kota yang ramah lingkungan dan mengandung nilai pembangunan berkelanjutan.
Namun klaim ingin mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dianggap tidak sejalan dengan desain Istana Negara karena terlalu menekankan pada nilai estetika untuk pencitraan semata.
Konsep pembangunan yang berkelanjutan dapat dijelaskan melalui tulisan Socio environmental impact in eco-architecture oleh I. Ibrahim. Ia menjelaskan bahwa terdapat nilai-nilai yang dapat harus dimiliki dalam rancangan bangunan, yakni nilai estetika, lingkungan, sosial, politik dan moral.
Perlu untuk melihat agar nilai-nilai tersebut berkolaborasi dan seimbang dalam sebuah bangunan. Ibrahim mengatakan bahwa penting bagi perencanaan pembangunan untuk melibatkan masyarakat serta memahami kebutuhan, kultur dan kebiasaan dari masyarakat itu sendiri.
Melihat permasalahan di Jakarta, pemerintah berjanji tidak akan mengulang kesalahannya di Jakarta dan akan membangun tata kota yang lebih baik. Namun, berangkat dari pernyataan Ibrahim, desain Istana Negara dan IKN yang baru tampaknya belum menggambarkan pembangunan yang berkelanjutan sehingga dapat memicu permasalahan sosial.
Perencanaan pemindahan IKN sedari awal sudah menimbulkan kekhawatiran. Masyarakat khawatir atas pembangunan tersebut akan mengancam hutan dan mangrove. Masih banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupan sehari-harinya pada hutan.
Ada kekhawatiran bahwa pembangunan ini akan menimbulkan masalah air bersih seperti yang terjadi di Jakarta. Pasalnya, beberapa kota di Kalimantan sudah mengalami masalah tersebut, misalnya Balikpapan.
Baca Juga: Ibu Kota Baru Pengaruhi Asing
IKN juga akan mengambil lahan yang sangat besar, yakni tiga kali lebih besar dari DKI Jakarta. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga dinilai rendah dalam perencanaan pembangunan IKN. Wanda Wadigdo dan I Ketut Canadarma dalam tulisannya Cangkupan Empati Manusia pada Karya Arsitektur, mengatakan bahwa pemerintah sering kali memiliki persepsi yang keliru dalam memaknai pembangunan yang berkelanjutan. Kekeliruan ini didasari oleh perencanaan pembangunan yang masih menitikberatkan pada aspek ekonomi dan estetika atau fisik gedung itu sendiri.
Tulisan Wanda dan I Ketut menjelaskan permasalahan sikap pemerintah yang lebih mementingkan nilai estetika dan ekonomi. Pemerintah yang memilih seorang pematung untuk mendesain Istana Negara menunjukkan sikap pemerintah yang lebih mementingkan nilai estetika. Pemerintah yang disebut tidak melibatkan arsitek dalam desain Istana Negara juga menggambarkan sikap pemerintah yang abai pada aspek lainnya, seperti sosial dan lingkungan. (R66)