Masuknya Omnibus Law Kesehatan sebagai regulasi prioritas DPR di 2023 menguak kembali tensi di antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebelumnya, IDI juga sempat berseteru dengan Menkes Terawan saat pandemi Covid-19. Lalu, mengapa konflik itu bisa terjadi?
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan yang ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 oleh DPR RI memantik tanggapan keras dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Menurut sumber dari Badan Legislasi (Baleg) DPR, RUU itu merupakan “titipan” Kementerian Kesehatan (Kesehatan). Itu sekaligus menjawab aksi-reaksi IDI yang secara aktif selalu ditanggapi oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
Menaungi setidaknya 14 regulasi seputar sistem kesehatan nasional, IDI sendiri berfokus pada gelagat menghialngkan peran organisasi profesi dalam Omnibus Law Kesehatan.
Pasca mendengar kabar RUU itu masuk Prolegnas 2023, Ketua Umum (Ketum) PB IDI Adib Khumaidi belakangan begitu tajam mengemukakan tanggapan kritisnya.
Penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP), pembentukan lembaga pendidikan kedokteran, izin dokter spesialis, hingga izin dokter asing menjadi beberapa poin yang menjadi concern IDI.
Secara umum, Menkes Budi merespons kekhawatiran IDI dengan menekankan perlu adanya penyederhanaan sejumlah poin di atas. Urgensinya, pandemi Covid-19 lalu membuat Kemenkes menyadari pentingnya meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Mengenai penarikan kewenangan berbagai izin poin di atas ke pemerintah, Menkes Budi secara tersirat mengatakan itu tak lain dilakukan demi efisiensi, efektivitas, dan mendorong kompetisi SDM kesehatan di tanah air.
Sementara itu, Adib mengendus adanya liberalisasi jasa kesehatan yang berpotensi menghilangkan hak warga negara sendiri. Bagi IDI, permasalahan mendasar tenaga kesehatan Indonesia seperti kesejahteraan semestinya lebih dahulu diperbaiki oleh pemerintah.
Adib dan IDI secara tegas menyoroti dua regulasi krusial berkaitan dengan organisasi profesi yang berpotensi dihilangkan, meski selama ini telah berjalan dengan baik. Dua regulasi itu, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Sebelumnya, Omnibus Law Kesehatan telah mendapat penolakan melalui unjuk rasa di depan gedung Parlemen pada 28 November 2022 lalu. Sejak momen tersebut, IDI seolah konsisten satu barisan bersama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Jika ditelusuri, intrik IDI dan pemerintah – khususnya Kemenkes – dalam diskursus Omnibus Law Kesehatan merupakan puncak tensi kedua lembaga itu dalam tujuh tahun terakhir.
Sebelumnya, program layanan dokter primer pada 2016, penujukan Terawan Agus Putranto sebagai Menkes (2019), hingga kisruh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi subjek “keributan”.
Lantas, mengapa perseteruan yang semestinya tak terjadi di antara IDI dan Kemenkes terus berkobar? Mungkinkah Omnibus Law Kesehatan menjadi senjata pamungkas pemerintah untuk meredam IDI?
Ditakdirkan Berseteru?
Secara konstitusi, IDI merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia.
Ihwal itulah yang membuat organisasi ini turut memainkan peran penting sebagai kelompok prioritas dalam pemberi referensi kebijakan pemerintah pada aspek kesehatan.
Theodore Marmor dan David Thomas dalam publikasinya Doctors, Politics and Pay Disputes: ‘Pressure Group Politics’ Revisited mengatakan organisasi ataupun asosiasi profesi kedokteran berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah mengenai berbagai elemen kebijakan terkait kesehatan di suatu negara.
Merujuk pada pernyataan Marmor dan Thomas di atas, serta fakta sebelumnya bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia, dapat dikatakan bahwa IDI tampak memang memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam konstruksi sistem kesehatan nasional, termasuk membentuk kebijakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal tersebut dapat tercermin melalui outcome kebijakan seputar profesi dokter serta tenaga kesehatan, obat dan farmasi, hingga fasilitas kesehatan.
Sebagai kelompok penekan, IDI memenuhi syarat mutlak mumpuni ketika harus dihadapkan pada kebijakan yang merugikan profesinya. Setidaknya itu tercermin dalam tensi IDI dengan pemerintah selama tujuh tahun ke belakang.
