Presiden Jokowi kembali menyinggung persoalan intoleransi. Ia bahkan menegaskan pemerintah tidak akan membiarkan tumbuhnya sikap-sikap intoleran dan tertutup dalam praktik beragama. Pernyataan tersebut selaras dengan konsep “paradoks toleransi” dari filsuf Karl Popper. Namun pertanyaannya, benarkah persoalan intoleransi telah akut di Indonesia?
Minggu, 15 November 2020, di depan sembilan anggota Asean dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya toleransi dalam beragama. “Kalau ini dibiarkan, maka akan mencabik harmoni dan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme. Ini tidak boleh terjadi,” begitu tuturnya.
Dengan narasi yang sama, pada sambutan dalam Musyawarah Nasional IX Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pada 7 April kemarin, Presiden Jokowi kembali menegaskan pentingnya toleransi dalam beragama.
Melihat momentum, pernyataan itu mungkin bertolak dari kasus terorisme yang terjadi baru-baru ini. Ada ledakan bom di Gereja Katedral Makassar, serangan ke Markas Besar (Mabes) Polri, hingga penangkapan belasan terduga teroris yang disertai pengamanan beberapa bom aktif.
Tidak sekadar mengimbau, Presiden Jokowi juga memberikan penegasan yang layak untuk dicermati. “Pemerintah tidak akan membiarkan tumbuhnya sikap-sikap intoleran dan tertutup itu,” begitu tegasnya.
Sejak kasus Ahok, mungkin banyak yang menaruh curiga terhadap pernyataan semacam itu. Kate Grealy dalam tulisannya Politicising The Label Radical?, misalnya, menyinggung adanya tendensi politisasi label radikal dan ekstremis yang digunakan untuk membungkam mereka yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah.
Saat ini, di berbagai media sosial, kita juga melihat fenomena menarik, di mana warganet justru menaruh curiga hingga menuduh rekayasa terhadap kasus terorisme yang baru-baru ini terjadi. Curiga-curiga semacam itu adalah indikasi masyarakat telah bersepakat dengan hipotesis Kate Grealy.
Baca Juga: Jokowi Diterpa Terorisme Politik?
Lantas, jika telah demikian, apakah kita harus menaruh curiga pula pada pernyataan Presiden Jokowi di LDII kemarin?
Paradoks Toleransi
Kendati mungkin terdapat berbagai curiga terhadap adanya politisasi label radikal, secara teoretis, pernyataan Presiden Jokowi dapat dibenarkan. Dalam buku The Open Society and Its Enemies, Karl Popper memperkenalkan istilah paradox of tolerance (paradoks toleransi) untuk menggambarkan sisi kelam dari sikap toleran yang tidak memiliki batas.
Menurut Popper, toleransi tanpa batas, yang memberikan ruang bertumbuh bagi sikap intoleran, nantinya akan menjadi penghancur bagi toleransi. Argumentasi Popper bertolak pada kesulitan dialog.
Menurutnya, pihak-pihak intoleran sering kali tidak mampu mendengarkan argumentasi rasional, bahkan juga memerintah pengikutnya untuk tidak berdialog. Pada banyak kasus, mereka kemudian menjawab argumentasi rasional dengan kekerasan, tinju dan pistol.
Pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak membiarkan tumbuhnya sikap-sikap intoleran jelas merepresentasikan paradoks toleransi. Namun, kembali pada Kate Grealy, bagaimana jika persoalan intoleransi yang digelorakan adalah alat politik?
Profesor Geografi University of California, Los Angeles (UCLA) Jared Diamond dalam bukunya Upheaval: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan memberikan pujian terhadap Indonesia. Secara geografis, Indonesia adalah negara paling terpecah di dunia dengan sebaran 18 ribu pulau, namun secara menakjubkan dapat menjadi negara kesatuan.
Pada persoalan bahasa nasional, dengan bahasa Jawa yang digunakan oleh sepertiga populasi, bahasa Indonesia justru dipilih sebagai bahasa nasional untuk menghindari persepsi dominasi Jawa.
Di awal kemerdekaan, sejarah telah mencatat bagaimana tolerannya bangsa ini. Meskipun Islam adalah agama mayoritas, sila pertama dalam Pancasila rela diubah, dan negara Islam tidak dipilih sebagai bentuk negara.
Jared tentu mencatat terdapat kerusuhan agama di Indonesia, namun eskalasinya jauh di bawah yang terjadi di negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah.
Baca Juga: Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?
