HomeHeadlineIriana Widodo Titisan Hillary Clinton?

Iriana Widodo Titisan Hillary Clinton?

Keikutsertaan Ibu Negara Iriana Widodo untuk mendampingi misi perdamaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia agaknya menjadi simbol yang sangat bernilai. Gestur tersebut dinilai akan menjadi modal politik personalnya di masa mendatang.


PinterPolitik.com

Satu kisah menarik eksis dari lawatan misi membangun perdamaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina kemarin.

Ya, di tengah konflik Rusia-Ukraina yang masih berkecamuk, Kepala Negara datang didampingi oleh Ibu Negara Iriana Widodo. Keikutsertaan sang istri tercinta lantas menunjukkan kesan tertentu yang kiranya dapat berkontribusi positif bagi kunjungan diplomasi Presiden Jokowi.

Tidak hanya sekadar mendampingi, Iriana juga tampak begitu meresapi dampak nyata dari konflik yang terjadi saat berkeliling Kota Kyiv.

Kala berkunjung ke Pusat Ilmiah dan Bedah Endokrin, Transplantasi Organ dan Jaringan Endokrin Kyiv, misalnya, seorang pasien warga Ukraina menangis di pelukan Iriana ketika mengisahkan apa yang dialaminya.

Setelah menyaksikan sendiri ekses buruk dan teror dari sebuah peperangan yang masih berkecamuk, Iriana menyerahkan secara simbolis bantuan kemanusiaan berupa obat-obatan serta berharap agar konflik segera berakhir.

Memang, aura kengerian dari sebuah perang masih kental menyelimuti seantero Ukraina. Hal tersebut dapat terlihat dalam dokumentasi di mana Presiden Jokowi dan Iriana harus dikawal dengan detail pengamanan yang begitu ketat dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan militer Ukraina.

jokowi aman ke medan perang

Menurut Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay, kehadiran Ibu Negara merupakan pesan kepada dunia bahwa Indonesia peduli terhadap kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Sementara itu, pakar militer dan intelijen Ridlwan Habib menyebutkan salah satu pesan dari hadirnya Iriana adalah sebagai bagian dari diplomasi perdamaian. Itu dikarenakan aspek feminin seorang istri kepala negara merupakan simbol dari nilai-nilai perdamaian, kelembutan, dan anti-kekerasan.

Tak hanya itu, setelah tiba di Peron 1 Stasiun Central Kyiv sekitar pukul 08.50 waktu setempat, Iriana secara resmi menasbihkan diri sebagai Ibu Negara pertama sepanjang sejarah Indonesia yang mengunjungi wilayah peperangan.

Di atas semua itu, gestur serta torehan tersebut agaknya dapat menjadi tambahan faktor pendukung yang signifikan bagi Iriana jika kelak akan terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Mengapa demikian?

infografis kok bahas ukraina di g20

Iriana, Sang Dewi Perdamaian?

Saat ini, sosok Iriana tak bisa dilepaskan atau masih satu kesatuan dengan Presiden Jokowi yang kerap melandasi langkah maupun kebijakannya secara filosofis, khususnya dalam tradisi Jawa.

Namun, bukan tidak mungkin ke depannya Iriana Widodo menjadi aktor prominen tersendiri terutama setelah kehadirannya di Ukraina.

Well, nama “Iriana” sendiri memiliki arti filosofis. Bukan dalam falsafah Jawa, melainkan ada dalam mitologi Yunani yang berarti perdamaian. Nama Iriana banyak disadur dari nama “Eirene” atau sang dewi perdamaian yang sangat dihormati warga Athena.

Eirene adalah personifikasi perdamaian dan digambarkan sebagai seorang wanita muda yang cantik dengan membawa kornukopia atau bejana berisi hasil panen, tongkat kerajaan, dan rhyton.

Esensi filosofis dari nama Ibu Negara itu sangat relevan dengan turut serta dirinya ke Ukraina mendampingi Presiden Jokowi dalam misi membangun perdamaian.

Selain esensi terminologinya dalam kisah Yunani, seperti sang suami, secara inheren Iriana agaknya juga menganut falsafah Jawa dan merefleksikan hal itu dalam konteks statusnya sebagai pendamping kepala negara.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Dalam masyarakat Jawa, terdapat konsep “garwa”, yang merupakan istilah kehormatan bagi seorang istri. “Garwa” kerap dimaknai sebagai kependekan dari kata “sigaraning nyawa” yang secara definisi memiliki makna belahan nyawa atau belahan jiwa bagi sang suami.

Sebagai satu kesatuan dengan Presiden Jokowi, Iriana agaknya sangat menghayati filosofi itu dan merasa berkewajiban untuk mendampingi RI-1, terutama dalam misi spesial di Ukraina.

Selain itu, Elisabet Titik Murtisari dalam tulisannya yang berjudul Some Traditional Javanese Values menjelaskan bahwa budaya dan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai harmoni atau kondisi tanpa adanya gesekan maupun konflik.

Meskipun bukan istri pemimpin dunia pertama yang berkunjung ke Ukraina, Iriana agaknya memiliki refleksi mendalam atas harmoni itu dan memiliki keistimewaan tersendiri.

Sebelumnya, first lady Amerika Serikat (AS) atau istri Presiden Joe Biden, Jill, melakukan kunjungan tertutup ke Uzhhorod – kota di barat daya Ukraina – pada medio Mei lalu.

Selain Jill Biden, sederet istri presiden AS juga pernah datang ke zona merah dan menjadi sorotan karena signifikansi seorang first lady negara adidaya.

Tercatat, ada nama Melania Trump yang mengunjungi Irak pada Desember 2018, Michelle Obama saat datang ke Qatar pada November 2015, serta Laura Bush yang melawat ke Afghanistan pada Maret 2005 dan Juni 2008. Tiga negara itu sendiri ditetapkan sebagai combat zone atau zona pertempuran oleh Departemen Pertahanan AS.

