HomeNalar PolitikInikah Penentu ‘Takdir’ Puan 2024?

Inikah Penentu ‘Takdir’ Puan 2024?

Menyusul proyeksi Puan Maharani sebagai kandidat di Pilpres 2024, baliho bergambar Ketua DPR-RI itu marak terlihat di sejumlah wilayah di Jawa Timur dan diprediksi akan bertebaran pula di wilayah lain. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari politik baliho Puan ini?


PinterPolitik.com

Baliho bergambar Ketua DPR-RI yang juga putri mahkota PDIP, Puan Maharani, mulai bertebaran. Momentumnya bersamaan dengan sejumlah isu mengenai Puan yang terus didorong untuk dapat menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 – plus nama Ganjar Pranowo yang seolah semakin meredup.

Dalam satu pekan belakangan, baliho berukuran besar terpasang di sejumlah tempat di Jawa Timur, termasuk Surabaya. Tak ketinggalan, baliho dengan desain cukup elegan itu dilengkapi dengan quote dari sang kakek Puan dan mantan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, yakni, “barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam”.

Sejumlah pengamat menyebut bahwa munculnya baliho itu merupakan tanda dukungan dari masyarakat bagi Puan di Pilpres 2024. Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PDIP Utut Adianto menyebut eksistensi baliho itu merupakan inisiatif kader di daerah.

Namun, analis komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, mengatakan bahwa baliho Puan dapat menjadi semacam tes ombak dari internal atau tim di balik penyokongan Puan Maharani.

Baca Juga: Ganjar Dibuat Merinding Puan?

Hal itu untuk melihat respons warga Jawa Timur dan wilayah lain yang kemungkinan akan diramaikan dengan baliho serupa. Ihwal yang kemudian disebut Ritonga akan dijadikan tolok ukur pencalonan Puan Maharani di Pilpres 2024.s

Dengan desain apik dan intensi yang cukup serius, agaknya memang cukup sulit jika mengatakan baliho dukungan bagi “Mbak Puan” datang begitu saja secara langsung dari masyarakat. Artinya, kemungkinan besar baliho Puan dapat saja dikatakan dipantik oleh tim penyokong di belakangnya secara sistemis.

Lantas, mengapa politik baliho ala Puan ini dilakukan? Apakah kemungkinan strategi ini akan efektif untuk menarik simpati bagi Puan dalam upayanya masuk dalam kalkulasi persaingan di Pilpres 2024?

Politik Baliho Puan Percuma?

Tak hanya bersamaan dengan narasi sokongan bagi Puan di Pilpres 2024, kemunculan baliho dukungan itu juga beriringan dengan manuvernya dalam sejumlah kesempatan teranyar. Ya, dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai Ketua DPR-RI dan petinggi PDIP, Puan belakangan rajin melakukan safari politik ke daerah, mulai dari Semarang, Solo, hingga Manado.

Intensi politik baliho sendiri dapat diidentifikasi dari teori fungsional dalam komunikasi nonverbal yang dikemukakan oleh Miles Patterson dalam bukunya yang berjudul Nonverbal Behavior: A Functional Perspective.

Komunikasi nonverbal memiliki beberapa fungsi, yaitu memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan memfasilitasi tujuan.

Politik baliho sendiri memenuhi kriteria fungsi-fungsi yang sesuai esensi teori fungsional Patterson. Pertama, memberikan informasi awal kepada khalayak mengenai sosok kandidat tertentu.

Kedua, mengekspresikan keintiman, dimana selain representasi eksistensi tak langsungnya, baliho dengan slogan – slogan politis yang mengungkapkan pandangan politik ditujukan untuk menyelaraskan langkah dengan pandangan politik masyarakat. Ketiga, ialah sebagai setting interaksi, serta medium kontrol sosial lebih lanjut.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Akan tetapi jika ditelaah secara praktis, penerimaan positif terhadap politik baliho di Indonesia sendiri tampaknya tidak terlalu signifikan. Teori fungsional Patterson di balik politik baliho pada praktiknya akan berbenturan dengan teori obstinate audience atau audiens keras kepala, yang mengatakan bahwa publik atau audiens sama sekali tidak pasif, melainkan sangat aktif dalam menentukan sikapnya.

Dalam ranah kampanye politik, maupun diskursus politik baliho, kembali lagi sikap dan tanggapan khalayak atas keberadaan baliho sangat beragam. Di luar variabel baliho, terdapat data statistik yang menyatakan sebanyak 58,33% calon pemilih akan memilih kandidat yang sudah terbukti memiliki pengalaman atau prestasi, yang tentunya membuktikan bahwa kandidat tersebut memiliki kapabilitas.

Baca Juga: Mega Sayang Puan atau Prananda?

Oleh karenanya, jika hanya mengandalkan kampanye baliho, sokongan dari pihak manapun itu, tak terkecuali yang berasal dari tim internal untuk mempromosikan Puan, masih jauh dari kata cukup.

Kendati demikian, tendensi upaya politik baliho itu pada sisi berbeda menguak satu kecenderungan lain. Tak lain ialah mengenai ambisi untuk terus menjadikan Puan relevan dalam persaingan nama calon di Pilpres 2024.

Munculnya formula “teh botol Sosro” dari Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDIP, Bambang Wuryanto, untuk menempatkan Puan sebagai Cawapres memang tampak cukup realistis. Akan tetapi, PDIP yang notabene memiliki keunggulan suara bekal pemilu 2019 sesungguhnya punya daya tawar lebih dari itu.

