Perdebatan perihal sosok Ma’ruf Amin mengarah pada pemahaman inklusif-moderat pada dirinya. Label konservatif yang melakat selama ini dipertanyakan.
Pinterpolitik.com
“Indonesian government is closest to the model of a nonsecular, but friendly to democracy pattern of religious-state relations”
:: Alfred Stepan ::
[dropcap]S[/dropcap]udah banyak tulisan tentang Ma’ruf Amin yang dibuat. Kemunculannya sebagai calon orang nomor dua di republik ini menjadi buah bibir yang seakan tidak ada hentinya. Ma’ruf seolah ingin menegaskan bahwa dirinya belum habis di usia kepala tujuh, malah semakin menjadi-jadi.
Berbicara tentang Ma’ruf tentu saja akan menyinggung perihal keulamaan yang melekat pada dirinya. Ma’ruf dan gelar ulamanya adalah dua entitas yang sulit dipisahkan. Sulit membayangkan bicara tentang Ma’ruf tanpa menyebut predikat yang telah disandangnya puluhan tahun lalu itu, sekalipun ada sisi politis yang punya dimensi berbeda di belakangnya.
Sebagai ulama yang politis, Ma’ruf ibarat tengah menegaskan fenomena Islam politik yang kini nampak memenuhi ruang politik Indonesia. Ma’ruf adalah simbol dan manifestasi dari gerakan kelompok terbesar di negeri ini.
Merebaknya gerakan politik Islam menjadi perdebatan yang cukup panas. Di satu pihak, ada anggapan bahwa kelompok Islam ini memanfaatkan demokrasi dalam politik elektoral untuk masuk dalam kekuasaan. Sementara di pihak yang lain, gerakan kelompok Islam ini dianggap sebagai bagian dari ekses demokrasi yang membawa ke arah yang lebih moderat.
Dengan majunya Ma’ruf sebagai pendamping Joko Widodo (Jokowi), ada semacam kekhawatiran publik sebab selama ini kiprah sang kiai dianggap cenderung konservatif, baik saat menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau saat menjadi Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU).
Kiprahnya dalam membantu memberatkan kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait dengan penistaan agama pada Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah cermin yang tak pernah pudar dari ingatan publik. Dirinya saat itu berperan sebagai saksi pemberat Ahok, setelah sebelumnya mengeluarkan fatwa bahwa mantan gubernur DKI Jakarta itu telah menista agama dan ulama.
Kekhawatiran bahwa dirinya akan kembali berlaku konservatif jika menjabat sebagai wakil presiden di negeri ini adalah sebuah kewajaran. Sebab negara ini adalah negara sekuler yang tidak bersandar pada agama, meski mayoritas penduduknya beragama Islam, serta berstatsu sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia.
Atau, boleh jadi kekhawatiran publik tentang konservatisme Ma’ruf bisa saja hanya isapan jempol belaka. Sebab orang-orang sekitar yang mengusung dirinya sebagai cawapres Jokowi mayoritas berasal dari kalangan nasionalis dan pebisnis. Apalagi sosok Jokowi sendiri nampaknya tidak akan mudah terjebak dalam figur Ma’ruf.
Dengan demikian, menarik untuk menelusuri apakah sang kiai akan berpengaruh buruk dalam pengambilan kebijakan Jokowi atau malah sebaliknya, akan cenderung lebih melebur pada sikap yang lebih inklusif dan moderat?
Konservatifme Ma’ruf
Ma’ruf adalah Rais Aam NU, yang disebut memiliki 80 juta pengikut dan merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan di dunia. Selama ini NU dikenal sebagai wajah Islam moderat Indonesia.
Ma’ruf juga mengepalai MUI, sebuah badan pemerintah semi-resmi yang mengeluarkan fatwa untuk pemeluk agama Islam di Indonesia.
