Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Israel yang mengusik dan melukai prajurit TNI dalam misi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon seolah menguak hipotesa bahwa terdapat kelumpuhan sistematis di balik eksistensi para serdadu gabungan negara-negara yang sesungguhnya mulia tersebut.
Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir setelah Perang Dunia II sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menjaga perdamaian di kawasan yang rentan terhadap konflik.
Konsep awalnya adalah menciptakan kekuatan non-partisan yang terdiri dari personel militer yang dikirim oleh negara-negara anggota PBB, yang ditempatkan di wilayah-wilayah pasca-konflik untuk memantau gencatan senjata, mengawasi pemilihan, atau mencegah kekerasan lebih lanjut.
Misi pertama mereka adalah United Nations Truce Supervision Organization (UNTSO) pada 1948 di Palestina, yang bertujuan untuk memantau gencatan senjata antara Arab-Israel setelah Perang Kemerdekaan Israel.
Secara historis, operasi-operasi ini bertujuan baik, tetapi sering kali menghadapi tantangan politis. Seperti yang digambarkan dalam literatur, peacekeeping atau penjagaan perdamaian berbeda dari peacemaking (penciptaan perdamaian) atau peace enforcement (penegakan perdamaian) karena berfokus pada pemeliharaan ketertiban pasca-konflik.
Namun, operasi-operasi ini sering kali menghadapi realitas politik yang kompleks. Paul F. Diehl dalam bukunya International Peacekeeping menyoroti bagaimana mandat-mandat yang diberikan PBB kepada pasukan perdamaian seringkali terjebak oleh kepentingan politik anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang memiliki hak veto.
Dalam konteks terbaru, serangan Israel terhadap pasukan UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) serta pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tergabung di dalamnya, mencerminkan bagaimana politisasi dan ketidakseimbangan kekuatan dalam PBB dapat “melumpuhkan” misi perdamaian.
Israel telah berulang kali menghadapi kritik atas pelanggaran kedaulatan di Lebanon, tetapi serangan ini juga memperlihatkan ketidakmampuan PBB untuk menegakkan keamanan atau memberikan perlindungan yang efektif kepada pasukan penjaganya. Kejadian ini menambah daftar panjang kritik terhadap efektivitas dan netralitas pasukan perdamaian PBB.
Politisasi Misi Perdamaian?
Ketika membahas mengapa pasukan penjaga perdamaian PBB “lumpuh” atau tidak efektif dalam konteks tertentu, teori realisme dalam hubungan internasional dapat memberikan kerangka konseptual yang relevan.
Realisme, yang menekankan pentingnya kekuasaan dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama interaksi antar negara, menyiratkan bahwa pasukan PBB seringkali hanya menjadi alat bagi negara-negara kuat untuk mengejar agenda mereka sendiri, bukan untuk tujuan perdamaian yang netral. John J. Mearsheimer, dalam The Tragedy of Great Power Politics, menjelaskan bagaimana negara-negara besar mengeksploitasi kelemahan institusi-institusi internasional, termasuk PBB, untuk mengamankan kepentingan geopolitik mereka.
Dalam konteks serangan Israel terhadap pasukan UNIFIL, termasuk tentara Indonesia, lumpuhnya PBB dalam merespons serangan ini adalah contoh bagaimana kekuatan negara-negara besar (seperti Israel yang didukung oleh AS) dapat mendikte dan mempengaruhi respon PBB terhadap pelanggaran hukum internasional. Israel memiliki dukungan kuat dari sekutu utamanya, Amerika Serikat, yang sering menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk mencegah tindakan keras terhadap Israel.
Hal ini juga memperlihatkan ketidakseimbangan kekuasaan di dalam PBB. Secara struktural, Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari lima anggota tetap (AS, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris) dengan hak veto, sering kali tidak bisa bersikap netral karena keputusan mereka dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik masing-masing negara. Israel yang memiliki hubungan strategis dengan salah satu dari lima anggota tetap tersebut, yakni AS, membuat setiap upaya untuk mengambil tindakan tegas terhadap Israel sering kali terbentur veto atau kebuntuan diplomatik.
