HomeHeadlineIni Rahasia Retorika Intelijen Jokowi-Prabowo? 

Ini Rahasia Retorika Intelijen Jokowi-Prabowo? 

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ditugaskan sebagai orkestrator intelijen pertahanan dan keamanan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain tampak menguak kelemahan intelijen yang secara konstitusi semestinya dikoordinir oleh Budi Gunawan dan Badan Intelijen Negara (BIN), mungkinkah ada kepentingan politis tertentu di baliknya? 


PinterPolitik.com 

Pada momen Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang berlangsung tengah pekan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya tidak ingin melewatkan pemberian instruksi spesifik, termasuk kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. 

Instruksi itu adalah mengenai perkara intelijen negara yang seolah menjadi satu fokus khusus kepala negara dalam rapat yang diselenggarakan secara tertutup di Medan Merdeka Barat itu. 

Para pimpinan lembaga terkait pun turut hadir dan seakan memang diminta Presiden Jokowi untuk benar-benar mencermati instruksinya. Mereka di antaranya Panglima TNI Laksamana Yudo Margono beserta tiga kepala staf angkatan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta sosok paling relate dalam konteks tersebut, yakni Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG). 

Menariknya, dalam Rapim, kepala negara mengungkapkan bahwa telah menugaskan Menhan Prabowo dan jajarannya untuk menjadi orkestrator bagi semua lini dan sumber informasi intelijen yang dimiliki negara, baik dalam bidang pertahanan dan keamanan. 

“Tadi di dalam saya menyampaikan pentingnya Kementerian Pertahanan menjadi orkestrator bagi informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki,” begitu spill Presiden  Jokowi kepada awak media. 

Eks Wali Kota Solo itu memaparkan, informasi intelijen selama ini berasal dari banyak institusi, antara lain BIN, TNI, Polri, serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

saatnya prabowo jadi james bond ed.

 

Menurutnya, itu harus dijadikan sebagai informasi yang solid oleh Menhan Prabowo dan jajarannya untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan. 

Selain itu, satu hal menarik bertendensi kritik turut diungkapkan Presiden Jokowi. 

“Jangan sudah kejadian saya baru dikasih tau,” ungkap Presiden Jokowi. Sebuah untaian frasa yang bukan tidak mungkin merujuk pada kondisi analisis dan laporan intelijen selama ini. 

Ihwal yang jika merujuk konstitusi, semestinya menjadi tupoksi BIN, lembaga yang dipimpin oleh BG. 

Lantas, mengapa Presiden Jokowi menaruh sorotan khusus pada sektor intelijen dan memandatkan peran krusial itu kepada Menhan Prabowo? 

Kritik Tak Langsung? 

Pasca instruksi Presiden Jokowi kepada Prabowo, satu pernyataan menarik dikeluarkan BG hari Jumat kemarin. Sosok yang juga mantan Wakapolri itu mengatakan BIN mendapat tinjauan intelijen dunia yang menggambarkan tahun 2023 ini akan menjadi tahun yang gelap dan penuh ketidakpastian. 

Menariknya, dalam Rapim Kemenhan, Prabowo juga sempat mengemukakan wanti-wanti ketidakpastian serupa. 

Ancaman resesi hingga inflasi yang berdampak pada banyak sektor, termasuk stabilitas sosial yang dikemukakan BG seolah tegak lurus dengan apa yang diungkapkan Prabowo dua hari sebelumnya. 

Atas pola komunikasi yang muncul ke permukaan itu, telaah interpretatif kiranya terbuka mengenai intisari yang menjadi landasan Presiden Jokowi menugaskan Prabowo sebagai orkestrator intelijen pertahanan dan keamanan. 

Bagaimanapun, pasca Reformasi, intelijen Indonesia secara praktik belum terkoordinir dengan baik di bawah BIN. Bahkan, secara kualitas kerap disebut tidak lebih baik dibandingkan lembaga telik sandi di era Orde Baru (Orba). Dua indikator yang ditinjau sendiri, yakni dari sektor perekrutan dan pendidikan. 

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Itu yang kemungkinan menjadi esensi mandat khusus Presiden Jokowi kepada Menhan Prabowo mengenai koordinir sektor intelijen. 

Di era Orde Baru, pola perekrutan intelijen dinilai jauh lebih baik. Prosesnya dilakukan secara diam-diam dengan menyebar agen ke berbagai institusi seperti sekolah dan kampus. 

Sementara saat ini, perekrutan intelijen justru semakin terbuka lewat tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). 

Ini yang kiranya patut dipertanyakan, yakni apakah metode perekrutan dengan menggunakan tes yang cenderung umum seperti itu dapat memberikan kualifikasi maksimal bagi seorang agen intelijen dan produk analisisnya? 

Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) yang juga anggota tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi menganalisis bahwa rekrutmen itu meninggalkan permasalahan karena lembaga telik sandi semestinya pola perekrutan seorang agen intelijen harus berbeda dengan rekrutmen kementerian maupun lembaga lainnya. 

Ini yang dinilai membuat peluang BIN justru tampak menyempit untuk mendapatkan talenta-talenta berkualitas dan memenuhi kelayakan untuk direkrut sebagai agen pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) maupun sebagai analis yang terampil dan cakap. 

Selain pola rekrutmen BIN yang saat ini relatif berbeda dengan di masa lalu (Orba), Fahmi menambahkan setidaknya ada dua hal lain yang mempengaruhi kualitas SDM dan produk intelijen BIN saat ini. 

