HomeNalar PolitikInternal Golkar Tolak Airlangga Nyapres?

Internal Golkar Tolak Airlangga Nyapres?

Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menegaskan siap pasang badan untuk Airlangga Hartarto agar menjadi capres Golkar di Pilpres 2024. Apakah itu sinyal ada internal Golkar yang tidak ingin Airlangga maju sebagai capres? 


PinterPolitik.com

Ada gestur politik menarik yang terlihat dari berbagai partai menjelang Pilpres 2024. Setelah sebelumnya dua gelaran pilpres hanya diisi oleh dua poros, di 2024 nanti berbagai partai sepertinya ingin mendorong tiga poros. Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, misalnya, berharap terbentuk tiga poros agar muncul tiga pasangan capres dan cawapres.

“Sekarang misalnya Gerindra dan PDIP terus membina, membangun komunikasi yang intensif. Ya yang lain-lain menunggu saja. Tetapi kalau bagi PPP, sebisa mungkin koalisi itu nanti tidak terbagi hanya dua, tetapi lebih dari dua,” ungkapnya pada 30 November 2021.

Dorongan serupa juga diungkapkan oleh Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al-Jufri pada 31 Desember 2021. Menurutnya, tiga poros adalah cara paling efektif untuk menghentikan pembelahan politik ekstrem seperti yang terlihat di Pilpres 2019.

Bak gayung bersambut, sejak awal 2021 Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto terlihat melakukan safari politik ke berbagai partai seperti Nasdem, PPP, dan Gerindra. Saat itu, berbagai pihak melihatnya sebagai indikasi akan terbentuk tiga poros di 2024. 

Pada 1 Juni 2021, Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam juga menyebut ada tiga poros yang berpeluang maju di 2024, yakni PDIP dengan Gerindra, PKS dengan Demokrat, dan Golkar dengan Nasdem.

Jauh sebelumnya, indikasi akan terbentuk tiga poros sebenarnya sudah tercium sejak akhir 2019. Sebagaimana ditegaskan oleh berbagai petinggi partai beringin akhir-akhir ini, Munas Golkar yang digelar pada Desember 2019 telah menegaskan bahwa Airlangga adalah capres Golkar di 2024. Dengan demikian, mudah menyimpulkan bahwa safari Airlangga sejak awal 2021, yang mungkin juga telah lebih awal, adalah bentuk penjajakan koalisi untuk mendorongnya maju. 

Namun, seperti yang diwanti-wanti PinterPolitik dalam artikel berjudul Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024? pada 5 Maret 2021, manuver Airlangga yang mudah tercium ini rentan untuk disabotase.

Sabotase Internal?

Sedikit mengulang, safari politik Airlangga sejak Maret 2021 merupakan pengejawantahan atas strategi menyerang Sun Tzu. Dalam buku The Art of War, Sun Tzu menulis, “Orang yang mau mengalahkan musuh harus mengambil peranan inisiatif dan aktif menyerang (offensive) terlebih dahulu.” 

Pasukan yang tiba lebih dahulu di medan perang memang memiliki keunggulan dalam hal semangat tempur yang tinggi. Ini terlihat dari semangat safari dan tebaran baliho Airlangga. Namun, dalam nasihat selanjutnya, Sun Tzu menyebut semangat itu dapat disiasati dan berpotensi menjadi celah untuk mendapatkan serangan.

Baca juga :  Bahlil "Dimasak", Prabowo's Mind Games?

Alasannya sederhana. Jika lebih dahulu berada di medan perang dan tidak menyiapkan dengan matang persiapan pertempuran, seperti jebakan dan siasat penyerangan, musuh akan melakukan spionase dan sabotase untuk melemahkan daya tempur.

Saat ini, nasihat pada 5 Maret 2021 itu tampaknya terbukti. Pada Desember 2021, Airlangga diserang isu perselingkuhan yang sampai menciptakan gejolak di internal Golkar. Kader Partai Golkar di Papua, Paskalis Kossay, bahkan sampai meminta Airlangga meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum alias mundur.  

“Keberadaan partai harus diselamatkan, dijauhkan dari dari lingkaran skandal selingkuh Ketua Umum. Cara menghindarinya adalah AH (Airlangga Hartarto) harus meletakan jabatan Ketua Umum. Dilakukan secara gentlemen demi menyelamatkan kepentingan partai,” ungkapnya pada 31 Desember 2021.

Selepas gempuran isu tersebut, nama Airlangga tidak lagi muncul seintens sebelumnya di pemberitaan media. Barulah pada Februari 2022, namanya kembali deras muncul dan mempertegas dukungan Golkar terhadap pencalonan dirinya.