Pujian serupa juga dikemukakan jauh sebelumnya oleh mantan Diplomat Singapura, Kishore Mahbubani dalam tulisannya Indonesia’s democratic miracle. Tidak tanggung-tanggung, Mahbubani menyebut Indonesia sebagai mercusuar kebebasan dan demokrasi bagi dunia Muslim.
Menariknya, Mahbubani membandingkan Indonesia dengan kiblat demokrasi dunia, Amerika Serikat (AS). Tidak seperti AS yang memiliki paranoia terhadap Muslim setelah serangan 9/11, islamofobia tidak berkembang pesat di Indonesia meskipun terjadi beberapa serangan terorisme besar, seperti bom Bali.
Tentu pertanyaannya, jika analisis Jared dan Mahbubani tepat, mengapa saat ini kita semakin sering membaca dan mendengar kasus-kasus intoleransi?
Buah Kebijakan Politik?
Untuk menjawabnya, kita perlu mengulas strategi politik Soeharto. Sebelum Soeharto mendekati kelompok Islam di akhir pemerintahannya, sang Smiling General justru melakukan represi terhadap kelompok Islam.
Ihwal itu dapat kita lihat dari buku Greg Barton, Kelly Bird, dan Susan Blackburn yang berjudul Indonesia Today: Challenges of History. Pada tahun 1970-an, intelijen kepercayaan Soeharto, Ali Moertapo menginisiasi pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
CSIS banyak membawa sosok yang belajar di AS, khususnya yang menimba ilmu dari Seymour Martin Lipset dan Samuel Huntington. Tujuannya? Untuk melakukan akselerasi modernisasi dan menduplikasi demokrasi AS. Namun pada praktiknya, Pancasila yang digunakan sebagai asas tunggal justru digunakan sebagai alat politik (political tool) yang menargetkan segala bentuk kelompok kiri dan politik Islam.
Setelah Orde Baru jatuh, kelompok Islam mendapatkan momentum kebangkitan. Leni Winarni dalam tulisannya The Political Identity of Ulama in the 2014 Indonesian Presidential Election juga melihat kebangkitan ini. Pada Pemilu 1999, misalnya, 20 dari 48 partai politik yang ada merupakan partai politik Islam.
Baca Juga: FPI, Buah Kesalahan Soeharto?
Yang menjadi masalah bukan kebangkitan politik Islam, melainkan residunya. Pasalnya, selama puluhan tahun Soeharto menjabat, kerap dimainkannya politik adu domba tampaknya telah membekas di benak masyarakat. Direpresinya kelompok Islam telah menciptakan persepsi Islam telah dikekang.
Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order juga menyinggung persoalan residu semacam itu. Menurutnya, kebangkitan kembali Islam pada tahun 1980-an dan 1990-an, mengarah pada gerakan anti-Barat karena selama ini dinilai telah terjadi hegemoni Barat dan westernisasi.
Artinya, kebijakan Soeharto sebelumnya tampaknya telah menjadi preseden atas terbentuknya persepsi bahwa Islam sebagai mayoritas telah dipersekusi secara politik.
Terlebih lagi, sejak kasus Ahok pada 2016 lalu, pemberitaan masif di berbagai media dan kerapnya berbagai pejabat elite menyinggung soal intoleransi tampaknya telah menciptakan persepsi di tengah masyarakat bahwa memang terdapat persoalan intoleransi yang mendalam.
Terbentuknya persepsi tersebut dapat kita pahami melalui bias kognitif yang disebut dengan availability bias. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan availability bias sebagai fenomena psikologis ketika seseorang cenderung memahami realitas berdasarkan informasi yang paling mudah diingatnya.
Nah, dengan derasnya pemberitaan media soal kasus Ahok, serta pemberitaan-pemberitaan kasus lainnya, akan sangat mudah terbentuk persepsi bagi pembaca berita untuk menyimpulkan Indonesia adalah negara yang tidak toleran.
Sekelumit persoalan ini kemudian mengaburkan fakta sejarah dan keberhasilan Indonesia menjadi negara kesatuan sebagaimana dikemukakan oleh Jared dan Mahbubani. Tentu kita tidak menampik kasus-kasus intoleran yang terjadi, tapi bagaimana jika kasusnya terlalu dibesarkan karena terdapat intrik politik tertentu?
Well, pada akhirnya tulisan ini hanyalah analisis teoretis semata. Di luar persoalan terkait politisasi label radikal seperti yang dikemukakan Kate Grealy, harapan kita adalah perang terhadap intoleransi dilakukan secara proporsional. (R53)