Sepanjang sejarah berdirinya negara ini banyak konflik dan kejadian yang sudah diatur oleh tangan-tangan tak terlihat dari luar – sebutan untuk negara-negara yang diduga terlibat dalam berbagai kejadian yang terjadi di Indonesia.
PinterPolitik.com
Saat ini dunia sedang dilanda the wind of change, meminjam judul lagu band legendaris Jerman: Scorpions. Kemenangan Donald J. Trump dalam pemilu di Amerika Serikat membawa pergeseran yang signifikan dalam peta perpolitikan global. Pasca Perang Dunia II perpolitikan dunia terbagi ke dalam dua kubu besar: Amerika Serikat di satu blok dan Uni Soviet (Rusia) di blok lain.
Dua negara itu saling berebut pengaruh di seluruh kawasan dunia saat itu, sehingga tidak jarang sering melakukan intervensi pada suatu negara – sebut saja kasus di Suriah dan di Afghanistan, atau perpecahan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Kemenangan Trump – sosok yang seolah tidak terlalu peduli lagi dengan sejarah permusuhan Amerika Serikat dan Rusia tersebut – membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah Amerika Serikat akan tetap menjadi negara yang ingin merebut pengaruh lewat kebijakan-kebijakannya ‘mengintervensi’ negara lain seperti zaman perang dingin?
Persoalan intervensi asing pada suatu negara adalah bahasan yang menarik bagi kebanyakan pengamat politik internasional. Di Indonesia sendiri, intervensi asing ini merupakan masalah yang sudah digembar-gemborkan bahkan sejak saat negara ini berdiri. Lalu, apa sebetulnya intervensi asing itu? Bagaimana suatu negara bisa mengintervensi negara lain – yang nota bene berarti melewati batas kedaulatan suatu negara? Bagaimana, untuk kepentingan apa dan negara mana saja yang melakukan intervensi di Indonesia sejak negara ini merdeka?
Intervensi Asing: Sebuah Analisis
Saat ini, politik keseimbangan global sedang menjadi panggung besar. Ada sebuah teori tentang keseimbangan global (the balance of power theory) yang menyatakan bahwa kondisi dunia yang ‘aman’ bisa tercipta jika adanya situasi kesamaan kekuatan – umumnya militer – antara negara-negara di dunia. Kondisi keseimbangan ini dapat terjadi jika minimal terdapat dua negara dengan kekuatan militer yang berimbang. Hal ini terlihat saat periode perang dingin berlangsung.
Gambaran paling jelasnya adalah ketika kita menyaksikan di hampir semua konflik yang terjadi di suatu negara pada era perang dingin pasti melibatkan dua negara: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hampir semua konflik di Timur Tengah – yang sebagian bahkan masih berlangsung hingga hari ini – dipengaruhi dan diintervensi oleh dua negara ini.
Pasca runtuhnya Soviet, Tiongkok ‘bangun dari tidur’ dan menjelma menjadi kekuatan baru serta memainkan posisi sebagai penyeimbang kekuasaan Amerika Serikat. Kemenangan Trump, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (brexit), serta keengganan banyak negara untuk terlalu fokus pada isu untuk ‘mengembangkan pengaruh’ menyebabkan keseimbangan politik global semakin sulit diprediksi.
Trump misalnya, yang kerap menggembar-gemborkan perbaikan kondisi ekonomi domestik dan ingin fokus pada kebijakan proteksionisme ekonomi Amerika Serikat, tidak begitu tertarik lagi pada persoalan ‘perebutan pengaruh’ seperti yang terjadi pada zaman perang dingin.
Sementara di lain pihak, Rusia yang saat ini dipimpin Vladimir Putin malah coba menampilkan kembali kejayaan era Tsar – suatu kondisi yang bisa dilihat dari kembali menguatnya peran-peran kaum konglomerat dalam perekonomian Rusia – , serta Tiongkok yang kelihatan ‘memanfaatkan’ ketidakjelasan posisi pemerintahan Trump untuk merebut pengaruh politik yang sebelumnya dikuasai oleh Amerika Serikat.
Konsen hubungan Rusia dan Tiongkok itu misalnya bisa terlihat dalam tulisan mantan Duta Besar Pakistan untuk Indonesia, Rana Sanaullah Khan yang berjudul “Beyond Perception”. Sanaullah menyebutkan bahwa ada pergeseran yang signifikan terhadap pengaruh Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah.
