Insiden kekerasan antara Israel dan Palestina terus berlanjut, mulai dari Yerusalem hingga Gaza. Apakah berbagai kekerasan ini merupakan buah kegagalan Donald Trump kala menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS)?
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem menjadi saksi bentrokan yang terjadi antara aparat keamanan Israel dengan warga Palestina. Kerusuhan ini diduga terjadi karena ada keputusan aparat keamanan Israel yang menutup akses ke Masjid Al-Aqsa. Tindakan ini ternyata memancing reaksi dari warga Muslim Palestina yang akan melaksanakan ibadah tarawih dan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan.
Selain itu, pemicu lainnya diduga berasal dari warga Palestina yang terkena dampak penggusuran paksa di pemukiman Muslim Palestina di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur. Warga Palestina pun memprotes upaya penggusuran ini karena Israel dianggap mengambil paksa tanah mereka.
Akumulasi dari kejadian ini menjadi tanda bahwa konflik antar Israel dan Palestina tidak pernah berakhir. Segala bentuk upaya perdamaian pun selalu menemui jalan buntu. Kesepakatan Abraham atau Abraham Accords yang diinisiasi pada masa pemerintahan Donald Trump ternyata tidak membuahkan hasil. Alih-alih untuk mendamaikan kedua belah pihak, justru menimbulkan masalah baru.
Kesepakatan yang melibatkan negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko ternyata mendapat kecaman. Tidak hanya dari pemerintahan Palestina melainkan dari kekuatan besar lain yang ada di kawasan Timur Tengah, yakni Iran.
Negara ‘mullah’ ini mengecam normalisasi hubungan antara Israel dengan UEA karena dinilai akan memupus harapan Palestina untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat. Meski adanya kecaman, kesepakatan normalisasi hubungan tetap terjadi – bahkan disusul negara lainnya seperti Bahrain, Sudan dan Maroko.
Sementara, kekuatan besar di kawasan Timur Tengah, Arab Saudi pada saat itu masih belum menyatakan dengan jelas untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Namun, salah satu negara yang paling berpengaruh di kawasan Timur Tengah ini mengizinkan pesawat Israel melintas di wilayahnya selama menuju perjalanan ke Uni Emirat Arab (UEA). Hal ini memperlihatkan bahwa ada indikasi hubungan yang dijalin antar keduanya tetapi tidak tampak secara frontal di hadapan publik.
Kondisi inilah menjadi dilematis karena sejauh ini Arab Saudi termasuk negara yang konsisten mendukung Palestina untuk menjadi negara yang berdaulat. Sementara, bagi Israel, normalisasi hubungan yang terjalin dengan beberapa negara Arab dinilai sebagai suatu kemenangan.
Hal ini disebabkan kesepakatan damai dengan negara-negara Arab tidak serta merta membuat Israel menghentikan upaya aneksasi Israel atas wilayah Tepi Barat. Terlihat dari keinginan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu untuk ‘menunda’ aneksasi terhadap Palestina. Bahkan, ia menyatakan tidak akan pernah mengubah rencana untuk terus mempertahankan kedaulatan negaranya.
Kondisi inilah yang akhirnya memengaruhi situasi keamanan di kawasan Timur Tengah. Kesepakatan Abraham yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) tidak melibatkan Palestina di dalamnya.
Nyatanya, negara-negara berkekuatan besar saja yang terlibat di atas meja perundingan dan akibatnya kesepakatan yang bertujuan menciptakan perdamaian tidak berjalan dengan baik. Seperti yang terjadi baru-baru ini, konflik Israel dan Palestina kembali terjadi dan hal ini tidak lepas dari adanya negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan Timur Tengah.
Dalam teori konflik yang dicetuskan oleh C. Wright Mills, dijelaskan bahwa konflik terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan dan sumber daya. Suatu struktur sosial tercipta karena adanya konflik antara pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kebijakan yang terlihat untuk tujuan kebaikan ternyata hanya menguntungkan sejumlah pihak. Kondisi ini terjadi saat pemerintahan AS pada era Donald Trump. Setelah Trump tidak terpilih kembali menjadi Presiden, tampaknya kesepakatan ini tetap berjalan di pemerintahan Biden.
Biden Lanjutkan Abraham Accords?
Perseteruan panas antara Biden dan Trump saat pemilihan Presiden AS 2020 ternyata tidak terlalu memengaruhi presiden terpilih Biden. Ini terlihat dari pujian yang terlontar dari Joe Biden terhadap kesepakatan damai Abraham Accords yang diinisiasi oleh Trump.
