Site icon PinterPolitik.com

Israel, Tanda Kejatuhan Amerika?

israel tanda kejatuhan amerika

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ketika berkunjung ke Tel Aviv, Israel, pada 18 Oktober 2023. (Foto: Flash90)

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi sebuah resolusi yang mendorong gencatan senjata humaniter antara Israel dan Palestina pada Jumat (27/10) lalu. Dalam resolusi tersebut, Amerika Serikat (AS) yang menolak resolusi memiliki sikap yang berbeda dengan negara-negara Barat yang notabene adalah sekutunya.


PinterPolitik.com

“If you want to leave this ship behind, then leave me behind too!” – Usopp, One Piece (1999-sekarang)

Kutipan di atas adalah potongan percakapan yang terjadi antara Usopp dan Monkey D. Luffy bersama teman-temannya (nakama). Di momen mengharukan tersebut, Usopp memutuskan untuk meninggalkan nakama-nya.

Keputusan Usopp untuk keluar dari bajak laut Topi Jerami bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, Usopp sudah tidak sejalan lagi dengan Luffy – khususnya soal keputusan untuk membeli kapal laut baru.

Padahal, sebagai sebuah kesatuan nakama, Luffy, Usopp, Zoro, Nami, Sanji, Chopper, dan teman-teman lainnya sangatlah dekat. Bahkan, bisa dibilang Luffy dan Usopp selalu kompak – apalagi saat bercanda.

Mungkin, perbedaan pandangan ini juga sedang terjadi di dunia nyata, khususnya dalam politik internasional. Negara-negara Barat – seperti Prancis, Spanyol, dan Britania (Inggris) Raya – merupakan nakama setia bagi Amerika Serikat (AS).

Namun, dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai gencatan senjata humaniter dalam perang Israel-Palestina, AS dan negara-negara Barat tersebut justru beda sikap.

Jika AS tetap kukuh berada di pihak Israel dengan menolak resolusi tersebut, negara-negara Barat justru mulai mengubah posisi mereka. Prancis dan Spanyol, misalnya, menyetujui pengadopsian resolusi tersebut. Sementara, Inggris memutuskan untuk abstain.

Dinamika nakama negara-negara Barat ini sebenarnya menarik bila ditelaah lebih lanjut. Di tengah konflik Israel-Palestina yang membara, AS justru semakin ditinggalkan.

Sontak saja, pertanyaan lanjutan kemudian muncul. Mengapa AS yang kerap dianggap sebagai negara adidaya malah ditinggalkan oleh nakama-nya? Mungkinkah ini akhir kejatuhan AS?

Amerika dan Barat Sudah Tidak Sejalan?

Politik intenasional secara tidak langsung sebenarnya berjalan sederhana – yakni layaknya hubungan antar-manusia di masyarakat. Dan, dalam menjalankan hubungan antar-individu tersebut, nilai dan prinsip juga mengatur interaksi antar-negara.

Mengacu ke tulisan John J. Mearsheimer yang berjudul Bound to Fail, terdapat sejumlah tatanan dunia (international order) yang diinternalisasi oleh negara-negara. Dua tatanan tersebut adalah tatanan liberal dan tatanan agnostik.

Tatanan liberal adalah tatanan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Tatanan inilah yang diusung oleh AS dan negara-negara Barat – khususnya setelah Perang Dunia II berakhir dengan lahirnya rezim-rezim kebebasan seperti perdagangan tanpa hambatan.

Di sisi lain, terdapat tatanan agnostik yang lebih menekankan pada pragmatisme. Selama kepentingan terpenuhi, negara akan bekerja sama dengan negara lain tanpa mempertimbangkan apakah prinsip dan nilai yang dianut sama atau tidak.

Tatanan agnostik ini, menurut Mershaimer, kini dibawa oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dengan kebangkitannya sebagai kekuatan penantang bagi AS, Tiongkok mampu bekerja sama dengan negara manapun – mulai dari negara yang menganut demokrasi hingga otoritarian.

Namun, bukan tidak mungkin, negara yang menganut tatanan liberal pada akhirnya berubah menjadi agnostik – apalagi kekuatan yang menjaga tatanan tersebut mendapatkan tantangan besar dari kekuatan lain. Boleh jadi, inilah yang dialami oleh AS yang kini menghadapi kekuatan-kekuatan penantang seperti Tiongkok – dan juga Rusia di kawasan Eropa.

Alhasil, AS bisa saja makin meninggalkan tatanan dunia tersebut. Ini bisa dilihat dari bagaimana AS akhirnya tidak mengedepankan nilai kemanusiaan dan tetap menekankan dukungannya pada Israel – berbeda dengan negara-negara Eropa yang cenderung masih membawa nilai tersebut, misal dengan tetap menerima imigran dan pencari suaka dari Timur Tengah.

Belum lagi, konflik Israel-Palestina juga semakin terbawa ke luar kawasan Timur Tengah. Rusia, misalnya, ikut memprotes aktivitas Israel di Suriah. Di sisi lain, Tiongkok mulai bersikap kritis terhadap Israel.

Namun, apakah benar kehadiran Rusia dan Tiongkok adalah satu-satunya alasan bahwa AS semakin ingkar dengan tatanan liberalnya? Mungkinkah Israel sebenarnya adalah biang keroknya?

Terbujuk Tipu Muslihat Israel?

Sebenarnya, pada dasarnya, AS juga tidak se-liberal itu – meskipun kerap kali mendengungkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Ini juga terlihat dari dinamika politik domestik yang turut mempengaruhi kebijakan luar negeri AS sendiri.

Dalam politik domestik, upaya lobi politik merupakan hal yang lumrah. Bahkan, ada sejumlah pelobi (lobbyists) yang dapat disewa untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Inilah yang dijelaskan oleh John Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam buku mereka The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy. Mengacu ke buku tersebut, Israel disebutkan memiliki jaringan pelobi yang masif.

Upaya-upaya lobi dilakukan melalui organisasi-organisasi pengusaha Israel. Salah satunya adalah kelompok pelobi besar seperti American Israel Public Affairs Committee (AIPAC).

Bagaimana AIPAC bisa begitu mempengaruhi para pengambil kebijakan AS? Ternyata, organisasi ini bersifat bipartisan – artinya memiliki jaringan di dua garis partai politik besar di AS, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat.

Inilah mengapa pada akhirnya kebijakan luar negeri AS terhadap Israel tidak berubah banyak meskipun presiden dan partai politik yang berkuasa juga berubah-ubah. Alhasil, Israel tetap aman posisinya ketika negara adidaya seperti AS mampu melindunginya dari cibiran internasional.

Namun, layaknya sebuah masyarakat pada umumnya, masyarakat internasional juga bekerja dengan mekanismenya sendiri. Artinya, ketika AS sudah semakin melemah, masyarakat internasional juga semakin sedikit bergantung kepada AS – baik dalam hal diplomasi maupun koersi.

Siapa tahu, di kemudian hari, ketika AS tidak lagi menjadi satu-satunya negara adikuasa, dinamika konflik antara Israel dan Palestina akan berubah? Itu semua kembali ke bagaimana negara-negara penantang – mulai dari Tiongkok, Rusia, Brasil, India, hingga negara-negara kekuatan menengah seperti Indonesia dan Turki – mampu menggeser keseimbangan kekuatan yang berjalan di panggung politik dunia. (A43)


Exit mobile version