Dengarkan Artikel Ini:
Hasil hitung cepat berbagai lembaga menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran unggul dalam Pilpres 2024. Keduanya jauh meninggalkan Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud. Kondisi ini menarik mengingat Anies misalnya, telah menggunakan model kampanye baru lewat program “Desak Anies” yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengupas tuntas program dan kebijakan yang akan dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Model kampanye ini cukup menarik di kalangan pemilih yang haus akan gagasan-gagasan baru dan inovatif. Lalu, mengapa Anies gagal meski telah menggunakan model kampanye yang menarik?
Pemilihan Presiden Indonesia 2024 memang menjadi salah satu gelaran kontestasi elektoral paling menarik. Selain karena panasnya saling serang sepanjang masa kampanye, Pilpres kali ini juga memberikan sajian model kampanye yang beragam dan kreatif.
Hasil hitung cepat atau “quick count” menunjukkan bahwa pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, unggul dengan perolehan suara di kisaran 57-58 persen. Pasangan ini berhasil mendapatkan dukungan yang signifikan dari mayoritas provinsi di Indonesia.
Kemudian, pasangan nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berada di posisi kedua dengan perolehan suara di kisaran 25 persen. Meski berada di posisi kedua, pasangan ini tetap menunjukkan performa yang kuat di beberapa provinsi, utamanya di Sumatra dan di DKI Jakarta.
Sementara itu, pasangan nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih sekitar 16 persen suara. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa hasil ini masih bersifat sementara. Proses penghitungan suara masih berlangsung dan hasil final akan ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah semua suara dihitung.
Pemilihan Presiden 2024 ini menunjukkan dinamika politik Indonesia yang beragam dan partisipasi publik yang tinggi. Setiap pasangan memiliki basis dukungan mereka sendiri dan telah berkontribusi pada diskusi politik yang sehat dan demokratis.
Anies Baswedan misalnya, mencoba menghadirkan model kampanye yang segar dan inovatif dengan memperkenalkan program “Desak Anies”. Program ini adalah safari Anies yang dilakukan dengan menghadirkan ruang-ruang diskusi publik di mana masyarakat bebas memberikan pertanyaan dan “mendesak” Anies untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Program kampanye ini banyak dipuji karena memungkinkan masyarakat langsung meminta pertanggungjawaban Anies atas kinerjanya maupun atas janji-janji kampanye yang ia utarakan.
Namun, meskipun program ini menarik perhatian publik, nyatanya kalau berkaca dari hasil hitung cepat yang ada, Anies masih gagal mendapatkan dukungan yang cukup untuk mengalahkan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden.
Pertanyaannya adalah mengapa demikian?
Demografi Pemilih dan Branding Yang Keliru?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan Anies dalam pemilihan presiden tersebut. Pertama, kegagalan dalam memetakan demografi pemilih. Program “Desak Anies” yang menjadi ujung tombak safati Anies, cenderung lebih diterima oleh kelompok pemilih dengan latar belakang pendidikan yang baik.
Masalahnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 60 persen pemilih di Indonesia hanya memiliki pendidikan maksimal SMP. Yess, maksimal lulusan SMP. Sementara hanya 6,8 persen memiliki pendidikan minimal sarjana. Ini tentu jadi hal patut dipertanyakan, mengingat Anies berfokus pada upaya merasionalisasi berbagai program dan kebijakan yang ia buat, yang nyatanya hanya akan menarik bagi 6,8 persen pemilih.
Ini yang membuat mengapa cara kampanye Prabowo Subianto misalnya, yang mengedepankan program sederhana seperti makan siang dan susu gratis, bisa lebih diterima pemilih karena lebih sederhana. Demikianpun dengan model kampanye “gemoy” yang lebih berfokus untuk mengubah citra Prabowo di hadapan masyarakat.
Kubu Prabowo memperhitungkan soalan 60 persen pemilih yang maksimal SMP itu dan mereka berhasil membuat strategi yang tepat sasaran. Hal inilah yang kurang dimiliki oleh kubu Anies.
