Site icon PinterPolitik.com

Ini Rahasia Sandi Pilih PPP?

Sandiaga vs Everybody Mulai Diserang

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. (Foto: Istimewa)

Kepindahan Sandiaga Uno ke PPP disebut oleh elite Partai Gerindra sudah sangat jelas dan terarah. Akan tetapi, mengapa Sandi memilih PPP yang notabene bukan partai yang tergolong superior pasca Reformasi itu?


PinterPolitik.com

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno seolah menjadi komoditas pembicaraan panas pada pekan lalu setelah semakin santer dikabarkan meninggalkan Partai Gerindra untuk bergabung dengan PPP. 

Meskipun pernyataan terbaru Sandi menegaskan dirinya berkomitmen dan tunduk kepada Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto, sindiran politik dari elite partai lain sebelumnya seakan menjadi simbol “mengikhlaskan” mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu. 

Ya, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan kabar kepindahan Sandiaga Uno ke PPP mulai jelas dan terarah mendekati Pemilu 2024. 

Akan tetapi, Dasco meminta semua pihak menunggu hingga ada kabar resmi dari PPP. 

Pada hari Kamis, 29 Desember 2022 lalu, sosok Wakil Ketua DPR itu menyebut partainya belum menerima surat pengunduran diri dan nihil komunikasi apapun dari Sandi. 

Ditambah, Dasco mengatakan tak perlu harus berdiskusi dengan Sandi atau PPP mengenai kabar tersebut. 

Menariknya, tak lama berselang Dasco menyebut Sandi bukan menteri yang mewakili Partai Gerindra di Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Sandi kemudian seolah tak diakui. Dasco mengatakan hanya ada dua menteri dari Partai Gerindra, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) kala masih dijabat Edhy Prabowo. 

Masih dari Dasco, dirinya menyebut kabar kepindahan Sandi ke PPP sendiri didengarnya dari kolega fraksi partai berlambang kakbah itu di Parlemen. 

Ihwal itu kemudian tampaknya menyiratkan kemungkinan terdapat komunikasi di antara Sandi dan PPP sebelum kabar panas kepindahannya menyeruak. 

Pernyataan kesekian kali mengenai kesiapan pribadi Sandi menjadi calon presiden (capres) di 2024 seakan semakin memperjelas benang merah dan probabilitas komunikasi di antara keduanya. 

Di atas semua itu, relasi di antara PPP dan Sandi menjadi subjek menarik untuk ditelisik lebih dalam. 

Dengan ramalan bahwa PPP tak akan lolos parlemen di sejumlah survei pada 2024, pertanyaan menarik muncul ke permukaan, yakni mengapa PPP menjadi entitas politik yang “dipilih” Sandi? 

Kesamaan Dukungan Kiai? 

Walaupun terancam tak lolos ambang batas parlemen di 2024, reputasi PPP sebagai partai politik (parpol) Islam “warisan” Orde Baru (Orba) memang membuatnya tak bisa dipandang sebelah mata. 

Memiliki basis massa Islam melalui para kiai karismatik di belakangnya, PPP nyatanya konsisten masuk parlemen pasca reformasi. 

Selain faktor inspirasi kesetiaan mendiang KH Maimun Zubair (Mbah Moen), Pelaksana tugas (Plt) PPP Muhamad Mardiono tampaknya terus mempertahankan pengaruh dan aspirasi para kiai dan ulama melalui partai yang dipimpinnya. 

Pada September 2022 lalu, misalnya, sowan Mardiono ke Jawa Barat (Jabar) berbuah akuisisi dukungan dari para kiai dan ulama kepada PPP di 2024. 

Michael Maccoby dalam publikasinya yang berjudul Why People Follow the Leader: The Power of Transference, menyiratkan budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiai dan ulama panutannya dipengaruhi motivasi atas gambaran dan emosi yang kuat di alam bawah sadar mereka. 

Ihwal yang kemudian dapat bertransformasi menjadi dukungan elektoral bagi entitas politik tertentu, termasuk perspektif mengenai saluran aspirasi yang mereka anggap paling representatif. 

Tidak hanya itu, kelompok masyarakat yang menghormati para ulama dan kiai pun memiliki tendensi “kepatuhan politik” yang serupa dengan para santri. 

Menariknya, dalam konteks Sandi, dirinya memiliki irisan dengan core atau kekuatan PPP tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arwani Thomafi sempat mengatakan hal itu secara terbuka pada akhir Desember lalu. 

Relasi Sandi dengan para kiai dan ulama juga sebenarnya telah terjalin sejak Pilpres 2019 lalu kala berpasangan dengan Prabowo. 

