Site icon PinterPolitik.com

Intelijen, Prabowo Tembak “Peluru” Jokowi

Intelijen, Prabowo Tembak “Peluru” Jokowi

Kepala BIN, Budi Gunawan adalah mantan ajudan Megawati Soekarnoputri. (Foto: istimewa)

Prabowo menggarisbawahi peran intelijen yang menurutnya tidak menjalankan fungsi yang seharusnya digunakan untuk menghadapi musuh-musuh negara. Malah, kerja-kerja intelijen itu dipakai untuk “ngintelin” mantan Presiden, mantan Ketua MPR, anak proklamator, dan lain sebagainya – predikat tokoh-tokoh yang kini ada di barisan koalisinya. Faktanya, peran intelijen sangat vital dalam kontestasi elektoral, bahkan telah menjadi strategi “pertempuran” yang digunakan sejak 2000 tahun lalu.


PinterPolitik.com

“If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles”.

:: Sun Tzu (544-496 SM) ::

[dropcap]P[/dropcap]eran kerja-kerja intelijen – misalnya memata-matai (espionage) dan lain sebagainya – memang punya pertalian panjang dalam sejarah manusia. Julius Caesar di Kekaisaran Romawi adalah mastermind atau pemimpin yang sangat handal dalam memanfaatkan operasi intelijen.

Di Tiongkok kuno, ada Sun Tzu, seorang jenderal militer yang pemikiran-pemikirannya tentang strategi perang dengan menggunakan konsep intelijen masih dipakai hingga saat ini – setidaknya seperti yang tergambar dalam kutipan kata-katanya tentang “mengetahui musuh”.

Konteks kritik Prabowo ini bisa dianggap sebagai serangan langsung yang sayangnya baru saat ini ia gunakan. Share on X

Sementara di Jepang, kisah tentang para ninja dianggap sebagai perwujudan praktik intelijen paling keren yang pernah ada. Mungkin itu alasan mengapa serial Naruto lebih menarik bagi kaum muda zaman ini, ketimbang membaca detail aksi spionase agen CIA dalam novel-novel Tom Clancy. Sorry, Tom!

Yang jelas, operasi intelijen masih menjadi warna utama perdebatan tentang isu keamanan hingga saat ini. Lalu, bagaimana jika kerja intelijen itu berkaitan dengan kontestasi elektoral?

Mungkin, hal itulah yang menjadi intisari dari salah satu bagian Pidato Kebangsaan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sehari yang lalu yang masih menjadi topik bahasan hingga saat detik ini.

Dalam pidato dengan durasi 1 jam 23 menit tersebut sang jenderal memang memaparkan gagasan-gagasannya tentang persoalan kebangsaan yang menurutnya penting untuk diselesaikan, serta memberikan kritikan keras terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menurutnya belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Namun, ada satu bagian pidato tersebut yang cukup menarik, yaitu ketika Prabowo berbicara tentang intelijen. Berawal dari kritiknya terhadap peran lembaga penegak hukum yang harus unggul, bersih dan jujur, Prabowo sampai pada bagian ketika ia secara spesifik berbicara tentang peran intelijen yang seharusnya menjadi alat negara untuk “ngintelin” atau melaksanakan fungsi-fungsinya terhadap musuh negara.

Menurut Prabowo, institusi intelijen saat ini malah digunakan terhadap mantan Presiden RI, mantan Ketua MPR RI, anaknya proklamator, mantan Panglima TNI dan ulama-ulama besar – predikat-predikat yang oleh beberapa pihak disebut lekat dengan beberapa tokoh di koalisinya.

Sekalipun tidak menunjuk langsung secara spesifik apa yang ia maksudkan dalam pernyataan tersebut, namun publik sangat bisa menyimpulkan bahwa Prabowo sedang melancarkan serangan politik kepada lembaga intelijen.

Namun, sulit untuk membayangkan bahwa serangan tersebut diarahkan kepada Badan Intelijen Strategis (BAIS) milik TNI. Artinya, sangat mungkin kritik ini diarahkan kepada institusi intelijen yang lain, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN).

Apalagi, lembaga tersebut saat ini dikepalai oleh Budi Gunawan (BG) yang merupakan sosok yang cukup dekat dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Dua entitas politik tersebut kini menjadi pendukung utama Presiden Jokowi, lawan politik Prabowo.

Dengan kata lain, ada serangan langsung yang diarahkan oleh Prabowo secara spesifik kepada lembaga yang punya pertalian terhadap kubu lawan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah serangan ini efektif?

Serangan Langsung Prabowo

Pada Oktober 2018 lalu, publik dikejutkan oleh pernyataan pengamat politik – yang belakangan sering wara-wiri di stasiun TV – Rocky Gerung, terkait sumber kekuatan politik PDIP.

Kala itu, pendiri SETARA Institute ini menyebut sumber kekuatan PDIP yang kini jadi partai utama lawan Prabowo bukanlah terletak pada sosok Soekarno dan gagasannya, bukan pula pada diri sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri. Menurut Rocky, kekuatan politik PDIP ada pada hubungannya dengan BIN.