Hal ini berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, yang menyebut bahwa kunci ragam koalisi yang terbentuk akan sangat tergantung pada PDIP sebagai pemilik tiket Capres tanpa koalisi.

Namun sementara ini, dengan berkaca faktor elektabilitas dan impresi publik secara umum terhadap Puan, rumus dari Bambang Wuryanto ialah yang paling masuk akal dan agaknya narasi itu harus terus dimaksimalkan oleh tim dibalik penyokong Puan.

Lalu, strategi apakah yang mungkin menjadi jalan terbaik bagi Puan untuk dapat bersaing sebagai kandidat potensial, baik sebagai Capres maupun Cawapres, di 2024?

Wajib Segera Tiru Jokowi?

Dengan minimnya signifikansi kampanye politik baliho, alternatif promosi bagi sosok Puan kiranya harus segera diupayakan pihak manapun yang ingin mengusungnya.

Konsep smart campaign dari publikasi Sadie Dingfelder yang berjudul The Science of Political Advertising agaknya dapat menjadi strategi yang jitu untuk dikedepankan. Mengacu pada konsep tersebut, promosi kandidat di era kontestasi elektoral modern sesungguhnya dapat memaksimalkan usaha-usaha yang lebih cermat, khususnya dari tim digital, atau bahkan peran pihak ketiga, yakni konsultan politik yang memiliki intuisi lebih tajam untuk membantunya menjaring simpati dan dukungan.

Utamanya dalam memaksimalkan data karakteristik audiens yang sangat beragam, mengolahnya, dan menerjemahkannya ke dalam kampanye yang efektif dan efisien.

Dalam konsep smart campaign, tidak hanya literatur psikologi dan ilmu politik dasar yang menjadi pijakan langkah kampanye. Algoritme spesifik mengenai target dan pesan apa yang tepat bagi masing-masing calon pemilih, atau yang dikenal dengan istilah “microtargeting” juga menjadi taktik yang disebut cukup positif di era saat ini.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Algoritme itu juga dapat diatur dan dimaksimalkan untuk mempengaruhi khalayak, terutama ketika sang kandidat tengah berjuang dengan popularitasnya.

Secara praktik, smart campaign atau memaksimalkan data dalam kampanye sendiri telah dilakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy pada 1960-an. Manajer kampanyenya, Robert Kennedy, dikabarkan memperkerjakan salah satu perusahaan analisis data pertama, bernama Simulmatics Corporation.

Mereka menggunakan kelompok fokus dan survei pemilih, yang bertujuan menghilangkan bias yang mendasari publik AS saat diskursus mengemuka tentang pertimbangan eksistensi presiden berlatar belakang Katolik pertama sepanjang sejarah AS. Misi kampanye itu disebut sangat rahasia, di mana Kennedy membantah bahwa dia menggunakan jasa Simulmatics Corporation.

Baca Juga: Menakar Puan sebagai Capres Perempuan

Dalam How Political Campaigns Are Messing with Your Head, Sue Halpern juga membahas microtargeting dalam konsepsi smart campaign. Halpern mencontohkan bagaimana teknik itu diadaptasi dalam menyongsong Pilpres AS 2000 oleh Karl Rove, kepala strategi tim pemenangan George W. Bush.

Tim Bush menyurvei sampel besar pemilih untuk menilai keyakinan dan perilaku mereka terlebih dahulu, dengan melihat hal-hal karakteristik spesifik calon pemilihnya seperti kehadiran di gereja, langganan majalah, hingga keanggotaan organisasi.

Mereka kemudian menempatkan kemungkinan besar pemilih Bush ke dalam 30 kategori dan menyesuaikan pesan mereka masing-masing dengan tepat. Pendekatan ini memberi kampanye Bush cara untuk melengkapi media penyiaran tradisional dengan mempersempit pesan-pesan khusus ke konstituen tertentu, serta mengatur “adegan” berlainan untuk setiap kampanye.

Terdapat pula Cambridge Analytica sebagai konsultan politik Donald Trump di Pilpres AS 2016 lalu, yang mana menggunakan taktik algoritme psikografis yang diimplementasikan di dunia maya dan nyata dan berujung dengan kemenangan Trump saat itu.

Smart campaign juga nyatanya digunakan tim pemenangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 lalu. Yakni dengan mengerahkan empat “mesin” big data dalam kampanye, yang mana hal ini diungkapkan oleh salah satu ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf, Andi Widjajanto.

Dengan karakteristik serupa dengan Kennedy, Bush, dan Trump yang sedang “tertinggal” dari segi isu sebagai kandidat. Tak ketinggalan keberhasilan smart campaign yang digunakan Jokowi, tim pemenangan Puan juga mungkin bisa memaksimalkan konsepsi itu – daripada sekadar politik baliho – yang bisa saja dapat membalikkan situasi saat elektabilitas dan simpati terhadap Puan masih rendah saat ini.

Namun kembali lagi, apapun strategi promosinya, langkah nyata dan dirasakan kemanfaatannya oleh publik tentu masih menjadi faktor utama bagi daya tarik riil seorang kandidat di Pilpres 2024 mendatang, baik sebagai Capres maupun Cawapres. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Baca Juga: Rumus “Botol Sosro” Puan Realistis?

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?