Site icon PinterPolitik.com

Ini Rahasia Perang Bintang Bolong?

ismail bolong klarifikasi video setoran 6 miliar ke kabareskrim

Sosok Ismail Bolong menjadi sorotan setelah video pengakuannya terkait bisnis tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim), beredar luas. Dalam video itu, Ismail Bolong mengaku pernah menyetor uang tambang ilegal pada perwira tinggi Polri. (Foto: Wartakota via Istimewa)

Kemunculan video pengakuan Ismail Bolong ke publik terkait kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) yang diduga melibatkan Kabareskrim Komjen Pol. Agus Andrianto merujuk kepada dugaan adanya perang bintang di kepolisian. Lantas, benarkah ada perang bintang di kepolisian? Bagaimana motif di baliknya?


PinterPolitik.com

Istilah perang bintang di kepolisian sebenarnya telah ramai dibicarakan, terutama ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung fenomena itu saat nama Ismail Bolong mendadak menjadi sorotan publik.

Ismail Bolong menjadi perbincangan hangat publik lantaran dirinya mengaku sempat menyetor uang hingga Rp 6 miliar yang merupakan penghasilan dari kegiatan tambang ilegal kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Pol. Agus Andrianto.

Pengakuan Ismail diunggah melalui rekaman video dan disebarkan di sosial media. Dia juga mengaku telah menyerahkan uang itu kepada Agus sebanyak tiga kali sepanjang bulan September hingga November 2021 di mana masing-masing bernilai Rp 2 miliar.

Ismail melakukan penyerahan uang saat dirinya masih menyandang posisi sebagai anggota dari Polresta Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Saat ini, Ismail telah pensiun dari jabatannya di Polresta sejak tanggal 1 Juli 2022.

Lebih lanjut, ketika masih menjabat di Polresta, Ismail mengaku dirinya pernah mengepul batu bara ilegal di daerah Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Keuntungannya bahkan dapat mencapai Rp 5 hingga 10 miliar.

Selain itu, Ismail juga mengakui bahwa dirinya melakukan kegiatan tersebut tanpa sepengetahuan pemimpin, kecuali koordinasi dengan Kabareskrim melalui uang yang ia berikan.

Setelah sempat menarik pernyataan, dirinya menyatakan ditekan oleh Brigjen Pol. Hendra Kurniawan yang kala itu belum dinonaktifkan karena kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat — alias Brigadir J — ketika membuat video tersebut.

Video dibuat pada bulan Februari, namun baru diunggah pada 3 November lalu. Di samping itu, Brigjen Pol Hendra dinonaktifkan pada 20 Juli lalu bersamaan dengan Kapolres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) Kombes Pol. Budhi Herdi Susianto.

Berdasarkan dinamika yang ada, mengapa para jenderal Polri seakan saling membuka kartu truf? Benarkah ada perang bintang di kepolisian?

Prolog Perang Bintang

Institusi Polri tampaknya sedang diterpa oleh berbagai hantaman kasus yang membuat institusi itu semakin mendapat sentimen negatif oleh publik.

Kasus bermula dari kematian Brigadir J yang melibatkan lima tersangka antara lain Ferdy Sambo, Richard Eliezer alias Bharada E, Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuat Ma’ruf, dan Putri Candrawathi. Tampaknya pula, kasus semakin disorot oleh publik lantaran perjalanannya yang kerap dinilai seperti menonton drama Korea.

Kasus kematian Brigadir J kemudian bersinggungan dengan isu bisnis ilegal yang dinamakan dengan “konsorsium 303” yang mencakup perjudian, prostitusi, penyelundupan suku cadang palsu, solar subsidi, minuman keras, hingga tambang ilegal.

Kasus ini disebut-sebut turut menyeret nama-nama anggota Polri seperti Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Mohammad Fadil Imran, Kapolda Sumatera Utara (Sumut) Irjen Pol Ridwan Zulkarnain Panca Putra Simanjuntak atau RZ Panca Putra, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nico Afinta, Petinggi Densus 88 Brigjen Pol Herry Heryawan, dan nama-nama lainnya.

Kasus kematian Brigadir J kemudian memberi dampak domino — suatu peristiwa memicu peristiwa lainnya — hingga merujuk kepada kasus-kasus lainnya yang ada di kepolisian dan mengungkapkan siapa benalu-benalu di baliknya.

Misalnya saja, kasus kematian Brigadir J yang merembet ke kasus narkoba Irjen Teddy Minahasa di mana sebelumnya dia sempat mengungkapkan niatan untuk menjadi intensinya untuk menjadi ​​Kapolri alias jabatan tertinggi kepolisian.

Teddy sempat “spill” banyaknya oknum seperti Sambo di kepolisian via WhatsApp kepada salah satu kenalan dekatnya. Bahkan, dirinya pernah menyatakan kesiapannya untuk menyapu bersih oknum-oknum seperti Sambo.

Meskipun, sumber utama mengarah kepada eks Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara, Teddy disebut memiliki peran dalam mengendalikan pengedaran sabu. Pada akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkan Teddy sebagai tersangka hingga memutasi posisinya yang baru saja menjadi Kapolda Jatim menggantikan Irjen Pol. Nico Afinta selama empat hari.

