HomeNalar PolitikInterview Novel: Polisi Diduga Terlibat?

Interview Novel: Polisi Diduga Terlibat?

Kecil Besar

Wartawan majalah TIME, Jonathan Emont, mewawancarai Novel Baswedan yang tengah dirawat di Singapura. Dalam wawancara yang ‘unik’ ini terungkap beberapa hal, salah satunya soal keterlibatan oknum kepolisian.


PinterPolitik.com

“Saya telah menerima informasi bahwa seorang polisi berpangkat tinggi terlibat. Awalnya saya katakan bahwa informasi tersebut tidak benar. Akan tetapi, sekarang sudah dua bulan dan kasus ini belum terselesaikan, saya katakan (kepada orang yang memberi pernyataan) bahwa rasanya informasi tersebut benar,” – Novel Baswedan

Baru-baru ini, majalah TIME, melalui laman daringnya, turut mempublikasikan artikel yang mengupas Novel Baswedan. Artikel bertajuk I Don’t Want to Be Sad’: Indonesia’s Top Graft Buster Talks to TIME From His Hospital Bed tersebut unik. Pertama, ia adalah artikel perdana yang mewawancarai langsung Novel Baswedan pasca dirinya diserang air keras. Kedua, persis seperti kutipan di atas, artikel ini juga menyelipkan komentar langsung dari Novel tentang adanya polisi berpangkat tinggi yang terlibat sebagai pelaku penyiraman.

Jika dihitung-hitung, penyidikan ‘musibah’ yang menimpa Novel ini sudah memakan waktu dua bulan. Tentu ini adalah waktu yang teramat lama. Tidak hanya mengundang tanya, lambatnya polisi mengungkap pelaku penyiraman ini juga mengarah pada kecurigaan, jangan-jangan ada ‘kekuasaan besar’ bermain di balik prahara yang menimpa Novel Baswedan.

“Maka jadi pertanyaan kita bersama kenapa lambat? Padahal Jokowi dan Kapolri sudah memerintahkan dengan tegas untuk segera diungkap pelaku dan aktor intelektual di belakangnya. Jika berlarut-larut dan sama seperti kasus Tama (pegiat Indonesia Corruption Watch), semakin besar kecurigaan masyarakat bahwa ada sesuatu di balik penyiraman Novel dan berhubungan dengan kekuasaan yang besar,” ujar pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Isnur.

Polisi dan Novel Dalam Perkara

Sebelum disiram air keras, menurut keterangan TIME, Novel sudah mengalami 5 kali tindakan teror. Di antaranya Juni 2012, sepeda motor Novel ditabrak pendukung tersangka korupsi Amran Batalipu (Bupati Buol). Sementara itu, pada 15 Oktober 2015, mobil yang dikendarai oleh Novel dan para penyidik KPK masuk ke sungai saat melakukan pengecekan fisik korupsi KTP-elektronik di Nusa Tenggara Barat.

Tidak hanya itu, pada Oktober 2012, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menggerebek gedung KPK dan berencana menangkap Novel karena kasus penganiayaan terhadap pencuri walet yang terjadi tahun 2004. Karena tidak cukup bukti, Novel dilepaskan. Sebelumnya, Novel menjadi kepala Satuan Tugas yang memimpin penyidikan kasus korupsi simulator SIM yang pada akhirnya menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai terpidana.

Kemudian, pada Mei 2015, Novel ditangkap lagi atas kasus yang sama. Sebelumnya KPK mengumumkan Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi, sesaat setelah Presiden Jokowi mendaftarkannya sebagai calon tunggal Kapolri. Setelahnya. Novel ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri di rumahnya. Atas desakan Presiden Jokowi, Novel pun dibebaskan.

Dengan hanya melibatkan pihak kepolisian, kasus Novel bisa jadi tidak pernah ‘move on’. Pasalnya, melihat berbagai perkara yang melibatkan Novel dan institusi kepolisian ada kemungkinan pelaku penyiraman juga melibatkan oknum kepolisian yang tidak suka dengan Novel.

Baca juga :  The Danger Lies in Sri Mulyani?