Pernyataan yang berani itu kini digaungkan lagi oleh Prabowo. Sang jenderal kembali mengetengahkan konteks isu politisasi lembaga negara yang nyatanya memang seringkali terjadi di banyak negara demokrasi.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, belakangan muncul persepsi publik terkait keberpihakan lembaga-lembaga negara dan penegakan hukum terhadap partai tertentu.

Sebuah tulisan di Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Presiden Donald Trump yang didukung oleh Partai Republik, publik AS cenderung melihat lembaga macam Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan militer sebagai “institusinya” Partai Republik.

Sementara, FBI, CIA, Departemen Luar Negeri, serta polisi di kota-kota besar dianggap sebagai “institusinya” Partai Demokrat.

Hal ini juga diperkuat dengan investigasi-investigasi yang dilakukan FBI dan CIA terkait dugaan intervensi Pilpres AS tahun 2016 yang dilakukan oleh Rusia – yang tentu saja berpotensi mendelegitimasi kepemimpinan Trump. Konteks itulah yang membuat ada persepsi politik yang terbangun atas lembaga-lembaga yang seharusnya bebas dari kepentingan politik praktis tersebut.

Terkait hal tersebut, pernyataan Prabowo memang menggambarkan secara jelas bahwa sang jenderal mengritik posisi BIN dalam hubungannya dengan kepentingan politik elektoral.

Apalagi, BG sebagai Kepala BIN juga sebelumnya sempat digandang-gadang akan menjadi cawapres Jokowi yang diusulkan PDIP. Kedekatan BG dengan Mega dan PDIP dapat terjadi karena ia adalah mantan ajudan putri Soekarno itu saat menjabat sebagai Presiden RI antara tahun 2001-2004.

Konteks inilah yang membuat institusi intelijen yang kini dikepalainya disebut akan menjadi “alat tidak langsung” yang mendukung kemenangan Jokowi sebagai petahana sekaligus calon yang didukung oleh Mega dan PDIP.

Nuansa serangan politik langsung yang diarahkan oleh Prabowo juga sangat terasa sebab sang jenderal cukup lama membahas persoalan intelijen ini dan menyebut beberapa predikat atau jabatan yang posisinya terdampak kerja operasi tersebut.

Ia misalnya menyebut aksi intelijen digunakan terhadap mantan presiden, yang sangat mungkin merujuk pada Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, SBY adalah salah satu pihak yang cukup keras menyoroti peran intelijen itu dalam konteks elektoral seperti yang disampaikannya terkait Pilkada Serentak 2018.

Selain itu, ada mantan Ketua MPR – sangat mungkin merujuk pada Amien Rais – lalu ada anak proklamator – kemungkinan merujuk pada Rachmawati Soekarnoputri – dan beberapa predikat lain yang merujuk pada tokoh-tokoh yang ada dalam barisan koalisinya.

Konteks kritik Prabowo ini bisa dianggap sebagai serangan langsung yang sayangnya baru saat ini ia gunakan. Jika wacana politik ini ia bangun sejak beberapa bulan lalu, dampak politik elektoralnya tentu saja akan lebih besar terasa.

Hal itu sangat mungkin terjadi sebab institusi intelijen adalah salah satu penegak hukum yang punya hak untuk melakukan penyadapan. Bayangkan jika kewenangan itu digunakan untuk kepentingan politik tertentu dalam rangka mengetahui strategi lawan.

Artinya, serangan politik terkait keterlibatan operasi intelijen akan berdampak pada citra politik Jokowi di hadapan publik jika sudah digaungkan sejak jauh-jauh hari.

Intelijen Ada di Mana-mana

Terkait operasi intelijen dalam kontestasi elektoral, Scott Shane dalam tulisannya di The New York Times menggambarkan secara jelas bagaimana aksi-aksi tersebut mewarnai Pemilu di banyak negara, entah yang dilakukan oleh intelijen asing maupun intelijen dari dalam negeri. Tidak sedikit dari operasi-operasi tersebut mempengaruhi hasil akhir Pemilu.

Sebenarnya, jika Pemilu dianalogikan seperti sebuah pertempuran, maka kerja intelijen memang punya dampak yang sangat besar. Sun Tzu misalnya – seperti dikutip di awal tulisan – menyebutkan bahwa salah satu cara untuk memberi jaminan kemenangan dalam pertempuran adalah dengan mengetahui siapa musuh kita dan siapa diri kita. Jika hal itu sudah dilakukan, maka 100 pertempuran sekalipun tidak akan membuat gentar.

Cara untuk mengetahui musuh kita tentu saja adalah dengan menggunakan kerja-kerja intelijen. Artinya, Sun Tzu telah menempatkan konteks operasi intelijen ini sebagai bagian yang vital dalam sebuah pertempuran maupun pertarungan politik.

Persoalannya adalah apakah cara-cara tersebut bisa dibenarkan secara moral?

Pasalnya, Pemilu sebagai bagian dari demokrasi dan budaya meritokrasi – atau kesetaraan – sudah selayaknya menjunjung nilai-nilai sportivitas di dalamnya. Selain itu, Jokowi sebagai petahana dengan semua tools politik yang kini dimiliki tentu saja akan lebih unggul dibandingkan Prabowo.

Namun, politik sangat tergantung dari sudut pandang yang dipakai. Jika kandidat adalah penganut aliran Machiavellian yang membuang moral dari politik, maka semuanya sah-sah saja, Jenderal. (S13)

Exit mobile version