Kemudian, alasan kedua kegagalan Anies adalah terkait stigma politik identitas. Masyarakat sudah merasa jenuh dengan isu identitas yang terus menerus muncul utamanya setelah Pilkada 2017. Isu politik identitas ini kemudian melekat pada Anies. Mantan Mendikbud itu misalnya dicap sebagai “Bapak Politik Identitas” dan lain sebagainya. Ia dituduh menggunakan isu agama sebagai alat kampanye politik.
Masalahnya, Anies terlihat memanfaatkan isu ini untuk mendapatkan perhatian masyarakat, dan terlihat tidak berusaha untuk melawan stigma itu. Ia ingin meraih top of mind awareness lewat isu ini karena setiap kali orang berbicara soal politik identitas, maka nama Anies akan mereka pergunjingkan. Ini PinterPolitik dapatkan informasinya langsung dari Anies dalam salah satu kesempatan berbincang dengan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Menurut Anies, isu identitas justru membuat namanya dipergunjingkan masyarakat, sehingga ia tak perlu susah-susah mencaari popularitas. Sayangnya, justru gara-gara isu ini, Anies jadi gagal.
Alasan ketiga terkait faktor yang membuat Anies gagal adalah karena Anies tidak memanfaatkan citra dirinya dengan baik. Anies terlalu serius dalam membangun citra politiknya. Bandingkan dengan Prabowo yang berhasil menarik perhatian pemilih milenial dan gen Z dengan gaya kampanye yang lebih modern dan luwes.
“Gemoy” Prabowo dan aksi joget-jogetnya mungkin dikritik karena dianggap minim substansi. Namun, gara-gara aksi-aksi ini, Prabowo jadi dilirik oleh milenial dan gen Z. Ini penting karena dua generasi ini mencakup 53 persen dari seluruh pemilih.
Cak Imin, Perubahan dan Jokowi
Faktor keempat yang membuat Anies gagal adalah Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Keberadaan Cak Imin sebagai cawapres justru melemahkan citra Anies. Dalam beberapa debat publik, Cak Imin terlihat kewalahan. Ia kerap mengucapkan kata-kata yang berujung jadi blunder.
Cak Imin juga dianggap tidak mampu menggaransi dukungan NU ke Anies. Di lumbung suara NU – misalnya di Jawa Timur – pasangan Prabowo-Gibran justru Berjaya. Ini menunjukkan bahwa Cak Imin tak mampu menjamin pemilih NU mengarahkan suaranya kepada Anies.
Faktor berikutnya adalah soal narasi “perubahan” yang sangat mungkin tidak disukai oleh masyarakat. Pasalnya, masyarakat merasakan manfaat dari program kesejahteraan dan pembangunan era Jokowi, sehingga mereka cenderung tidak menyukai ide “mengubah” yang ditawarkan oleh Anies.
Apalagi, di tingkat masyarakat dengan pendidikan yang rendah, kata “berubah” akan dimaknai secara berbeda. Mereka tak melihat apakah perubahan yang ditawarkan Anies berkaitan dengan hal-hal yang negatif saja, ataukah juga termasuk yang sudah positif. Ini yang membuat narasi perubahan menjadi multiinterpretatif.
Terakhir, faktor Jokowi. Approval rating Jokowi masih sangat tinggi, hampir mencapai 80 persen. Melawan narasi pembangunan Jokowi akan terlihat seperti upaya “bunuh diri” bagi Anies.
Faktor-faktor ini setidaknya menjadi argumentasi utama mengapa Anies kalah. Memang terdapat faktor-faktor lain yang juga bisa mempengaruhi. Misalnya, jika tuduhan kecurangan Pemilu terbukti ada, maka hal itu bisa juga menjadi sebab lain.
Hanya saja, isu kecurangan Pemilu masih perlu dibuktikan, dan dengan demikian kita hanya bisa berfokus pada beberapa sebab yang telah disebutkan di atas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)