India merupakan negara tetangga Pakistan yang cukup dekat dengan Amerika Serikat, namun beberapa tahun terakhir lebih sering melakukan kerjasama militer dengan Rusia. Rusia dan Tiongkok pun bekerja sama dalam upaya untuk membendung pengaruh Iraq and Suriah Islamic State (ISIS) di Asia Tengah. Bahkan, Sanaullah menyebut Tiongkok dan Rusia ikut membiayai Taliban untuk memerangi ISIS.
Sanaullah menyebutkan bahwa konteks intervensi bisa dilihat dari aktivitas ‘membiayai’ Taliban, sebuah kelompok yang berada di luar batas kedaulatan negara Rusia maupun Tiongkok. Praktik ‘membiayai’ ini seolah kembali membuka frame lama konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah, misalnya ketika melihat intervensi Amerika Serikat yang ‘membiayai’ Al-Qaeda untuk berperang melawan Uni Soviet saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979.
Pada masa itu, banyak orang tidak ragu menunjuk kebijakan intervensi terhadap suatu negara yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, sebagai upaya hegemoni politik dan ekonomi. Hegemoni itu sendiri berasal dari istilah di zaman Yunani kuno – eugemonia – yang bisa diartikan secara sederhana sebagai dominasi yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara-negara lain.
Pada zaman Yunani kuno, hegemoni terjadi ketika negara-negara kota Yunani semisal Athena dan Sparta, berebut pengaruh terhadap negara-negara kota lainnya. Istilah ini kemudian lumrah digunakan untuk melihat konteks perebutan pengaruh dan intervensi yang terjadi di kawasan Timur Tengah selama perang dingin. Antonio Gramsci (1891-1937), seorang filsuf berkebangsaan Italia, kemudian juga menempatkan isu budaya dalam konteks penyebaran pengaruh tersebut.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa diskursus konflik di kawasan Timur Tengah, selalu dipengaruhi oleh perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Soviet zaman dulu. Pertanyaannya tentu saja adalah seberapa penting ‘pengaruh’ itu saat ini? Apakah fenomena intervensi ini masih relevan? Apa sebenarnya yang dikejar oleh Amerika Serikat dan Soviet ketika mengintervensi negara-negara di Timur Tengah?
Salah satu persoalan yang cukup disorot dalam kaitan dengan konflik dan intervensi yang terjadi di kawasan Timur Tengah adalah mengenai sumber energi. Pada tahun 1956, Marion King Hubbert (1903-1989) seorang ahli geologi Amerika Serikat mengungkapkan sebuah teori yang menurutnya menjadi dasar konflik-konflik di tahun-tahun selanjutnya.
Teori yang terkenal dengan sebutan Peak Oil ini menyebutkan bahwa pada suatu saat produksi minyak bumi akan mencapi titik yang tertinggi, lalu kemudian akan mengalami penurunan produksi yang signifikan. Bahkan dalam presentasinya pada pertemuan American Petroleum Institute di San Antonio tersebut Hubbert memprediksi jumlah minyak bumi di Amerika Serikat akan mencapai puncak dan mulai mengalami penurunan pada tahun 1965 hingga tahun 1970.
Prediksinya terbukti benar saat puncak produksi minyak Amerika Serikat terjadi pada tahun 1970. Hal inilah yang menyebabkan banyak perusahaan minyak Amerika Serikat yang kemudian melakukan ekspansi, mencari sumber-sumber minyak di luar negeri.
Begitu mengetahui wilayah Timur Tengah begitu kaya akan sumber minyak, Amerika Serikat dan Uni Soviet lalu berlomba untuk memperebutkan wilayah-wilayah tersebut. Dua negara ini masuk ke negara-negara seperti Afganistan, Suriah dan Kuwait. Jika pemimpin negara tersebut tidak mau diajak berkompromi dan berbisnis minyak, maka cara-cara intervensi lewat penciptaan konflik pun dipakai.
Dua negara ini pun seringkali terlibat di belakang pihak-pihak yang ada di dalam konflik domestik suatu negara. Peak oil menandai babak baru konflik di dunia internasional. Peak oil kemudian berkembang meluas menjadi isu energi yang lebih besar dan tidak lagi hanya mencakup minyak.