Biden secara terang-terangan menyebut bahwa kesepakatan normalisasi antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain merupakan sebuah kemajuan yang baik bagi kawasan Timur Tengah. Menteri Luar Negeri di era Biden yakni Antony Blinken juga menekankan bahwa pemerintahan Biden akan terus bekerja sama dengan negara Yahudi itu untuk memajukan perdamaian di Timur Tengah.
Hal ini tidak lepas dari proses negosiasi dan diplomasi antar keduanya yang terjalin terutama pasca kemenangan Biden sebagai Presiden AS ke-46. Bermula dari ucapan selamat dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Presiden AS Biden, hingga akhirnya Israel tetap mendapatkan respons positif dari pemerintahan Biden. Mantan Wakil Presiden AS di era Obama ini juga mengemukakan dukungannya terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh Israel dalam hal keamanan.
Situasi ini menunjukkan bahwa hubungan antara AS dan Israel sepertinya tidak akan banyak mengalami perubahan signifikan. Terutama bila menyasar isu-isu keamanan di Timur Tengah seperti masalah antara Israel dan Palestina. Meski terus mendesak agar penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina dengan mewujudkan solusi dua negara, nyatanya hal tersebut tidak pernah terealisasi, bahkan sejak pemerintahan AS di era Barack Obama.
Keinginan untuk merealisasikan solusi dua negara untuk isu Palestina sebenarnya terus menerus disuarakan oleh pendahulu Biden yaitu Barack Obama. Salah satu cara untuk merealisasikan hal tersebut yaitu melalui Konferensi Damai di Paris yang melibatkan negara-negara Eropa.
Namun, nyatanya Obama tetap gagal menekan Israel untuk menyepakati solusi dua negara. Israel melalui PM Netanyahu tidak bergeming dengan tekanan yang diberikan oleh Obama perihal solusi dua negara.
Maka, apabila Biden tetap memaksakan keinginan untuk menekan realisasi solusi dua negara, diprediksi akan terjadi hal serupa yaitu tidak terwujudnya solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Melihat situasi ini, sulit membayangkan terjadi perdamaian antara Israel dan Palestina. Konflik terus bergulir dan selalu mencuri perhatian negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia Dukung Mana?
Sampai saat ini, Indonesia tetap konsisten membela kemerdekaan Palestina atas Israel. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah nyata atas tindakan Israel terhadap Palestina baru-baru ini.
Meski selalu konsisten dalam menanggapi isu Israel dan Palestina, ternyata Indonesia dikabarkan pernah mendapatkan lobi dari AS untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, hingga kini, pemerintah belum mengubah posisinya terkait isu ini.
Jika memiliki data BPS tahun 2016, persentase 87 persen dari total seluruh penduduk telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan umat Islam terbesar dibanding negara lain. Maka, Indonesia tentu sangat mempertimbangkan dengan matang dalam menanggapi isu Israel dan Palestina.
Terlebih, pengaruh agama yang masih kental di Indonesia menyebabkan Indonesia tidak bisa gegabah dalam mengambil keputusan khususnya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Meski secara resmi tidak membuka hubungan, bukan berarti Indonesia tidak pernah sama sekali berhubungan dengan Israel. Indonesia sebenarnya pernah menjalin hubungan hangat dengan Israel di era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Hubungan antar keduanya bahkan berlanjut hingga tahun 1993 dengan kunjungan PM Israel Yitzhak Rabin ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto. Kemudian, di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), wacana untuk membuka hubungan diplomatik juga mengemuka tetapi, karena kritikan dari organisasi Islam, maka hal tersebut tidak terwujud.
Meski mendapat penolakan untuk membuka hubungan diplomatik, kerja sama antara Indonesia dan Israel tetap berjalan khususnya di bidang ekonomi dan pariwisata. Pada tahun 2015, terjadi kerja sama antar dua negara, di mana Indonesia mengekspor barang komoditas dan Israel mengekspor produk dengan teknologi tinggi. Sementara, di sektor pariwisata, kedua negara juga terus membuka wilayahnya untuk wisatawan. Dalam hal ini, wisatawan Indonesia merupakan umat Nasrani yang melakukan perjalanan spiritual yang melakukan perjalanan ke Israel.
Melihat situasi ini, intinya menunjukkan bahwa kepentingan yang dibawa oleh masing-masing negara terhadap Israel membuat upaya untuk meredam konflik antara Palestina dengan Israel sulit dilakukan. Jika Israel masih memiliki pengaruh khususnya terhadap negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah dan Indonesia, maka masa depan untuk merealisasikan solusi dua negara sulit terwujud. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.