Site icon PinterPolitik.com

Islam Garis Keras, Manuver Mahfud?

Islam Garis Keras Manuver Mahfud

Foto : Istimewa

Pernyataan Mahfud MD tentang provinsi Islam garis keras pendukung Prabowo menuai kontroversi. Mengapa Mahfud seolah kembali bermanuver akhir-akhir ini?


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]etiap orang pasti akan bereaksi negatif jika dituduh atau bahkan dilabeli image yang tak menyenangkan. Mungkin itulah yang kini tengah dirasakan oleh para pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Bola panas itu bergulir ketika mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang juga merupakan tokoh politik nasional, Mohammad Mahfud MD, melontarkan statementkontroversial beberapa waktu lalu.

Mahfud MD bermanuver lagi? Share on X

Statement itu beredar dalam bentuk potongan video yang berdurasi kurang lebih 1 menit dari sebuah acara di stasiun TV nasional. Dalam video tersebut, profesor hukum ini menyinggung tentang istilah “Islam garis keras” .

Kurang lebih, begini pernyataan Mahfud dalam acara TV tersebut:

“Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun.

Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama, misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga.

Saya kira rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau bersatu”.

Pro kontra pun langsung berdatangan, di mana Mahfud dituduh semakin memanaskan arena pertarungan Pilpres kali ini dengan menyebut bahwa Prabowo memenangkan suara di daerah-daerah yang basis pemilihnya merupakan muslin “garis keras”.

Pernyataan tersebut teramat disorot bahkan dikritik oleh kubu Prabowo. Melalui beberapa tokoh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, seperti Dahnil Anzar Simanjuntak, Said Didu, hingga politisi Partai Demokrat, Andi Arief, mereka ramai-ramai menyerang Mahfudmelalui status di akun Twitternya.

Dalam konteks tersebut, tentu menarik untuk melihat makna di balik statement Mahfud MD. Apa motif Mahfud sesungguhnya dalam pernyataan tersebut dan seperti apa sebetulnya “Islam garis keras” itu?

Mendefinisikan Islam Garis Keras

Tahu bahwa cuitannya mengundang atensi publik yang begitu luas, Mahfud buru-buru memberikan klarifikasi terhadap pernyataanya tersebut.Ia menjelaskan bahwa istilah “garis keras”merupakan istilah yang cukup umum dalam ilmu politik.

Menurutnya, ia juga berasal dari daerah garis keras, yaitu Madura. Madura menurutnya juga sama dengan Aceh dan Bugis, di mana masyarakatnya terbilang dalam golongan fanatik karena tingginya kesetiaan kepada nilai-nilai Islam. Ia menambahkan bahwa istilah ini sama halnya seperti istilah Islamkonservatif, progresif dan garis moderat.

Sehingga, apa yang dilontarkan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut memancing kita untuk kembali memperdebatkan kembali apa itu definisi Islam garis keras.

Sebelumnya, dalam konteks Indonesia sendiri, beberapa penstudi Barat memang telah banyak melakukan studi tentang kebangkitan Islam fundamental di Indonesia ini dalam konteks politik. Hal ini berkaitan dengan peristiwa jelang Pilkada DKI Jakarta 2017pasca tumbangnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas tuduhan penista agama oleh demo berjilid-jilid yangmenyebabkan wacana tentang politik identitas menyeruak.

Banyak jurnalis Barat, salah satunya adalah Joshua Kurlantzick,yangmenyebut tentang meningkatnya pengaruh hardline Islamist groupsatau yangditerjemahkan sebagai “kelompok Islam garis keras” dalam konteks politik, misalnya untuk menyebut ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok yang menghendaki penggunaan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.

Bahkan dalam konteks ini, Alexander R. Arifianto dalam sebuah artikelnya di Brooking Institute menyebut bahwa  setelah periode kampanye resmi untuk Pemilu 2019 dimulai, Alumni 212 bersekutu dengan partai-partai Islam seperti PKS dan PAN untuk mendukung Prabowo.

Sementara penelitian dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapurayang dilakukan oleh Alexander Arifianto dan Jonathan Chen,menyebutkan bahwa dalam konteks Pilpres kali ini,di beberapa provinsi medan pertempuran seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan dengan jelas menunjukkan bahwa upaya mobilisasi yang dilakukan oleh pendukung Islam garis keras Prabowo ekuivalen dengan peningkatan suara terhadap sang jenderal.

Tentu hal hal ini menjadi fakta yang mengejutkan. Di saat Mahfud harus diserang atas pendapatnya, nyatanya apa yang ia jelaskan sesungguhnya sebenarnya tidak sepenuhnya salah secara definisi ilmiah maupun definisi secara umum.

Walaupun demikian, di kalangan penstudi politik di Barat, meskipun terkesan mirip, istilah Islam garis keras atau Islamic extremismmemiliki definisi yang berbeda dengan konsep Islamic conservatism, Islamic fundamentalism maupun Islamic radicalism.

Dalam konteks ini, fundamentalisme Islam atau Islam radikal merujuk pada kondisi di mana Islam kembali menjadi basis nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial-politik. Gerakan ini juga populer dengan istilah gerakan Islamisme yang mana menurut Graham Fuller, disebut terwujud dalamtawaran bagaimana politik dan masyarakat harus dikelola menggunakan cara-cara Islami.

Gerakan ini mengacu pada semangat gerakan yang disebut sebagai tajdid (pembaruan) dan islah (reformasi). Kedua istilah tersebut merefleksikan revitalisasi keyakinan dan praktek-praktek Islam dalam masyarakat-masyarakat muslim yang dianggap telah mengalami penyimpangan-penyimpangan.

Tajdid dan islahini kemudian menyediakan basis keyakinan bahwa gerakan-gerakan pembaruan adalah bagian yang otentik dari fungsi kewahyuan dalam sejarah Islam.

Konsep itulah yang kemudian menjadi basis teologis semua gerakan pembaruan atau reformasi Islam, seperti gerakan Tanzimat di Turki, Wahabiyyah di Arab Saudi, Jama’ah al-Islamiyyah di Pakistan atau Ikhawnul Muslimin di Mesir.

Sedangkan Islamic extremism sendiri lebih merujuk pada gerakan-gerakan terorisme yang mengatasnamakan Islam,seperti yang terjadi padafenomena Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).

Jika memang demikian pengertiannya, lalu mengapa pernyataan Mahfud akhirnya begitu mudah digoreng secara politik? Apakahmungkinkah ada maksud lain di balik pernyataan mantan Ketua MK tersebut?

Mengapa, Mahfud?

Meskipun tak terlalu salah secara definisi ilmiah, namun yang menjadi persoalan yang menimpa Mahfud adalah perbedaan persepsi tentang definisi Islam garis keras tersebut, utamanya dengan kubu pendukung paslon 02.

Sepertinya, segala kekisruhan yang kini terjadi di media maya adalah over-simplifikasiatau penyederhanaan yang berlebihan tentang makna Islam garis keras itu sendiri.

Pihak Prabowo-Sandisendiri terkesan enggan dijustifikasi sebagai kelompok Islam garis keras karena selama ini,terminologitersebut diidentikkan dengan Islamic extremism yang telah dijelaskan sebelumnya dancenderung memiliki imagenegatif di kalangan masyarakat.

Dengan citra negatifIslam garis keras ini, tentunya kubu Prabowo-Sandimerasa tidak diuntungkan secara politik di mata masyarakat. Sehingga, menyerang Mahfud di sosial media adalah sebuah konsekuensi logis dan bentuk perlawanan politik.

Sedangkan, pernyataan Mahfud memang lebih cenderung mudah ditangkap secara politis daripada secara ilmiah.Sehingga, persoalan mispersepsi ini akan berpotensi justru meningkatkan tensi politik yang ada.

Selain itu, pernyataan Mahfud tersebut juga patut untuk dipertanyakan esensinya. Dalam konteks ini, sikap Mahfud terbilang cukup agresif lewat penyataan tersebut.

Sikap Mahfud ini kemudian memunculkan tanya, mungkinkah sang mantan politisi PKB itu tengah bermanuver secara politik?

Zig-zag Mahfud di kancah perpolitikan nasional memang tak hanya sekali ini saja. Tentu publik masih ingat dengan drama cawapres Joko Widodo (Jokowi)jelang hari pendaftaran paslon beberapa bulan yang lalu.

Kala itu, Mahfud yang digadang-gadang akan menjadi pendamping Jokowi, terpaksa harus terpukul mundur oleh “deal-deal-an” politik tikungan terakhir yang bisa dibilang teramat kejam.

Betapa tidak, kala itu sang profesor harus menelan pil pahit kekecewaan ketika akhirnya koalisi partai pengusung Jokowi memutuskan Ma’ruf Amin sebagai pendamping sang petahana.

Padahal, kala itu besar harapan publik – juga Mahfud sendiri – untuk berdampingan dengan Jokowi. Namun takdir politik berkata lain, sehinggapada saat itu muncullah manuver-manuver rasa kekecewaan dari sosok mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut.

Mahfud kerap muncul memenuhi layar kaca dalam acara-acara talkshow politik, dan bermanuver dengan menyebut bahwa kegagalan dirinya bersanding dengan Jokowi dalam Pilpres kali ini tak terlepas dari campur tangan politik beberapa pihak yang tak menyukai dirinya, utamanya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

Sejak saat itu, meskipun menyatakan “legowo” dengan keputusan Jokowi memilih Ma’ruf Amin, nyatanya gurat kekecewaan Mahfud terhadap Jokowi dan koalisinya tak bisa begitu saja dilepaskan.

Ia bahkan banyak menuai simpati dari berbagai klarifikasinya di media massa dan bahkan memunculkan pengikut yang disebut sebagai golfud atau “golongan Mahfud”.

Kini, tidak berlebihan jika menduga bahwa Mahfud juga tengah bermanuver secara politik melalui pernyataanya tentang Islam garis keras ini. Setelah beberapa waktu lalu muncul dengan kontroversi kunjungannya ke KPU, kini ia lebih terkesan kembali “mengakrabi” kekuasaan.

Lalu, seiring dengan semakin dekatnya kemenangan Jokowi menurut data resmi realcount KPU, mungkinkah Mahfud akan mendapatkan kedudukan istimewa di kabinet petahana di periode kedua? Menarik untuk ditunggu. (M39)

 

Exit mobile version