Kasus pencopotan Nico Afinta juga menjadi catatan bagi kepolisian atas kasus Tragedi Kanjuruhan. Bertepatan dengan pencopotan Teddy yang baru empat hari menggantikan posisi Nico, Presiden Jokowi bahkan sampai memanggil para pejabat Polri ke Istana Negara untuk meminta Korps Bhayangkara segera berbenah diri

Kembali kepada kemunculan video pengakuan Ismail terkait kasus tambang ilegal yang diduga melibatkan Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto, bagaimana perkembangan selanjutnya dari kisah — yang disebut-disebut — perang bintang di kepolisian?

Jadi Plot Twist?

Sambo sempat mengaku pernah menandatangani surat hasil penyelidikan terhadap Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto terkait kasus dugaan gratifikasi tambang ilegal di Kaltim. Dirinya bahkan mengonfirmasi surat penyelidikan yang telah beredar di publik merupakan dokumen asli.

Saat ini, Bareskrim Polri dikabarkan akan memanggil Ismail Bolong untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Di samping itu, Agus selaku oknum yang dituduh bermain di tambang ilegal itu menepis kabar yang beredar.

Para pengamat telah menilai berbagai kemungkinan. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai kasus ini lebih kepada rivalitas sub grup atas dasar keakraban di internal Polri sehingga dirinya tidak meyakini Teddy terlibat dalam kasus narkoba.

Selain itu, Guru Besar Ilmu Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Muradi menilai barang bukti kasus narkoba sengaja dirancang agar dapat menangkap pengedar narkoba yang lebih besar agar dapat membangun citra polri sekaligus strategi eskalasi karir.

Lantas, Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menampik pendapat tersebut lantaran berpegang teguh kepada bukti yang ada. Dirinya juga menilai karir Teddy terbilang moncer sehingga tidak mungkin menjadi upaya untuk mengeskalasi karir.

Adapun sumber dari suatu investigasi mengatakan kemungkinan isu besar perang bintang muncul akibat adanya faksi lain yang mengincar jabatan Polri sehingga dirinya merasa harus menyingkirkan Teddy dan bisa jadi merupakan upaya untuk mempermalukan Kapolri Listyo, namun justru mendapat dukungan dari presiden.

Lantas, bagaimana ujung kelanjutan dari narasi perang bintang di kepolisian?

Demokrasi, Nyawa Kepercayaan Publik?

Sejauh ini, narasi yang beredar yakni akan ada perombakan besar-besaran pejabat level perwira tinggi atau Pati. Strategi perombakan agaknya menjadi opsi yang tepat untuk mewujudkan reformasi dan good governance di kepolisian sesuai dengan makna keberhasilan kepemimpinan yang diungkapkan oleh Hersey dan Blanchard dalam buku Managing By Communication yang ditulis oleh Michele Tolela Myers dan Gail E. Myers.

Keduanya menilai pemimpin yang berhasil merupakan tokoh yang memiliki kemampuan pribadi tertentu dan mampu membaca keadaan anak buah serta lingkungannya.

Selanjutnya, menurut T. Hani Handoko dalam bukunya yang berjudul Manajemen menyatakan pimpinan dapat melakukan berbagai tindakan alternatif seperti menggunakan kekuasaannya untuk menentukan siapa saja pihak yang harus dipertahankan, melakukan konfrontasi dan kompromi untuk menyatukan kepentingan bersama, “memperhalus” situasi, dan pengunduran diri.

Pada poin “memperhalus” situasi agaknya menjadi salah satu upaya yang setidaknya harus dilakukan oleh kepolisian agar dapat mempertahankan kepercayaan publik supaya tidak semakin merosot.

Kepercayaan publik itu sendiri akan berhubungan dengan kepercayaan akan demokrasi. Demokrasi dapat dianggap sebagai nyawa kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Hal itu sesuai berdasarkan makna kepercayaan dalam perspektif psikologi yang diungkapkan oleh Agus Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi dimana dirinya menilai kepercayaan lahir dari proses kognitif internal dari orang yang mempercayai dan dipercayai.

Makna itu jika dielaborasi lebih lanjut dapat memaknai bahwa terdapat dua point of view dalam menilai kepercayaan publik yakni kepercayaan publik kepada pemerintah dan sebaliknya. Keduanya perlu diwujudkan secara bersamaan agar institusi mampu mendengar keluhan masyarakat yang diperoleh dari kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat.

Timbal balik dari kepercayaan itu yaitu adanya kepercayaan publik terhadap pemerintah yang diperoleh juga dari keyakinan akan masih hidupnya nilai-nilai demokrasi.

Namun, kembali kepada makna konflik yang diungkapkan oleh Stephen P. Robbins dalam bukunya yang berjudul Organizational Behaviour, konflik ada karena adanya persamaan persepsi antara kedua belah pihak.

Sejalan dengan teori dramaturgi oleh Erving Goffman, fenomena politik yang ditampilkan bisa jadi merupakan kegiatan interaksi yang sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Dengan demikian, ending dari sebuah narasi perang bintang hanya dapat dijawab oleh Polri dan dilihat sebagai sebuah pertunjukan drama politik oleh masyarakat. (Z81)

Exit mobile version