Pertama, hadirnya Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang mengkhususkan diri mencetak SDM PNS terampil di bidang intelijen dengan model pendidikan berasrama selama kurang lebih empat tahun bagi para lulusan SMA yang lolos seleksi. 

Menurutnya, ini jelas mengurangi kesempatan BIN mendapatkan talenta andal dengan bekal keahlian dan keilmuan memadai dari berbagai bidang, yang sebelumnya banyak direkrut dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki reputasi. 

Kedua, adanya perubahan komposisi dalam tata kelola karier dan jabatan SDM di BIN.  

Fahmi mencontohkan, pada masa lalu beragam jabatan dan fungsi di lingkungan BIN diatur proporsional dengan persentase 80 persen adalah sipil. 

Dalam hal ini, mayoritas PNS organik atau internal lembaga telik sandi ditambah perbantuan dari kementerian/lembaga lain yang terkait seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan lain sebagainya sesuai kebutuhan. 

Kemudian sisanya 20 persen berasal dari TNI dan Polri yang sifatnya juga perbantuan untuk memenuhi kebutuhan struktural dan di bawah kendali operasi (BKO) untuk kebutuhan operasional seperti satuan tugas. 

Akan tetapi, pada saat ini persentasenya berubah. Menurut berbagai data yang dapat diakses secara terbuka (open source), saat ini komposisi BIN diisi oleh minimal 40 persen sipil, ditambah 40 persen TNI, dan 20 persen Polri yang sifatnya diperbantukan di lingkungan BIN dan sewaktu-waktu bisa ditarik oleh lembaga induknya. 

Menurut Fahmi, kondisi ini tentu saja kurang menguntungkan, baik bagi para personel yang sejak awal dengan sungguh-sungguh meniti kariernya di BIN, maupun bagi harapan untuk melihat lembaga ini sepenuhnya diisi oleh talenta-talenta dan sumber daya andal dan mumpuni di bidang intelijen. 

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Di titik ini, Presiden Jokowi kiranya menyadari hal itu dengan memberikan mandat khusus ke Menhan Prabowo dengan reputasi plus jejaring pertahanan dan keamanan yang kiranya dapat memperbaiki persoalan pangkal “jangan baru kejadian saya dikasih tau”, yakni sektor SDM. 

Namun, alasan substantif itu agaknya bukan menjadi faktor tunggal yang membuat Menhan Prabowo mendapatkan mandat sebagai orkestrator intelijen, utamanya jelang Pemilu 2024, mengapa demikian? 

Jauhkan BIN dari PDIP? 

Pada tahun 2018 lalu, analis politik Rocky Gerung sempat mengemukakan “rahasia umum” mengenai relasi BG, BIN, Megawati Soekarnoputri, dan PDIP. Rocky saat itu menyiratkan bahwa BIN seolah-olah seperti memiliki hubungan saling memengaruhi dengan partai berlogo banteng. 

Oleh karena itu, saat Menhan Prabowo seolah diberikan kewenangan untuk mengelola instrumen intelijen nasional lain, termasuk BIN, penafsiran mengemuka bahwa bisa saja Presiden Jokowi memiliki maksud tertentu yang memiliki kecenderungan politis. 

Mengapa bisa dikatakan seperti itu? 

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Optimisme Intelijen Berpihak Kepada Prabowo, dijelaskan sejumlah variabel saat BG seakan membesarkan hati Menhan Prabowo atas kode rambut putih Presiden Jokowi dalam diskursus soal pemimpin. 

Dengan postulat bahwa BIN selama ini dinilai dekat dengan PDIP serta berkaca pada partai banteng cepat atau lambat tak akan lagi dipimpin oleh Megawati, mandat Presiden Jokowi agaknya meninggalkan interpretasi menarik, yakni untuk mengunci perangkat intelijen. 

Itu tampaknya memang dibutuhkan Presiden Jokowi, dan dengan fakta bahwa Prabowo adalah sosok yang kini “bersahabat” dan cukup dihormati untuk mengkoordinir BIN dengan segala kekurangannya saat ini. 

Tak lain, probabilitas paling logis kiranya agar sang mantan Gubernur DKI Jakarta itu tetap “aman” setelah purna tugas kelak, terlebih jika Prabowo berhasil menjadi suksesornya. 

Pendiri dan CEO Truman National Security Project Rachel Kleinfeld dalam tulisannya di Carnegie Endowment for International Peace, menyebutkan bahwa politisasi institusi keamanan seolah bukan hal tabu yang bahkan terjadi di negara paling demokratis seperti Amerika Serikat (AS). 

Di bawah kekuasaan Trump yang didukung oleh Partai Republik, ada kecenderungan lembaga seperti Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan militer sebagai “institusinya” Partai Republik. 

Sementara, FBI, CIA, Departemen Luar Negeri, serta polisi di kota-kota besar dianggap sebagai “institusinya” Partai Demokrat. 

Hal ini juga diperkuat dengan investigasi-investigasi yang dilakukan FBI dan CIA terkait dugaan intervensi Pilpres AS tahun 2016 yang dilakukan oleh Rusia – yang tentu saja berpotensi mendelegitimasi kepemimpinan Trump. Tak terkecuali penyelidikan terakhir terhadap Trump pada Agustus 2020 lalu atas tudingan perkara spionase. 

Akan tetapi, sekali lagi, analisis di atas masih sebatas interpretasi semata. Diharapkan, perbaikan dan pelibatan lembaga intelijen semata-mata tetap dilakukan demi kepentingan nasional dan kepentingan bangsa. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?