Site icon PinterPolitik.com

Investigasi Gibran Berlalu Begitu Saja?

Investigasi Gibran Berlalu Begitu Saja

Wali Kota Solo terpilih, Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Reuters)

Investigasi Tempo menyeret putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dalam pusaran korupsi dana bansos Covid-19 yang dilakukan oleh Juliari Batubara. Namun, mengapa jurnalisme investigasi seolah menjadi begitu bertaji dan menarik bagi publik belakangan ini, utamanya pada konteks Gibran?


PinterPolitik.com

Sebelum dinamika isu politik saat ini, nama Gibran Rakabuming Raka familiar dengan sosok pengusaha ulung asal Surakarta yang sederhana. Sebagai anak kepala negara, dirinya tampak jauh dari kesan glamor dan cenderung menunjukkan persona sebagai figur yang mandiri.

Di penghujung 2019 lalu misalnya, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengunggah sebuah potret dirinya sedang menikmati se-plastik es teh, “softdrink” sederhana khas anak 90-an.

Akan tetapi, citra bertendensi positif tersebut agaknya berubah drastis saat dirinya memutuskan untuk terjun ke dunia politik menapaki jejak sang ayah. Isu ambisi politik dinasti yang jamak dicerna publik membuat impresi akan kesederhanaannya perlahan terkikis.

Meskipun berhasil memenangkan kontestasi Pilkada 2020 edisi Solo dan berulang kali menegaskan hasil itu menegasikan tudingan minor padanya, hal tersebut tak serta merta membendung konstruksi perspektif yang telanjur kurang positif terhadap sosok Gibran.

Belum selesai sampai di situ, badai tudingan yang dipastikan memiliki kecenderungan minor kembali menghantui Gibran setelah investigasi Majalah Tempo menyeruak ke permukaan.

Ya, temuan investigasi tersebut menguak adanya peran Gibran dalam pusaran rasuah yang menyeret eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.  

Laporan investigasi yang bertajuk Upeti Bansos untuk Tim Banteng itu menyebut, Juliari dan tim khususnya juga diduga menunjuk rekanan untuk memproduksi goodie bag, yang pada akhirnya dipercayakan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex.

Mengacu pada dua staf tim tersebut, keterlibatan Sritex yang berbasis di Solo itu disebut merupakan rekomendasi sang putra presiden, dengan menggunakan sandi “anak Pak Lurah”.

Baca juga: Gibran Ancam Internal PDIP?

Gibran sontak menampik bahwa dirinya merekomendasikan, memerintah, atau bahkan sekadar ikut campur dalam urusan bansos, termasuk perkara pengadaan goodie bag.

Di sisi lain, investigasi itu sendiri lantas menarik perhatian masif dari publik yang belakangan ini memang kepalang memiliki persepsi minor pada sosok Gibran pasca isu politik dinasti di Pilkada 2020. Tak sedikit pula yang kemudian meminta agar KPK memeriksa Gibran.

Menariknya, Gibran belakangan seolah cukup “akrab” dengan investigasi jurnalistik. Sebelumnya, kolaborasi investigasi Suara dan Tirto juga menyenggol keikutsertaan Gibran di Pilkada 2020.

Investigasi tersebut menguak dugaan adanya makelar KTP dan mengungkap skenario sedemikian rupa agar Gibran tak melawan kotak kosong dalam kontestasi elektoral edisi Solo lalu.

Lantas pertanyaanya, mengapa produk jurnalisme investigasi seolah begitu bertaji dan memiliki daya tarik tersendiri di mata publik belakangan ini, utamanya pada konteks Gibran?

Penggugah Dahaga Publik?

Apapun bentuk narasi maupun informasi yang menjadi favorit publik agaknya tidak bisa dilepaskan dari basic needs atau kebutuhan dasar manusia itu sendiri, khususnya dalam pemenuhan informasi.

Di era masifnya arus informasi saat ini, manusia cenderung selalu berhasrat untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal pemenuhan informasi untuk terus mengetahui, lebih dari yang telah diketahui.

Perihal tersebut disoroti oleh Adam Wernick dalam tulisannya Why are humans so curious?yang mana disebutkan bahwa manusia memiliki dua jenis keingintahuan dasar atau curiosity.

Pertama, ialah perceptual curiosity atau keingintahuan perseptual, yakni keingintahuan yang eksis saat melihat sesuatu yang mengejutkan, membingungkan, atau sesuatu yang manusia pikir mereka telah ketahui sebelumnya.

Kedua, epistemic curiosity atau keingintahuan epistemik, yang merupakan hasrat ataupun kecintaan manusia pada pengetahuan dan keinginan untuk mempelajari hal-hal baru.

Signifikansi dua fundamental keingintahuan manusia itulah yang dinilai dapat terwakilkan dengan baik oleh produk jurnalisme investigasi.

Jurnalisme investigasi merepresentasikan akar serta nilai mendasar dari jurnalisme itu sendiri, yakni menguak sisi lain dari sudut pandang, hingga menyingkap dugaan hingga realita yang tidak diketahui banyak orang.

Baca juga: Bajo Kunci Kemenangan Gibran?

Dalam The Challenges of Investigative Journalism, Silvio Waisbord menyebut esensi jurnalisme investigasi, yakni “pushing boundary of daily journalism” atau melampaui batasan jurnalisme yang eksis sehari-hari.

Di tanah air, jurnalisme investigasi bukanlah hal yang baru. Pada masa Orde Baru (Orba), beberapa media harus merasakan tekanan pemerintah karena menyajikan liputan investigasi.