Trump pernah mengatakan ingin menjalin kerja sama dengan Rusia dan Tiongkok. Jika benar-benar terwujud, hal ini dipastikan dapat mengubah dan mengacaukan peta keseimbangan global. Namun demikian, harus dicatat pula bahwa Partai Republik yang mengusung Trump adalah partai yang sangat pro kepada kepentingan kaum pebisnis.
Hubungan industri migas dengan partai Republik juga sangat dekat. Maka, dalam konteks perebutan pengaruh dan intervensi dalam kasus energi, tidak mungkin Amerika Serikat akan tinggal diam membiarkan Tiongkok dan Rusia yang merebut pengaruh di negara-negara di dunia.
Bisa jadi juga Trump memainkan dramaturgi politik – meminjam istilah Erving Goffman – lain bicara di depan publik, lain pula di belakang meja kerja. Yang jelas, ia adalah seorang pebisnis, maka boleh jadi kebijakan di belakang meja kerjanya akan lebih memihak para pebisnis.
Intervensi Asing di Indonesia: Fakta atau Mitos?
Lalu, bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Tentu saja intervensi asing juga terjadi di negara ini. Bahkan sepanjang sejarah berdirinya negara ini banyak konflik dan kejadian yang sudah diatur oleh tangan-tangan tak terlihat dari luar – sebutan untuk negara-negara yang diduga terlibat dalam berbagai kejadian yang terjadi di Indonesia.
Mulai dari Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948, hingga reformasi di tahun 1998, semuanya penuh dengan nuansa kepentingan tersebut. Intervensi-intervensi tersebut dilakukan untuk tujuan menguasai kekayaan alam Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Pemberontakan PKI pada tahun 1948 di Madiun diduga melibatkan Uni Soviet (Rusia). Lalu, pemberontakan PRRI/Permesta di Manado pada tahun 1958 diduga melibatkan Amerika Serikat dan Inggris. Tragedi Gerakan 30 September PKI 1965 juga ditengarai merupakan intervensi Amerika Serikat dan Inggris – seperti disebutkan dalam dokumen Gilchrist.
Tiongkok juga dianggap terlibat ketika menyebutkan Presiden Soekarno saat itu sedang sakit. Pada tahun 1974, terjadi tragedi Malari (Malapetaka 15 Januari) yang diduga terjadi sebagai akibat persaingan bisnis perusahan-perusahan Jepang dan Amerika Serikat. Lain lagi dengan kerusuhan tahun 1998 yang diduga sebagai upaya intervensi asing untuk meliberalisasi Indonesia lewat IMF.
Intervensi-intervensi asing ini juga masih terjadi hingga saat ini. Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo dalam pandangannya terhadap aksi 2 Desember 2016 atau aksi 212 menuturkan bahwa ada ancaman terhadap bangsa Indonesia yang datang dari luar yang ingin memanfaatkan momen-momen demonstrasi semacam itu untuk menggoyahkan situasi politik negara ini.
“Indonesia menjadi seperti gadis seksi yang diperebutkan”, demikian kata Panglima TNI dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan oleh tvOne. Letak Indonesia yang strategis, sumber daya alam yang kaya, serta ekonomi yang besar menyebabkan banyak negara yang ingin menempatkan pengaruhnya di Indonesia.
Panglima TNI juga menyinggung peak oil yang menjadi dasar pemikiran dan sumber kepentingan banyak negara lain di dunia terhadap Indonesia. Minyak bumi dan energi fosil lainnya tidak lama lagi akan habis. Sumber makanan dan air bersih akan menjadi kebutuhan mutlak yang juga menipis seturut bertambahnya jumlah penduduk dunia yang diperkirakan menyentuh angka 1 miliar setiap 6 tahun.
Pada tahun 2056 energi fosil diperkirakan akan habis dan pada saat itu penduduk bumi diperkirakan akan berjumlah 14,5 miliar orang. Indonesia adalah salah satu negara di ekuator yang subur dan oleh karenanya berlimpah sumber alamnya. Oleh karena itu, akan ada sekitar 9,8 miliar penduduk dunia di daerah non ekuator yang akan mencari sumber energi, pangan, dan air ke wilayah ekuator yang saat itu dihuni oleh sekitar 2,5 miliar penduduk.