Selain itu, kepada TIME, Novel juga mengatakan bahwa kasus yang sedang dikerjakan KPK sekarang ini (KTP-elektronik) akan menyeret belasan anggota parlemen ke kursi pesakitan pengadilan korupsi. Ada kemungkinan juga bahwa mereka yang terancam oleh penyelidikan yang dilakukan Novel membentuk  ‘koalisi’ besar untuk melumpuhkan langkah KPK, baik secara institusi maupun penyidiknya, dengan teror dan ancaman.

“Benar bahwa bisa jadi siapa saja yang merasa terancam oleh salah satu investigasi (yang Novel) pimpin (adalah pelakunya),” ujar Simon Butt, seorang profesor di bidang hukum Indonesia di University of Sydney Law School, kepada TIME.

Polisi dan Prahara ‘Air Keras’

Tidak berlebihan jika menyebut artikel yang ditulis Jonathan Emont tersebut sebagai ‘oase di tengah gersangnya gurun pasir’. Ia memberi kesegaran sekaligus sinyal bahwa untuk bisa dibilang selesai, terungkapnya pelaku penyiraman air keras masih jauh panggang dari api.

Perkataan Isnur tentang “kekuasaan besar di balik penyiraman Novel” dan komentar Novel tentang “keterlibatan polisi berpangkat tinggi” menjadi indikasi mengapa penyidikan kasus Novel memakan waktu lama, cenderung diulur-ulur, dan penuh kejanggalan

Menurut Koalisi Masyarakat Peduli KPK yang berisi organisasi seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan setidaknya ada empat kejanggalan dalam penyidikan kasus Novel.

Kejanggalan pertama, dari lokasi, ada barang bukti cangkir kaleng blirik hijau yang digunakan pelaku untuk menyiram muka Novel dengan air keras. Namun polisi mengatakan tidak ada sidik jari yang ditemukan di gagang cangkir, karena bentuknya kecil. Padahal, pelaku secara khusus mengarahkan siramannya ke wajah Novel. Tentu perlu tenaga besar yang meninggalkan sidik jari untuk melakukan hal ini.

Kejanggalan kedua, biasanya polisi mempublikasikan rekaman kamera Close Circuit Television (CCTV) yang berkaitan dengan tindak pidana. Namun dalam kasus Novel, rekaman CCTV disimpan atas alasan resolusi yang terlampau kecil. Padahal, satu pekan sebelum penyiraman terjadi, seorang pria terekam datang ke rumah Novel. Dia disambut oleh asisten rumah tangganya. Menurut keterangan pihak kepolisian, setelah menanyakan perihal baju gamis laki-laki, pria itu pun pergi.

Kejanggalan ketiga, pihak kepolisian membebaskan empat orang terduga pelaku yang ditangkap sebelumnya. Dua orang, Muklis dan Hasan, terekam dalam foto yang diambil tetangga Novel sedang berada di sekitar rumah Novel, Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Diketahui keduanya adalah ‘mata elang’, agen yang biasanya ditugaskan mengintai keberadaan kendaraan bermotor curian. Saat hari kejadian, keduanya tidak berada di lokasi, tapi bisa saja para pelaku menempatkan Muklis dan Hasan sebagai ‘surveillance’ dan dua orang penyiram Novel sebagai ‘executor’.

Baca juga :  PHK Indonesia, Waspada Sindrom Katak Rebus? 

Kejanggalan keempat, beberapa kali pihak kepolisian inkonsisten dalam memberikan keterangan pelaku. Pada suatu waktu, Mabes Polri pernah mengeluarkan keterangan kepada media bahwa kepolisian telah mengetahui pelaku penyiram Novel dan juga telah melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga pelaku. Polda Metro Jaya meralat keterangan tersebut dengan menyatakan bahwa yang ditangkap bukanlah pelaku.

Interview Novel Polisi Diduga Terlibat

 “Saya Tidak Sedih”

Di ruang rumah sakit tempat Novel dirawat, Novel banyak mengungkapkan kepada TIME betapa dia sangat ingin kembali bekerja, meski ibundanya trenyuh melihat keadaannya yang seperti sekarang ini.