Selain layanan dokter primer, penunjukan Terawan sebagai Menkes, dan kisruh KKI, rancangan regulasi mengenai pendidikan kedokteran juga menjadi bola panas. Menkes Budi bahkan mempertanyakan kuatnya posisi IDI dalam merekomendasikan pendirian fakultas kedokteran.
Paling tidak, sebelum Omnibus Law Kesehatan disahkan, IDI memiliki kekuatan tawar atau bargaining power yang besar, mengingat posisi dokter yang sangat vital di negara dengan rasio dokter yang rendah seperti Indonesia.
Kemudian, David Hyde dalam The American Medical Association: Power, Purpose, and Politics in Organized Medicine mengemukakan bahwa seorang dokter yang secara aktif memainkan peran dalam ranah medical politics atau politik medis, dapat memperoleh kekuatan serta pengaruh pada visi profesi kedokteran, aspek profitabel, status profesi dokter di mata publik, hingga signifikansi peran dalam sistem kesehatan nasional.
Lebih lanjut, Hyne juga menyebutkan tiga konsekuensi produktif terkait medical politics pada suatu organisasi profesi kedokteran, yaitu posisi monopoli atau monopoly position, sumber daya finansial atau financial resources, dan kekuatan politik atau political strength.
Momentum kekuatan IDI sendiri kemudian tampak muncul ketika Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia.
Kegagapan pemerintah termasuk Menkes Terawan saat itu, menjadi celah eksploitasi “empuk” bagi IDI untuk membombardir “rival” mereka dengan berbagai tekanan serta kritik.
Akan tetapi, pasca pandemi mulai mereda dan kritik terhadap pemerintah turut meredup, Kemenkes yang telah diampu Budi seolah mulai merespons “tekanan” dan sejumlah power yang dimiliki IDI.
Omnibus Law Kesehatan yang disebut-sebut merupakan inisiasi Menkes Budi dan jajarannya agaknya menguak titik balik dan konflik laten selama ini. Ihwal yang seolah ingin diakhiri sang menteri sekaligus mereduksi peran aktif IDI.
Lalu, bagaimana proyeksi hubungan konfliktual di antara IDI dan pemerintah ke depannya, terutama ketika Omnibus Law Kesehatan benar-benar disahkan?
Menkes Budi Menang?
Melihat gestur yang ada, Menkes Budi agaknya tak ingin terus memperpanjang relasi konfliktual di antara Kemenkes dan IDI.
Meskipun meninggalkan kesan mereduksi atau bahkan menghilangkan peran IDI, usulan Omnibus Law Kesehatan mungkin saja menjadi satu-satunya solusi yang dilihat Menkes Budi.
Dalam mewujudkan hal itu, Menkes Budi tampaknya mengaktualisasikan Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil.
Dalam Bab 4, terdapat strategi yang disebut fǔ dǐ chōu xīn, yang bermakna harfiah, yakni “keluarkan kayu bakar dari tungku memasak”.
Secara pemaknaan, strategi itu merupakan upaya mengeluarkan aset utama musuh dari akuisisinya. Inilah inti dari pendekatan secara tidak langsung.
Alih-alih menyerang pasukan tempur musuh secara langsung, cara paling ideal untuk menghadapi rival yang kuat ialah wajib melemahkannya dengan meruntuhkan pondasinya plus menyerang sumberdayanya.
Dengan mengakomodir 14 regulasi mengenai kesehatan sekaligus mengurangi peran organisasi profesi, terutama IDI dalam sistem kesehatan nasional, Menkes Budi boleh jadi ingin “melemahkan” pondasi dan sumber daya yang dimiliki organisasi pimpinan Adib.
Akan tetapi, konsekuensi dari kemungkinan disahkannya regulasi baru itu tampaknya bukan tanpa persoalan baru. “Monopoli” dalam sistem kesehatan nasional bukan tidak mungkin beralih ke Kemenkes tanpa menyisakan ruang bagi organisasi profesi kesehatan lainnya untuk terlibat aktif memengaruhi secara konstruktif kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, jika Omnibus Law Kesehatan nantinya disahkan dan Menkes Budi “menang” dari IDI, akuntabilitas, sinergi, upaya memberikan ruang masukan dan kontribusi organisasi profesi kiranya tetap dibutuhkan. (J61)