Setelah Prabowo mendapat sentimen minor dari para kiai, ulama, dan kelompok Islam tertentu karena dianggap “berkhianat” ke kubu Jokowi, impresi negatif tampaknya tak dialami oleh Sandi. 

Serangkaian faktor itu yang kemungkinan disadari oleh Sandi sebagai advantage karier politiknya untuk tidak lagi sekadar berada di bawah bayang-bayang dan tampil lebih prominen. 

Pernyataan dejavu Sandi yang menyebut tunduk pada keputusan Prabowo setelah digosipkan bergabung dengan PPP agaknya hanya bersifat normatif untuk menghindari tensi terbuka di antara keduanya. 

Eksistensinya yang tak dianggap oleh Dasco sebagai menteri dari Partai Gerindra seolah telah menyiratkan bahwa Sandi sebenarnya telah mendapat lampu hijau untuk hengkang. 

Oleh karena itu, akan cukup menarik kiranya untuk menerka bagaimana prospek Sandi jika benar-benar bergabung dengan PPP? 

Sandi Jadi Ketum PPP? 

Bukan rahasia lagi bahwa berdirinya PPP tak dapat dilepaskan dari peran intelijen di era Orba. Inisiasi penyederhanaan parpol oleh Ali Moertopo kala itu membuat PPP menjadi wadah bagi entitas politik berhaluan Islam. 

Mengacu analisis anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi, sebuah operasi intelijen dalam ranah turbulensi parpol memang mungkin saja terjadi. 

Menurutnya, kubu yang ingin mengkudeta boleh jadi melakukan operasi penggalangan intelijen, yang meliputi tiga tahapan utama, yakni tahap infiltrasi, tahap intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi. 

Mengacu pada investigasi Tempo, dalam pendongkelan Suharso dari PPP, disebutkan bahwa Mardiono disokong oleh sebuah “konsolidasi bawah tanah” hingga puncaknya mendapat “restu” Presiden Jokowi. 

Meskipun telah dibantah oleh Mardiono, informasi yang telanjur beredar membuat interpretasi mengenai peran invisible hand kiranya menemui relevansi tertentu demi sebuah konsolidasi yang lebih besar. 

Di titik ini, bergabungnya Sandi ke PPP dapat dimaknai dua hal. Pertama, seperti yang telah diulas dalam artikel PinterPolitik Prabowo-Sandi Dijebak Operasi Intelijen?, yakni untuk “menggembosi” kekuatan dan logistik Partai Gerindra yang akan mengusung Prabowo sebagai capres plus memindahkan kekuatan dan logistik yang dimiliki Sandi ke gerbong politik mereka menyongsong 2024.

Kedua, dalam konteks kans dan posisi politik, Sandi sendiri disebut-sebut berpeluang menduduki kursi Ketum PPP. Bahkan, kabar itu telah muncul sejak Oktober 2020 silam.

Perihal itu yang kiranya membuat status Plt yang masih tersemat di jabatan Mardiono seolah memiliki makna tertentu bagi peluang kepindahan Sandi ke PPP.

Skenario berikutnya jika Sandi pindah dan menjadi Ketum PPP, bukan tidak mungkin akan meningkatkan peluangnya untuk dipinang, minimal sebagai cawapres di 2024.

Probabilitas itu tampaknya memang lebih logis bagi keleluasaan manuver dan prospek karier politik Sandi dibandingkan bertahan di Partai Gerindra.

Andai kepindahannya ke PPP terjadi persis seperti skenario di atas, Sandi agaknya mempraktikkan teori pilihan rasional (rational choice theory) dalam perjalanan politiknya.

Rafael Wittek dalam tulisannya yang berjudul Rational Choice Theory mengatakan teori pilihan rasional mengasumsikan individu dapat merumuskan keputusan rasional terkait dengan tujuan yang hendak dicapai. Ihwal yang disebut sebagai rational behavior.

Menurut Wittek, individu rasional memiliki tiga asumsi penting. Pertama, individu memiliki preferensi egois, atau mementingkan dirinya sendiri. Kedua, individu memaksimalkan utilitasnya. Ketiga, keputusan individu bertolak dari informasi yang lengkap.

Meskipun poin mengenai informasi yang lengkap bersifat sangat subjektif, keputusan riil Sandi untuk hengkang nantinya bisa jadi berlandaskan kalkulasi rasional seperti yang disebutkan Wittek.

Selain itu, di sisi PPP, jika Sandi bergabung dan katakanlah menjadi ketua umum, itu adalah poin yang sangat positif. Selain memiliki aktor politik prominen, PPP juga berpotensi mendapat “durian runtuh” efek ekor jas berkat popularitas dan elektabilitas Sandi.

Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi atas sejumlah variabel dan ruang terbuka mengenai geliat dinamika relasi Sandi, PPP, dan Partai Gerindra. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Exit mobile version