Kredensial Islam Ma’ruf tidak patut diragukan, apalagi ia adalah keturunan Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi, seorang ulama Islam terkemuka di Jawa Barat yang pernah menjadi imam di Masjid Al-Haram di Mekkah, Arab Saudi.
Saat ini, diskursus tentang demokrasi terlihat hanya menjadi status quo. Gagasan tentang inklusif- moderat pada akhirnya hanya dijadikan langkah pragmatis untuk meraih kekuasaan. Share on XDi NU, Ma’ruf dipandang sebagai figur konservatif dibandingkan dengan banyak ulama senior di organisasi yang dikenal karena inklusivitas mereka, pembelaan hak-hak minoritas dan promosi dialog antaragama.
Sementara di MUI, Ma’ruf adalah aktor kunci beberapa fatwa MUI yang mendorong meluasnya intoleransi, dan memberikan energi bagi pelanggaran hak-hak konstitusional minoritas oleh kelompok-kelompok intoleran dan vigilante.
Ma’ruf terlibat misalnya dalam fatwa tentang sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama pada tahun 2005, fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah pada tahun 2008, juga fatwa tentang muatan penistaan agama dan ulama terkait dengan ucapan Ahok pada 2016 lalu.
Beberapa keputusan MUI yang mendorong perluasan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan (vulnerable groups) seperti perempuan dan LGBT juga merupakan bagian dari persepsi publik yang melekat pada Ma’ruf. Selain itu, pandangan konservatisme Ma’ruf juga tercermin dari sikap MUI yang terkesan menghalangi pemajuan dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas, seperti penghayat kepercayaan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017.
Ketakutan ini salah satunya ditulis oleh Ibnu Nadzir dan Yoga Permana di portal New Mandala yang menyebutkan bahwa konservatisme Ma’ruf akan sangat mungkin mempengaruhi kebijakan-kebijakan Jokowi di periode kedua pemerintahannya, terutama dalam ranah agama.
Inklusif-Moderat, Berdamai Dengan Demokrasi
Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi membuat diksusi tentang pengaruh aktor-aktor Islam yang cenderung konservatif dalam politik Indonesia semakin menarik. Diskusi ini penting untuk mengurai bagaimana dan akan seperti apa Islam politik akan bermain peran dalam sistem demokrasi.
Dalam fenomena ini, inclusion-moderation thesis atau tesis inklusif-moderat sering digunakan untuk menjelaskannya. Argumen dasar tesis ini adalah ketika ada tokoh yang konservatif melihat institusi demokrasi sebagai peluang, dan karenanya ia akan berusaha untuk mengubah tujuan dan atau sikap dari radikal menjadi lebih moderat.
Inklusif-moderat bisa dikatakan sebagai sebuah pendekatan oleh kelompok-kelompok radikal yang berada di luar sistem yang mengurangi intensitas radikalnya dan mengikuti sistem melalui cara-cara demokratis.
Beberapa penulis menyebutkan jika kondisi inklusif-moderat ini lahir dari arus demokratisasi di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah.
Partai politik yang semula berada di luar sistem – misalnya seperti partai-partai Islam dan sosialis – mulai “berdamai” pada sistem yang berkuasa dan akhirnya memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk merebut kekuasaan. Namun, ketika telah mendapatkan kekuasaan, ada peluang partai atau tokoh-tokoh tersebut kembali ke idealisme awalnya.
Kondisi ini salah satunya terjadi di Turki. Sebagai negara dengan sistem sekularisme Islam, Turki telah memainkan inklusif-moderatnya sejak tahun 1990an. Penelitian Mehmet Gurses dari Florida Atlantic University pada tahun 2014 menyatakan bahwa pembangunan kelompok Islam di Turki cukup signifikan dan dalam tingkat tertentu, kelompok Islam ini bisa membagi kekuasaan dalam ranah demokrasi.