“Ya, jalan yang ditempuh Novel benar, memberantas korupsi itu benar,” kata Ibunda Novel. Akan tetapi, dia juga menyayangakan jika hal seperti ini terjadi. “Apa yang hendak dilakukan? Dia punya anak-anak, apa jadinya masa depan mereka nanti? Ketika terjadi hal seperti hal ini, saya takut. Dia pulang larut malam, terkadang tiga hari sekali waktu dia tidak pulang ke rumah,” tutur Ibunda Novel.

Sebelum menjadi penyidik KPK pada tahun 2007, Novel meniti karir sebagai penegak hukum dengan menjadi polisi. Dia lulus dari Akademi Kepolisian pada tahun 1998 dan pada tahun 2004 dia menjadi Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Kepolisian Resor (Polres) Bengkulu.

Novel sadar, institusi yang dimasukinya tersebut lekat dengan citra korup. Kepada TIME, Novel mengungkapkan bahwa alasannya menjadi polisi adalah untuk membenahi institusi kepolisian dari dalam. “Saya akan memperbaiki citra tersebut,” ujar Novel, “Kalau tidak bisa, saya akan resign.”

Sejurus dengan cita-cita tersebut, saat menjadi penyidik KPK, Novel pun tidak takut untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum kepolisian. Meski dengan begitu berbagai teror dan ancaman – bahkan dari pihak kepolisian – datang menghantuinya.

“Saya tidak ingin sedih,” ujar Novel, “Kapanpun kita memutuskan untuk berjuang demi rakyat, untuk orang banyak, hasilnya kita akan ditentang, kita akan diserang.”

Novel: Setelah Saya, Siapa Selanjutnya?

Walau penyidikan seolah menemui jalan buntu, beberapa pihak yang peduli dengan Novel tidak tinggal diam. Awal Juni lalu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK berencana mengirim surat permintaan kepada Presiden Jokowi yang berisi desakan agar membentuk tim pencari fakta gabungan independen dimana KPK, ahli, polisi, dan tokoh masyarakat bisa menjadi anggotanya. Dengan adanya tim ini, harapannya intervensi sepihak kepolisian bisa dikurangi.

Untuk pengungkapan pelaku penyiraman, menurutnya, dia tahu Presiden Jokowi memerintahkan polisi untuk memprioritaskan kasus, tapi dia katakan dia tidak tahu apakah Presiden telah mengevaluasi jalannya penyidikan.

“Jika ada seseorang yang bekerja di pemerintahan untuk memberantas korupsi lalu dia diserang beberapa kali dan tidak ada dari kasus tersebut yang terselesaikan, hal itu adalah masalah bagi negara,” Novel berkata. Tambahnya, “Setelah saya, siapa selanjutnya?”

(H31)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

PHK Indonesia, Waspada Sindrom Katak Rebus? 

Bahaya PHK masih terus mengancam Indonesia. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran besar dari permasalahan ini? 

The Tale of Budi Gunawan

Kehadiran Budi Gunawan dalam pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu lingkar elite yang berpengaruh.

How About Dasco’s Destiny?

Peran, manuver, serta konstruksi reputasi Sufmi Dasco Ahmad kian hari seolah kian membuatnya tampak begitu kuat secara politik. Lalu, mengapa itu bisa terjadi? Serta bagaimana peran Dasco dalam memengaruhi dinamika politik-pemerintahan dalam beberapa waktu ke depan?

Prabowo & Trump Alami “Warisan” yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

More Stories

Simpang Siur Suara Yusril

Heboh, kata Yusril, Jokowi sudah bisa digulingkan dari jabatan presidennya karena besarnya utang negara sudah melebihi batas yang ditentukan. Usut punya usut, pernyataan tersebut...

Elit Politik Di Balik Partai Syariah 212

Bermodal ikon '212', Partai Syariah 212 melaju ke gelanggang politik Indonesia. Apakah pembentukan partai ini murni ditujukan untuk menegakan Indonesia bersyariah ataukah hanya sekedar...

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme...