Site icon PinterPolitik.com

Islam Tengah, Kartu AS PAN?

Islam Tengah, Kartu AS PAN?

Ketum PAN Zulkifli Hasan (Foto: realitarakyat.com)

PAN melalui Ketumnya Zulkifli Hasan menyampaikan pidato kebangsaan tentang pentingnya Islam tengah dalam situasi Indonesia saat ini. Beragam respons bermunculan, dalam bentuk dukungan maupun pertanyaan kritis. Salah satu pertanyaan kritisnya, mungkinkah konsep Islam tengah PAN ini hanya strategi politik jelang pemilu?


PinterPolitik.com

Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) memberikan pidato kebangsaan untuk menegaskan konsep Islam tengah. Dalam acara Zulhas Award yang bertemakan “Indonesia Butuh Islam Tengah”, digambarkan bahwa Islam tengah yang dimaksud adalah perwujudan Islam yang mengedepankan moderasi.

Konsep ini, menurut Zulhas berangkat dari istilah Arab yaitu wasatiyah, yang dapat diartikan sebagai konsep pilihan terbaik yang digambarkan dengan sikap  superior atau unggul. Islam tengah mengerti batas-batas toleransi dan sanggup mengayomi semua golongan.

Oleh karena itu, menurutnya konsep moderat bukanlah sikap yang lemah dan abu-abu. Bukan juga sikap tidak jelas atau cari aman. Melainkan sikap unggul dan superior, untuk mencari titik temu juru damai agar menghindari titik tengkar. Inilah Islam yang mengedepankan prinsip rahmatan lil alamin, menjadi berkah bagi sekalian alam.

Zulhas juga menambahkan, bahwa konsep Islam tengah bukanlah sebuah konsep baru. Islam tengah sudah lama hidup di Indonesia sejak dilahirkan oleh para pendiri bangsa. Pada dasarnya konsep ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang damai, memiliki stabilitas politik yang baik dan kompatibel pada ide-ide kemajuan. Kemudian, pada saatnya akan mendorong tumbuh pesatnya ekonomi umat, mendorong kreativitas serta inovasi, memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan Indonesia di kancah global.

Konsep ini terus dihidupkan dan dikembangkan oleh mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia. Konsep Islam tengah ini diperlihatkan oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sebagainya.

KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengatakan, bahwa pidato kebudayaan terkait Islam tengah berperan penting untuk mengeliminir politik identitas dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Komentar senada juga diungkapkan oleh Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang mengatakan bahwa gagasan Zulhas tentang politik yang berorientasi kebudayaan begitu menarik. Kebudayaan yang dimaksud adalah sumber dari setiap nilai luhur yang tidak hanya ditafsirkan sebagai kekuasaan atau politik. 

Jika dilihat, konsep Islam tengah yang ditawarkan oleh PAN melalui Zulhas rupanya diterima oleh tiap kelompok ormas-ormas Islam. Lantas seperti apa memahami Islam tengah dalam konteks nilai asalnya dan juga politik praktis saat ini?

Baca juga: Apakah Muhammadiyah Kunci Suara PAN?

Islam Tengah dan Strategi Politik

Fakhruddin Muchtar, Sekretaris Umum Institut Moderasi Indonesia (InMind), mencoba menafsirkan pemaknaan dari konsep Islam tengah yang dipromosikan oleh Zulhas, dengan memberikan pengertian kembali tentang Islam tengah yang dimaksud, mengarah pada sebutan lain dari Islam wasathiyah atau Islam moderat.

Wasathiyah diambil dari kata wasath yang salah satu artinya adalah tengah, merujuk pada Al-Qur’an yang menjelaskan tentang umat terbaik dengan sebutan ummatan wasathan. Sementara kata moderat diambil dari kata Latin moderatio yang berarti “kesedangan”. Kesamaan keduanya kemudian diidentikkan pada makna tidak berlebih-lebihan atau tidak ekstrem.

Fakhruddin melanjutkan, bahwa sah-sah saja jika Zulhas menawarkan sebutan baru atas konsep ini dengan pertimbangan apapun, sepanjang kata “tengah” yang ia usung tidak berkonotasi posisi. Sebab jika yang dimaksud posisi justru bertentangan dengan prinsip moderasi. Moderasi bertentangan dengan ekstremisme kiri maupun kanan karena selalu menganggap hanya posisinyalah yang terbaik. Jika tengah juga bermakna semua yang di tengah baik, maka justru melahirkan ekstrem baru yakni “ekstrem tengah” yang mengagungkan kompromisme.

Oleh karenanya, Islam wasathiyah, moderat, atau apapun namanya tetap memiliki prinsip-prinsip sendiri yang jadi acuan. Seperti seorang wasit yang diambil dari kata wasith yang juga merujuk ke wasathatau moderator yang juga merujuk pada moderatio. Keduanya dipercaya sebagai penengah bukan hanya karena posisinya di tengah, melainkan karena ia tidak memihak, dan dianggap sebagai yang paling mampu menjaga prinsip-prinsip yang sudah disepakati bersama, sehingga diterima oleh semua pihak.

Nah, bagaimana  kemudian membaca kecenderungan Islam politik di Indonesia dalam konteks politik elektoral? Seperti yang diketahui, bahwa kecenderungan partai-partai politik Islam “menggunakan” Islam politik dan aspirasi suara kelompok tengah telah menjadi lahan rebutan suara untuk partai.

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengatakan, dalam situasi politik yang memanas jelang pemilu, seringkali partai politik termasuk partai Islam tidak punya banyak pilihan, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia memang cenderung ke tengah. Parpol Islam yang awalnya berada di sudut paling kanan misalnya, mau tidak mau harus bermigrasi, bertarung dengan partai-partai lain yang juga memperebutkan segmen tengah yang didominasi swing voters.

Hal ini hanya instrumen elektoral untuk mendapat dukungan publik yang lebih luas, tapi di dalam partai sendiri, cenderung tidak ada perubahan memadai dalam konsep pemahaman. Burhan menyebut strategi yang digunakan partai politik Islam ini dengan istilah double track strategy, jadi di satu sisi mereka merawat konstituen Islam. Jadi double track strategy itu pendekatan Islamis ke dalam, tapi ketika menyapa pemilih di luar, mereka memakai pendekatan non-Islamis, dengan kesan lebih toleran.

Secara sekilas, strategi partai politik ini terlihat pragmatis, tentunya disebabkan karena tidak terdapatnya konsistensi terhadap asas atau ideologi partai. Padahal ideologi partai itu penting, minimal sebagai diferensiasi identitas dengan partai lain.

Lantas, mungkinkah strategi seperti ini juga digunakan oleh partai-partai selain partai Islam, mengingat kelompok tengah yang moderat merupakan ceruk suara yang menjanjikan?

Baca juga: Perang Cagur: PKS vs PAN?

Kecenderungan Alami Parpol

Jika dilihat, kecenderungan kelompok tengah yang dimaksud sebagai konstituen dalam politik elektoral, diisi oleh para swing voters. Kelompok ini menjadi incaran semua partai politik, jika merujuk pada sejumlah lembaga riset yang memperkirakan bahwa jumlah mereka bisa mencapai 40 persen. Dengan kata lain, siapapun yang bisa merebut hati mereka, akan bisa setidaknya unggul dalam kontestasi politik.

Secara pemahaman ideologis, swing voters ini adalah mereka yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi final, tapi saat yang sama akomodatif dalam isu-isu keagamaan. Jadi mereka tidak antipati pada isu-isu keagamaan, hal ini sejalan dengan studi kuantitatif dan kualitatif bahwa masyarakat Indonesia memang semakin Islami pada taraf sosial. 

Tapi ketika masuk ke dalam taraf politik, isu Islami yang diterjemahkan dalam konteks yang radikal seperti mengganti Pancasila, tidak laku. Jadi swing voters itu versi campuran dari karakter nasionalisme yang dibungkus dengan tafsir terhadap ideologi Pancasila yang jauh lebih inklusif dalam upaya untuk mengekspresikan Islam ke dalam ruang publik.

Mereka menolak ide untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, tapi makin ekspresif terhadap upaya untuk meng-Islamkan ruang publik. Hal-hal yang berbau simbolik keagamaan masih penting bagi pemilih yang ada di tengah tadi.

Nah, pada titik itu, hal ini yang menjelaskan bahwa partai nasionalis semisal Demokrat dan Golkar, bahkan PDI Perjuangan juga memakai isu-isu religius atau Islamisasi ruang publik tadi untuk kepentingan elektoral.

Partai-partai politik secara umum cenderung mengaburkan jenis kelamin ideologis. Mereka tidak mau disebut Nasionalis Sekuler, juga tak mau disebut Nasionalis Kanan, yang terjadi adalah pengaburan identitas, partai-partai ingin meraup semua suara baik yang di Kiri maupun di Kanan.

Karena itu, identitas yang sering mereka munculkan adalah Nasionalis Religius, sebuah identitas yang kurang menampakkan karakter ideologi. Kemudian kalau ada elite-elite Partai Demokrat, Golkar atau bahkan PDI Perjuangan yang menggunakan isu-isu keagamaan, itu merupakan bagian dari kontestasi elektoral.

Kita bisa melihat bahwa, partai politik sekuler pun menggunakan isu-isu religius untuk  kepentingan elektoral karena melihat fakta sosiologis bahwa masyarakat mengalami proses Islamisasi, yang selama ini gagal dikemas secara menarik oleh partai-partai Islam.

Akhirnya, fenomena partai politik seperti ini seolah menggambarkan bahwa spektrum ideologi mulai bergeser. Pergeseran ini membentuk semacam kurva lonceng, di mana pemilih mulai berada di titik tengah pertarungan ideologi, sehingga memaksa partai juga harus berada di posisi tersebut, menggambarkan bahwa ini adalah kecenderungan alami partai politik. (I76)

Baca juga: Kenapa PAN Nekat Incar Jawa Timur?


Exit mobile version