Dengan demikian, hal ini harus dipandang sebagai ancaman bagi keamanan nasional Indonesia.
Panglima TNI menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan angka optimisme publik nomor 2 di dunia setelah Tiongkok. Dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik serta pemerataan kesejahteraan yang terus digalakkan, maka Indonesia akan melangkah menjadi negara maju. Ternyata hal ini tidak diinginkan oleh banyak negara.
Jika Indonesia menjadi negara yang semakin maju, hal tersebut dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara lain, khusunya negara-negara di sekitar. Panglima TNI menyebut negara-negara tersebut sebagai Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang terdiri atas negara-negara persemakmuran Inggris seperti Malaysia, singapura, Australia, Selandia Baru, dan tentu saja Inggris.
Untuk waktu yang cukup lama Australia misalnya, menganggap Indonesia sebagai ancaman bagi keamanan nasionalnya. Bahkan, Defence White Paper Australia tahun 2016 memasukkan Indonesia dalam sub-bab terpisah.
Hal yang sama juga terjadi misalnya dengan Malaysia dan Singapura. Panglima TNI menyebutkan bahwa saat program tax amnesty disahkan menjadi Undang-Undang oleh pemerintah Indonesia, terjadi penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura dan ringgit Malaysia.
Pada tanggal 27 Juni 2016 atau sehari sebelum tax amnesty ditetapkan nilai 1 dollar Singapura setara Rp 9.834,74 dan 1 ringgit Malaysia setara Rp 3.280,31. Saat tax amnesty disahkan pada 28 Juni 2017 terjadi penguatan, di mana nilai 1 dollar Singapura setara dengan Rp 9.699,81, sementara 1 ringgit Malaysia setara dengan Rp 3.132,90.
Tax amnesty adalah sebuah produk optimis pemerintah. Jika Indonesia tetap berada pada posisi optimis dan akhirnya maju, maka dengan sendirinya posisi Indonesia akan semakin kuat jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga: sebuah ancaman untuk mereka tentunya.
Dalam kesempatan itu pula, Panglima TNI sempat menyinggung keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, Australia. Walauapun tidak menjelaskan secara gamblang, tetapi semua orang pasti bisa menafsirkan apa kepentingan Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Darwin, kalau bukan untuk mengamankan kepentingannya, misalnya Freeport di Papua, atau mungkin juga blok migas Masela yang berjarak hanya 492 km dari Darwin. Panglima juga menyinggung tingginya peredaran narkoba sebagai ‘alat’ dari negara asing untuk merusak Indonesia – hal yang sama terjadi pada Tiongkok saat dikalahkan oleh Inggris dalam Perang Candu (1839-1860).
Hal-hal yang disebut oleh Panglima TNI tersebut merupakan bentuk ancaman yang bisa mengintervensi Indonesia dan mempengaruhi situasi politik di Indonesia.
Ancaman Keamanan dan Konflik Kontemporer
Perubahan konstelasi politik global mau tidak mau mempengaruhi Indonesia. Namun demikian, jangan sampai hal tersebut memecah belah negara ini. Seperti kata Panglima TNI, jika negara ini terpecah belah dan masyarakatnya berjuang sendiri-sendiri, maka nasib kita akan seperti pada jaman perang-perang kedaerahan yang terjadi selama kurang lebih 300 tahun, namun tidak mampu mengusir penjajah dari negara ini.
Saat bangsa ini disatukan oleh Sumpah Pemuda negara ini kemudian bisa mengusir penjajah. Saat ini negara kita juga sedang menghadapi ancaman yang sama. Ada pihak-pihak asing yang ingin memecah belah negara dengan memanfaatkan momen-momen demonstrasi dan kerusuhan.
Kita harusnya belajar dari sejarah saat konflik terjadi di negara ini sebagai akibat intervensi pihak-pihak asing. Oleh karena itu, intervensi asing yang diungkapkan oleh Panglima TNI harus ditanggapi dengan lebih serius. Perubahan konstelasi politik global harus dimaknai secara bijak. Jangan sampai kita mudah dipecah belah oleh bangsa lain. (S13)