Yang paling menarik adalah, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sampai keluar memberi penegasan bahwa dirinya siap pasang badan untuk Airlangga. “Saya akan pasang badan, jika ada internal yang mengganggu pencalonan Airlangga sebagai capres Golkar,” ungkapnya pada 13 Februari.

Penggunaan diksi “internal” dari ARB tampaknya memberi sinyal bahwa terdapat internal Golkar yang tidak setuju dengan pencalonan Airlangga dan berusaha melakukan sabotase. Ini juga terlihat dipertegas melalui pernyataan ARB selanjutnya, “Apabila ada isu-isu yang coba-coba dikembangkan, baik itu di kalangan internal dan eksternal, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, saya katakan orang itu akan berhadapan dengan saya. Saya yakin saya masih berpengaruh.”

Penggunaan diksi “ada isu-isu yang coba-coba dikembangkan” tampaknya merujuk pada isu perselingkuhan pada Desember 2021. Sekalipun bukan itu, mungkin terdapat isu lain, ataupun potensi isu di masa depan yang akan digunakan untuk menjatuhkan Airlangga. 

Penciuman serupa juga diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan terdapat internal Golkar yang tidak setuju dengan pencalonan Airlangga. “Alasannya bisa beragam, namun yang paling mungkin adalah ada yang tak suka dengan Airlangga,” ungkapnya. 

Selain itu, dengan elektabilitas yang buncit, kelompok yang tidak ingin Airlangga maju sekiranya memiliki landasan kuat. Sederhananya, mereka tidak ingin berperang di pertarungan yang kemungkinan menangnya kecil. Seperti yang diwanti-wanti Sun Tzu, jangan lakukan perang jika tidak yakin atas kemenangan.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Menuju 3 Poros?

Setelah mendapatkan sabotase, yang kemungkinan dari internal Golkar sendiri, tampaknya sekarang Airlangga telah maju kembali. Dengan munculnya ARB memberi dukungan, itu adalah pesan yang bermakna dua hal. Pertama, Airlangga berhasil menghimpun dukungan sosok berpengaruh. Kedua, Airlangga telah berhasil meredam gejolak internal.  

Jika tren dukungan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin, tiga poros seperti yang disebutkan Arman Salam akan terwujud. Namun, jika membaca gestur-gestur terkini, komposisi yang dibayangkan Arman Salam mungkin sedikit berbeda.

Terkait PDIP-Gerindra, ini adalah poros yang paling mungkin saat ini. Prabowo Subianto sendiri telah melakukan berbagai gestur pendekatan, seperti membangun patung Presiden Sukarno di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). 

Sementara dua poros sisanya terlihat masih mengambang atau sangat cair. Golkar sendiri bahkan menunjukkan niatan untuk bergabung dengan Koalisi Poros Partai Islam. Niatan itu memberikan pesan bahwa Golkar sangat terbuka terhadap partai koalisi. 

Dengan kata lain, pendekatan terhadap Nasdem tampaknya menemui kebuntuan sejauh ini. Kesimpulan ini semakin dipertegas oleh pernyataan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Lodewijk F. Paulus yang menyebut Golkar akan mendekati partai yang suaranya tidak besar.

Strategi Golkar tersebut adalah apa yang disebut oleh ekonom Amerika Serikat (AS) Neil W. Chamberlain sebagai bargaining power (kekuatan daya tawar). Dengan fakta Golkar mendapatkan 17.229.789 suara (terbesar ketiga di Pemilu 2019), serta memiliki kekuatan kapital yang mumpuni, itu merupakan bargaining power untuk membuat partai tengah dan/atau partai kecil menerima syarat Airlangga sebagai capres. 

Nasdem yang mendapatkan 12.661.792 suara (terbesar kelima di Pemilu 2019), memiliki kekuatan kapital, dan memiliki track record mendukung sosok potensial, sekiranya sulit takluk terhadap bargaining power Golkar. Seperti yang disebutkan Neil W. Chamberlain, bargaining power bisa dihitung karena dapat dikonversi secara matematis.

Sebagai penutup, dapat dikatakan narasi tiga poros seayun dengan ambisi Airlangga untuk maju di Pilpres 2024. Poros ketiga ini juga tampaknya sebagai strategi untuk mencegah PDIP sebagai pemenang untuk ketiga kalinya. 

Pasalnya, sedari awal berbagai elite PDIP seperti Hasto Kristiyanto menginginkan agar Pilpres 2024 diikuti oleh dua poros. Sedikit berspekulasi, PDIP tampaknya bertolak dari Pilpres 2014 dan 2019, di mana mereka menjadi pemenang ketika hanya ada dua poros yang mengikuti kompetisi. 

Well, kita lihat saja kelanjutan narasi tiga poros ini. Hanya waktu yang dapat menjawab, apakah Airlangga menjadi capres nantinya. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...