Politisasi pasukan perdamaian tidak hanya terbatas pada Dewan Keamanan. Meskipun PBB berupaya menjaga agar pasukan perdamaian tetap netral, mereka tidak memiliki kekuatan mandiri untuk menegakkan aturan internasional tanpa dukungan penuh dari anggota-anggotanya.
Serangan terhadap pasukan UNIFIL oleh Israel juga memperlihatkan kelemahan fundamental dalam struktur pasukan PBB. Sebagai pasukan yang ditugaskan hanya untuk menjaga perdamaian, mereka tidak dilengkapi dengan mandat atau kekuatan untuk menanggapi serangan secara ofensif, yang membuat mereka rentan menjadi sasaran pelanggaran hukum internasional.
Harus Gimana?
Mengacu pada karya Michael W. Doyle dan Nicholas Sambanis dalam Making War and Building Peace: United Nations Peace Operations, politisasi misi perdamaian PBB sering kali memperburuk efektivitas mereka. Doyle dan Sambanis menguraikan bahwa operasi perdamaian PBB akan gagal jika tidak didukung oleh konsensus politik yang kuat di antara negara-negara anggota, terutama di Dewan Keamanan. Selain itu, konflik-konflik yang ditangani PBB sering kali lebih kompleks daripada yang dapat diselesaikan dengan kehadiran militer pasif yang hanya memantau situasi.
Dalam kasus Lebanon, UNIFIL yang ditempatkan untuk memantau perbatasan Israel-Lebanon telah beroperasi sejak 1978 dan diperkuat setelah Perang Lebanon 2006, tetapi serangan terbaru oleh Israel menunjukkan bahwa kehadiran pasukan internasional ini tidak menghalangi tindakan militer Israel.
Pasukan penjaga perdamaian berada dalam posisi yang sulit—di satu sisi, mereka ditugaskan untuk menjaga perdamaian, tetapi di sisi lain, mereka terikat oleh mandat yang sangat terbatas. Ketika negara-negara kuat seperti Israel, dengan dukungan sekutu kuat seperti AS, melanggar hukum internasional, PBB sering kali hanya dapat mengutuk tindakan tersebut tanpa memiliki sarana untuk menegakkan sanksi atau tindakan hukum yang berarti.
Serangan terhadap tentara Indonesia dan pasukan UNIFIL di Lebanon juga memperlihatkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi PBB dalam menegakkan perdamaian di wilayah-wilayah konflik.
Literatur seperti The Thin Blue Line yang ditulis oleh Paul Diehl menyoroti bahwa operasi perdamaian PBB sering kali lebih berhasil di kawasan yang relatif stabil, sementara mereka hampir selalu gagal ketika ditempatkan di kawasan yang terus-menerus mengalami konflik intens, seperti Timur Tengah.
Ke depan, pertanyaan besar bagi PBB dan dunia internasional adalah bagaimana mereformasi atau menguatkan mandat pasukan perdamaian agar mereka bisa berfungsi lebih efektif dalam situasi di mana kepentingan geopolitik negara-negara besar turut campur.
Salah satu gagasan yang diusulkan dalam beberapa literatur akademik adalah bahwa pasukan perdamaian seharusnya memiliki otoritas yang lebih besar, termasuk hak untuk melakukan intervensi militer yang lebih tegas terhadap pelanggaran hukum internasional.
Serangan terhadap pasukan UNIFIL oleh Israel serta luka yang dialami oleh prajurit TNI dalam konteks tersebut menyoroti masalah mendasar dalam pasukan perdamaian PBB, yakni lumpuhnya mereka akibat kepentingan politik yang besar dan kompleksitas geopolitik.
Dari perspektif teori realisme, situasi ini mencerminkan bagaimana institusi-institusi internasional seperti PBB seringkali dijadikan alat untuk melayani kepentingan negara-negara kuat, sehingga efektivitas misi perdamaian terhambat oleh politisasi dan ketidakseimbangan kekuasaan di dalam struktur PBB itu sendiri. (J61)