HomeHeadlineIsrael Gagalkan Pencapresan Anies?

Israel Gagalkan Pencapresan Anies?

Lolosnya timnas sepak bola Israel ke Piala Dunia U-20 Indonesia mulai menuai reaksi publik Tanah Air. Ajang yang bersamaan dengan jelang tahun politik agaknya akan memiliki dampak terhadap salah satu calon presiden (capres), yakni Anies Baswedan. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Sah! Tim nasional (timnas) sepak bola Israel memastikan diri lolos ke Piala Dunia U-20 yang akan dihelat di Indonesia pada 20 Mei hingga 11 Juni tahun depan.

Pencapaian tersebut menjadi torehan sejarah bagi Israel yang baru kali ini lolos ke putaran final Piala Dunia kelompok umur tersebut sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1977 silam.

Israel ditasbihkan menjadi tim keempat asal Eropa yang meraih tiket itu setelah Prancis, Italia, dan Inggris lebih dahulu memastikan akan berlaga di Indonesia.

Namun, keberhasilan timnas Israel langsung menuai sejumlah komentar bernada negatif dari publik Tanah Air. Di linimasa, netizen Indonesia langsung “silaturahim” ke akun Instagram Federasi Sepak Bola Israel (IFA).

Nada penolakan hingga usulan pemboikotan timnas Israel menggema dari akun-akun asal negeri +62.

infografis anies dapat kesaktian pitung

Sejarahnya, Indonesia memang memiliki hubungan diplomatik yang kurang baik – atau lebih tepatnya kurang terbuka – dengan Israel, khususnya di ranah politik.

Selama ini, sebagian masyarakat Indonesia memberikan predikat agresor kepada Israel karena dianggap merampas kemerdekaan rakyat Palestina.

Indonesia bahkan pernah melarang warga negara Israel masuk ke negaranya, demikian pula Israel yang sempat menerapkan aturan serupa.

Di cabang olahraga lain, drama pernah terjadi kala Indonesia menggelar ajang kejuaraan dunia badminton pada 2015 silam dengan salah satu pesertanya berasal dari Israel, yakni Misha Zilberman.

Ketika itu, intrik berupa izin masuk Indonesia hingga dibayangi pantauan organisasi kemasyarakatan (ormas) cukup merepotkan pihak Indonesia dan penyelenggara, plus membuat kalut sang atlet.

Kembali pada Piala Dunia U-20, agenda yang berlangsung pada tahun 2023 itu kiranya akan memiliki singgungan dengan agenda politik Indonesia setahun setelahnya.

Isu dan tensi politik dinilai akan cukup panas bersamaan dengan semakin jelasnya aktor-aktor yang akan berlaga di kontestasi elektoral, termasuk sosok calon presiden (capres). Tak lain dan tak bukan ialah celah politik identitas yang berpotensi turut dimainkan.

Salah satu kandidat capres terkuat dalam bursa, yakni Anies Baswedan agaknya harus waspada. Sebab, isu permainan politik identitas dapat saja mengarah padanya meskipun tak lagi memegang kewenangan apapun karena telah turun dari posisi Gubernur DKI Jakarta nantinya.

Hal itu tak lepas dari riwayat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 silam di mana hingga kini masih meninggalkan residu yang tak jarang dieksploitasi untuk beragam tujuan politis.

Lantas, mengapa isu Israel di ranah sepak bola bisa saja berdampak pada politik domestik, khususnya yang mengarah pada Anies Baswedan?

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 
jokowi aman ke medan perang

FIFA Jadi Sorotan?

Apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina dalam dimensi politik jamak dinilai punya signifikansi dalam derajat tertentu. Akan tetapi, ketika hal itu dibenturkan pada aspek lain seperti olahraga, khususnya sepak bola, agaknya menjadi kurang relevan. Apalagi saat ada norma kesetaraan dan saling menghargai di dalamnya.

Kendati demikian, FIFA sebagai organisasi induk sepak bola dunia acapkali tidak lepas atau bahkan membaurkan diri secara tidak langsung dalam isu-isu politik. Mulai dari kebijakan hingga hukuman kerap diimplementasikan tanpa kepekaan plus terkadang tidak proporsional.

Dalam sebuah artikel berjudul From FIFA to UEFA, the hypocrisy of political correctness dijabarkan bahwa FIFA tidak jarang memeragakan kemunafikan yang cenderung condong pada kebenaran politik eksklusif.

Hakikat political correctness berupa kebijakan ideal demi menghindari tendensi politis yang merugikan kerap terabaikan. Hal itu paling tidak dapat ditelusuri pada gaung isu lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) yang mana di beberapa negara masih terlarang.

Belum lagi soal isu Palestina ketika hukuman pernah diberikan kepada pemain dan klub yang memperagakan dukungan.

Lalu, ada pula intrik isu rasisme dalam tajuk black lives matter di Inggris beberapa waktu lalu. Padahal, FIFA dapat mengambil langkah saling menghargai atau paling tidak netral dalam mengelola berbagai isu tersebut.