Kulminasinya terjadi pada tahun 1994 saat Majalah Tempo, Editor dan Tabloid DeTik dibredel akibat mengangkat laporan tentang dugaan korupsi pengadaan kapal-kapal perang bekas dari eks Jerman Timur yang isunya cukup prominen saat itu.

Pada kasus Gibran, isu terkait Wali Kota Solo terpilih itu juga memang sedang hangat-hangatnya. Yang kemudian membuat daya tarik pada subjektivitas sosoknya menjadi sangat menarik untuk soroti, baik sebagai isu sosial di ranah publik maupun sebagai kajian jurnalistik.

Dan pada konteks jurnalistik, utamanya yang menyangkut pengungkapan lebih mendalam maupun investigasi dari sisi akuntabilitas kekuasaan, yang mana memang tak bisa dipungkiri dekat dengan Gibran sebagai putra presiden, plus anggota baru dari parpol eks menteri yang sedang terjerat kasus rasuah.

Lantas dengan esensi tersebut, sejauh mana sebuah produk jurnalisme investigasi dapat berdampak atau bahkan membawa perubahan secara konkret?

Terbatas Inherensi Peran?

Salah satu catatan paling awal dari jurnalisme investigasi ialah apa yang dilakukan Julius Chambers dari New-York Tribune yang menguak buruknya perlakuan terhadap para pasien di Rumah Sakit Jiwa Bloomingdale Insane Asylum pada tahun 1872.

Laporan investigasi Chambers tersebut kemudian berujung pada jatuhnya citra rumah sakit itu yang kemudian membuatnya ditutup pada tahun 1889.

Kemudian yang belum lama terjadi, kasus yang cukup menggemparkan tersingkap saat dokumen investigasi Panama Papers dan Paradise Papers dipublikasikan untuk menguak mega skandal kasus penggelapan pajak.

Dokumen tersebut berhasil menguak keterlibatan banyak politisi, pejabat publik terkenal hingga konglomerat, yang tak sedikit membuat mereka mengundurkan diri dari jabatannya.

Akan tetapi, dua kisah tersebut tampaknya tidak menjamin bahwa jurnalisme investigasi akan selalu efektif dan berdampak konkret, serta di saat yang sama dapat menjadi karakteristik utama perusahaan media.

Dalam risetnya yang berjudul Investigative Journalism in Central and Eastern Europe: Autonomy, Business Models, and Democratic Roles, Vaclav Stetka and Henrik Örnebring menemukan bahwa pengaruh riil dari jurnalisme investigasi cenderung sulit untuk diukur.

Keduanya juga menemukan kecenderungan bahwa pejabat publik yang diduga dan dinyatakan korup berdasarkan sebuah investigasi jurnalistik seringkali tetap dapat bertahan di posisinya.

Atau pada beberapa kasus, isu dibiarkan bergulir dan tak mendapatkan tindak lanjut yang optimal, hingga minat media maupun publik secara umum beralih pada informasi serta hal lainnya.

Selain itu, efek secara langsung dari hasil investigasi tersebut cenderung lemah ketika dihadapkan dan berinteraksi dengan realita dan faktor-faktor konkret lainnya seperti kekuatan politik maupun finansial.

Pun, produk yang dihasilkan media – baik secara tangible serta intangibel – dinilai kurang memiliki daya yang mumpuni untuk membentuk sebuah legal standing yang solid dan dapat membawa perubahan konkret.

Dan sejak konglomerasi media menjadi fenomena tersendiri, jurnalisme investigasi menjadi aliran yang kurang menarik karena membutuhkan biaya yang lebih serta memiliki risiko yang besar.

Atau dengan kata lain, pada konteks kasus investigasi teranyar yang menyeret Gibran dalam kasus rasuah bansos, mungkin saja investigasi yang ada hanya akan berakhir sebagai angin lalu ketika tidak adanya tindak lanjut berkesinambungan yang nyata.

Ihwal yang telah terjadi pada investigasi kasus makelar KTP di Pilkada Solo, di mana secara tidak langsung terkait nama yang sama.

Kendati demikian, probabilitas tersebut agaknya tak lantas dapat menghentikan sepak terjang sebuah jurnalisme investigasi. Beth Knobel, seorang profesor bidang komunikasi dari Fordham University, menyebut bahwa jurnalisme investigasi masih akan menjadi kunci masa depan perusahaan media.

Dalam sebuah riset yang dipublikasikan di Columbia Journalism Review, Knobel mengatakan bahwa watchdog atau investigative reporting seringkali menjadi latar belakang bagi ketertarikan publik untuk membaca dan bahkan membeli produk jurnalistik berupa koran atau majalah tertentu.

Media secara umum juga memiliki signifikansi sebagai “perekam sejarah”, yang mana berarti jurnalisme investigasi akan selalu menjadi subjek yang sangat berharga dalam definisi jurnalisme itu sendiri secara utuh.

Oleh karenanya, ekspektasi terhadap jurnalisme investigatif agaknya masih sangat besar. Tinggal persoalannya kini, bagaimana output dari investigasi tersebut tidak hanya sebatas memberikan rujukan bagi preferensi publik dalam konteks tertentu seperti isu politik.

Lebih jauh, jurnalisme investigasi juga diharapkan dapat diartikulasikan menjadi variabel konstruktif yang konkret, utamanya ketika menyangkut pengungkapan kasus atau skandal tertentu. (J61)

Baca juga: Trah Jokowi-Gibran Sebatas di Solo?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version