Akan tetapi, predikat negeri Paman Sam sebagai aktor yang “memainkan lakon” dalam konflik membuat atmosfer keberpihakan dalam tak bisa dilepaskan dari kunjungan para istri presiden AS.

Itulah yang membedakan hadirnya Iriana yang tak memiliki keberpihakan apapun dan justru membawa pesan damai di Ukraina memiliki makna yang istimewa.

Mengacu pada tafsir filosofis dan signifikansi di atas, keikutsertaan Iriana dalam arti paralel lantas menjadi simbol keberanian, kekuatan, dan keyakinan yang menyempurnakan tujuan adiluhung dari lawatan mantan Gubernur DKI Jakarta.

Lalu, akankah rekam jejak yang sedang ditorehkan Iriana akan diaktualisasikan dalam konteks yang lebih jauh, khususnya dalam politik dan pemerintahan Indonesia kelak?

infografis ketika jokowi bermesraan di eropa

Penerus Megawati di PDIP?

Menjadi bagian dan simbol penting dari misi perdamaian Presiden Jokowi di Ukraina boleh dikatakan menjadi modal sosial yang sangat berharga untuk Iriana Widodo.

Aspek momentum konflik Rusia-Ukraina, menjadi istri kepala negara yang sedang berkuasa, korelasinya dengan Presidensi G-20, hingga reputasi Indonesia di level internasional yang sedang menanjak, kemungkinan besar akan sulit diulangi ibu negara “netral” manapun ke depannya.

Pierre Bourdieu dalam publikasinya yang berjudul The Forms of Capital mengatakan bahwa modal sosial adalah properti spesifik dari individu.

Modal sosial, lanjut Bourdieu, tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang. Itu hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya dengan terus memupuk niat baik.

Menariknya, modal sosial dapat dikonversi menjadi modal politik sebagaimana dijelaskan oleh Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital.

Di titik ini, Iriana Widodo bisa saja meniru first lady AS lainnya yang memiliki modal sosial dan rekam jejak serupa, yakni Hillary Clinton.

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Pada Maret 1996, istri dari mantan Presiden Bill Clinton itu juga pernah bertandang ke Sarajevo yang masih menjadi titik panas pasca Perang Bosnia. Berbeda dengan Melania, Michelle dan Laura yang mengunjungi pasukan militer AS, kala itu, Hillary menyapa pasukan perdamaian yang sedang berusaha menciptakan kekondusifan.

Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, kemiripan modal sosial serta kesamaan predikat dengan Hillary kiranya berpeluang terpatri di sosok Iriana dan membuatnya bisa saja akan disambut hangat di gelanggang politik dan pemerintahan.

Hillary Clinton sendiri merupakan first lady Arkansas di tahun 1983 sampai 1992 kala Bill Clinton menjadi gubernur negara bagian itu. Dia lalu menjadi Ibu Negara saat Bill memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) AS 1993.

Karier dan kelihaian politiknya terlihat saat berhasil menjadi Senator dari New York dari tahun 2001 hingga 2009. Pada era Presiden Barack Obama, sebagai kader terbaik partai Demokrat, Hillary didapuk sebagai Secretary of State atau Menteri Luar Negeri-nya AS pada 2009 sampai 2013.

Puncaknya, dia mendapat dukungan untuk maju sebagai capres partai Demokrat pada Pilpres 2016, meski harus mengakui kemenangan sosok kontroversial Donald Trump saat itu.

Hampir bersamaan dengan lawatannya ke Ukraina, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pinter Politik saat ini tengah mengkaji peluang Iriana dalam kontestasi elektoral 2024 sebagai bakal capres maupun calon wakil presiden (cawapres).

Setidaknya, terdapat beberapa skenario jika Iriana pada akhirnya terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Pertama, seperti sang suami dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, Iriana kemungkinan akan berada di bawah naungan PDIP.

Kedua, meskipun cukup sulit karena terhalang potensi stigma negatif, Iriana kiranya tetap pantas untuk menduduki salah satu pos dalam kabinet Jokowi saat ini.

Kursi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) agaknya tepat diduduki oleh Iriana. Apalagi, rotasi bisa saja terjadi kelak dan Bintang Puspayoga sebagai petahana berasal dari PDIP yang kemungkinan tak akan banyak menimbulkan intrik internal. Itu boleh jadi menjadi batu loncatan ideal karier politik Iriana.

Ketiga, Iriana juga dapat menjadi daya tarik segar bagi PDIP mengingat reputasinya yang jauh dari kesan minor.

Terakhir, dinasti Jokowi di PDIP tentu akan “sempurna” jika Iriana benar-benar direkrut dan memiliki posisi kunci, baik dalam internal partai maupun di pemerintahan.

Bahkan, andaikata kepopuleran Iriana melebihi Puan atau trah-Megawati lainnya, bukan tidak mungkin trah-Widodo akan menjadi elite PDIP kelak. Terlebih jika trah-Megawati bisa saja kehilangan kepercayaan dan relevansi sepeninggal putri pertama mantan Presiden Soekarno itu.

Akan tetapi, kontribusi Iriana dalam politik dan pemerintahan tentu tidak bisa serta merta terjadi. Hal itu akan sangat bergantung pada ambisi personal sang Ibu Negara, perkembangan skill politiknya, restu Jokowi, hingga yang terpenting restu dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.

Namun, serangkaian penjabaran di atas masih dalam tahap interpretasi semata. Yang jelas, keberanian dan gestur Iriana di Ukraina memang patut diapresiasi dan akan cukup menarik menantikan dampaknya kelak bagi reputasi sang Ibu Negara. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?