Setiap “penyimpangan” kerap kali dinilai berdasarkan kasus per kasus. Akibatnya, terjadi kegamangan, subjektivitas, dan standar ganda dalam memutuskan topik apa yang boleh ditantang, serta isu apa yang tidak boleh didiskusikan.

Slogan “Kick Politics out of Football” dalam upaya untuk meningkatkan citra FIFA seolah tak relevan dan bertentangan dengan kebijakan yang diambil.

Masalah yang terjadi di internal FIFA sendiri mengakar dari ekosistem sepakbola di berbagai negara yang mana para aktornya menjadi pengurus di induk olahraga terpopuler di muka bumi itu.

Publik agaknya dapat menelusuri berita maupun laporan tentang “penjarahan” dana, maladministrasi, suap, hingga pembelian suara selama pemilihan anggota federasi yang rentan dengan intervensi ekonomi-politik. Realitasnya, sepak bola tanpa politik adalah omong kosong.

Pada isu kekinian, didepaknya timnas Rusia dari playoff Piala Dunia 2022 Qatar akibat invasi terhadap Ukraina menjadi salah satu contohnya. Ini tak lepas dari komparasinya dengan timnas Israel U-20 di ajang Piala Dunia yang akan diselenggarakan di Indonesia tahun depan. Standar ganda gamblang sontak kembali tertuju pada FIFA.

Menariknya, diskursus bernuansa politis tersebut memiliki momentum yang berkelindan dengan politik Indonesia. John Gibson dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events menjelaskan momentum tertentu dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik, termasuk dalam memberikan dampak negatif pada sang rival.

Rangkaian geliat aktor politik hingga kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang memanas boleh jadi akan bersinggungan dengan partisipasi Israel di Piala Dunia U-20 di tahun 2023.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Peluang berupa eksploitasi isu politik identitas dari para aktor lantas meningkat seiring dengan riwayat konteks tersebut dalam kontestasi elektoral di beberapa edisi terakhir.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, Anies Baswedan menjadi aktor yang dapat saja terkena dampak korelasi antara pencalonannya sebagai capres dan partisipasi Israel di Piala Dunia U-20.

Lantas, bagaimana hal itu bisa terjadi?

naik mrt anies mirip jokowi ed.

Momentum Pembusukan Anies?

Adanya konstruksi sosial kiranya dapat menjawab mengapa variabel Israel dalam Piala Dunia U-20, Anies, politik identitas, dan Pilpres 2024 memiliki keterkaitan.

Peter L. Berger dan Thomas Luckman menjelaskan teori konstruksi sosial sebagai proses melalui tindakan dan interaksi, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Di dalamnya, terdapat varian konstruktivisme radikal, yakni mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran sebagaimana dijelaskan Suparno dalam Filsafat Konstruktivisme.

Pada konteks Anies, politik identitas seolah telah menjadi konstruksi di balik sepak terjangnya dalam dunia politik. Sayangnya, kecenderungan itu seperti dikapitalisasi sendiri olehnya untuk memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017 silam.

Pilpres 2019 kemudian turut tercemar dan dampaknya masih dapat dirasakan hingga kini. Di titik ini, konstruktivisme radikal bekerja dalam menggugurkan dan mengaburkan sisi moderat Anies di Jakarta yang faktanya tetap merangkul semua agama tanpa pandang bulu.

Analis politik dari Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Reza Hariyadi turut senada dengan presumsi tersebut. Dia mengatakan bahwa politik identitas diprediksi tersemat atau disematkan pada Anies jelang Pilpres 2024.

Konstruksi sosial radikal di hadapan konstituen itu kiranya juga akan bersanding dengan stigmatisasi atau pelabelan negatif – sebagaimana dijelaskan Jón Gunnar Bernburg dalam Labeling Theory – dari aktor politik rival.

Partisipasi Israel di Piala Dunia U-20 kemudian bisa saja akan dikapitalisasi dalam diskursus panas dari dua arah yang berbeda, yakni untuk menggaet simpati politik dan sebagai modal untuk menjatuhkan lawan politik.

Diskursus solidaritas untuk Palestina kemungkinan besar akan masif dikeluarkan.

Tinggal pertanyaannya, apakah isu tersebut akan dikapitalisasi atau justru membuat Anies mundur dari pencapresan karena tak mau dijuluki sebagai “bapak politik identitas”?

Paling tidak, pertanyaan itu bisa diterka dari sejumlah gejala, seperti Anies yang berpotensi kehilangan panggung politik hingga peluang terhambat dukungan partai politik (parpol).

Menjadi tim sukses capres lain kemudian menjadi pilihan paling aman bagi Anies jika skenario di atas benar-benar terjadi.

Bagaimanapun, politik identitas yang merugikan diharapkan tidak akan kembali digunakan sebagai strategi politik di pesta demokrasi 2024. Publik yang semakin cerdas dan peka dalam memitigasi taktik politik negatif juga menjadi kunci terciptanya kondusivitas demi kepentingan bersama. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?