Munculnya Recep Tayyip Erdogan bersama AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) atau Partai Keadilan dan Pembangunan sejak 2001 adalah bentuk inklusif-moderat yang berhasil meraih kekuasaan. Semula Erdogan dan partainya menyuarakan nilai-nilai universal, dan pro terhadap Barat, termasuk mendorong agar Turki masuk dalam anggota Uni Eropa. Namun, sayangnya dalam beberapa tahun belakangan ini, Erdogan dicap cenderung otokratik bahkan otoriter.
Gurses juga menambahkan bahwa kendati Islam politik bisa sejajar dengan demokrasi di Turki, namun hal itu telah terfragmentasi karena didorong oleh kepentingan pragmatis alih-alih bersinergi dengan prinsip dasar dan nilai demokrasi. Kemudian, yang menjadi persoalan di Turki – dan negara Islam di Timur Tengah pada umunya – adalah gaya kepemimpinan yang otokratik, sehingga konsep inklusif-moderat hanya dijadikan sebagai cara pragmatis merebut kekuasaan.
Dilihat dari perpsektif populisme Islam, kondisi di Turki sebenarnya memiliki kesamaan dengan Indonesia. Terbukanya peluang gerakan Islam dalam politik elektoral semakin menegaskan diskurus tentang tesis inklusif moderat.
Indonesia, seperti yang disebut oleh Jeremy Menchik sebagai negara yang tidak 100 persen sekuler, mau tidak mau harus berkawan dengan ideologi Islam. Fakta bahwa penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam terbesar di dunia menjadikan kelompok ini sebagai pasar untuk persaingan kekuasaan.
Munculnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), kelompok 212 dan majunya Ma’ruf Amin sebagai cawapres menegaskan hal tersebut.
Sementara itu, munculnya Ma’ruf sebagai calon orang nomor dua di republik ini menimbulkan spekulasi apakah dirinya akan menerapkan inklusif-moderat atau malah melanggengkan ide konservatismenya dan mempengaruhi Jokowi dalam mengambil kebijakan negara.
Tidak Berpengaruh Untuk Kelompok Minoritas
Meskipun bisa dikatakan bahwa Ma’ruf tidak akan begitu mampu mempengaruhi Jokowi untuk mengambil kebijakan negara, namun ada sebuah kekhawatiran terhadap eksistensi kelompok minoritas di Indonesia.
Beberapa pihak menyebut inklusivitas Ma’ruf kemungkinan tidak berlaku untuk kelompok yang selama ini termarjinalkan tersebut. Ma’ruf tetap akan mempertahankan sikapnya yang eksklusif. Apalagi jika dilihat selama ini Jokowi juga tidak memiliki perhatian lebih terhadap kelompok minoritas.
"Pidato Politik" Ma'ruf Amin di PBNU tadi mungkin bisa menggambarkan seperti apa nanti beliau bekerja jika terpilih. Konservatif. Tak akan bisa mengimbangi keligatan Jokowi. Sengaja dipilih untuk "ditinggalkan"? Kita tengok…
— Hasan Aspahani (@jurubaca) August 9, 2018
Jeremy Menchik menyebut demokrasi dan Islam di Indonesia telah melahirkan apa yang disebutnya “Mensakralkan Indonesia”. Hal tersebut bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang cenderung berpihak pada kelompok mayoritas Islam.
Misalnya tentang Undang-Undang penistaan agama dan pornografi, diskriminasi terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah serta kelompok minoritas lainnya. Kondisi yang telah “disakralkan” tersebut akan menjadi tantangan bagi gagasan inklusif-moderat oleh kelompok Islam politik.
Saat ini, diskursus tentang demokrasi terlihat hanya menjadi status quo. Gagasan tentang inklusif- moderat pada akhirnya hanya dijadikan langkah pragmatis untuk meraih kekuasaan. Persoalannya adalah apakah Ma’ruf Amin benar-benar akan membawa Indonesia pada kondisi itu? Menarik untuk ditunggu. (A37)