Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?
Pengaruh dan kekuatan sesungguhnya dari seorang Joko Widodo (Jokowi) pasca kepresidenan menjadi diskursus menarik. Intriknya dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri akibat dinamika dan perbedaan haluan di Pemilu dan Pilpres 2024 disebut-sebut membuat Jokowi membutuhkan manuver khusus agar bisa tetap relevan, berpengaruh, dan tak terancam setelah purna tugas sebagai RI-1.
Adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang dalam beberapa kesempatan menyiratkan kesumat kepada Jokowi dan trahnya, serta tampak menghalangi upaya faksi internal lain PDIP dan pihak eksternal lainnya dalam rekonsiliasi mantan Gubernur DKI Jakarta itu dengan Megawati.
Kendati dinilai terdapat faksi yang lebih terbuka dengan berbagai potensi sinergi politik pasca Pemilu, khususnya dari sudut Puan Maharani, gelagat Hasto itu yang membuat PDIP bisa saja akan terus “mengincar” dan menanti momen ketika terkikisnya pengaruh Jokowi setelah 2024 membuatnya terpuruk.
Pun dengan aktor sosiopolitik lain yang selama kepemimpinan Jokowi mungkin merasa dirugikan.
Dari telaah logis, Jokowi pun memang bisa saja kehilangan kekuatan, pengaruh, atau bahkan mengalami keterpurukan karena tak lagi memegang kendali terhadap relasinya dengan insan bisnis serta aparatur negara. Termasuk intelijen, kepolisian, dan militer.
Posisi sang putra sulung Gibran Rakabuming Raka yang hanya sebagai Wakil Presiden pun dinilai tak akan banyak membantu Jokowi mempertahankan pengaruhnya.
Terkecuali, jika sesuatu terjadi dan membuat terlaksananya Pasal 8 UUD 1945, yang mana berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”
Juga ketika berbicara konteks Prabowo Subianto sang penerus RI-1 yang dianggap akan memberikan fokus seratus persen memimpin Indonesia, dan kemungkinan tak ingin larut dalam intrik politik bertendensi personal Jokowi.
Sebagai politisi yang intuisinya telah terbentuk sejak lama, Jokowi kiranya sangat memahami probabilitas itu.
Di titik ini, terdapat sejumlah opsi dan manuver yang dapat diaktualisasikan Jokowi, yang bahkan dapat melampaui pengaruh Megawati.
Jokowi Wajib Tiru Mao Zedong?
Untuk dapat mempertahankan pengaruh dan membendung serangan yang berpotensi mengarah padanya, Jokowi agaknya harus menerapkan strategic alliances, yakni taktik untuk mempertahankan pengaruh pasca turun takhta adalah dengan membentuk aliansi strategis dengan aktor politik dan kelompok kepentingan sebanyak mungkin.
Manuver itu pun selaras dengan konsep dasar Machiavellian Influence dalam “The Prince” karya Niccolò Machiavelli yang membahas pentingnya aliansi dan koalisi, termasuk dari elemen-elemen politik kunci yang lebih kecil, dalam mempertahankan power dan pengaruh politik.
Dalam konsep Machiavellian Influence, dengan menyelaraskan diri secara strategis dengan individu-individu dan faksi-faksi yang berpengaruh dalam skala lebih kecil, seorang kepala negara yang akan meninggalkan jabatannya dapat terus menentukan hasil politik dan memajukan agenda mereka.
Meski tak berkorelasi langsung, Mao Zedong telah mempraktikkan kesuksesan konsep tersebut dalam merebut dan mempertahankan, baik kekuasaan maupun kekuatan politik.
Dalam proses jalan revolusioner baru bertajuk “desa mengepung kota” yang kemudian menjadi teori dan strategi politik fundamental, Mao Zedong menjadi sosok yang berhasil mewujudkannya menjadi kejayaan.
Saat perjuangan pada akhir 1920 hingga 1930-an, Mao memindahkan pusat revolusi dari kota ke pedesaan di mana kekuasaan musuh relatif memiliki kelemahan.
Revolusi Tiongkok diaktualisasikan Mao dengan mengalihkan fokus kerja partai dari kota ke pedesaan, melancarkan perang gerilya di daerah pedesaan, sebelum merebut kekuasaan dengan skala yang lebih besar atau nasional setelah situasi telah matang.
Lalu, bagaimana korelasi dan aktualisasi konsep tersebut bagi Jokowi untuk mempertahankan kekuatan dan pengaruhnya setelah tak menjabat kelak?
Jokowi Orkestrator Politik Daerah?
Agar dapat bekerja dengan optimal, teori “desa mengepung kota” Mao bisa saja diterapkan dan dimodifikasi untuk menunjukkan inherent power Jokowi pasca kepresidenan.
Sebagai presiden dua periode, Jokowi tentu memiliki basis massa kunci dan loyal di sejumlah wilayah. Ihwal yang menjadikannya potensial untuk mengelola aliansi dengan elemen-elemen di level kabupaten/kota, khususnya bupati dan wali kota.
Mengacu pada riwayat kemenangan dan approval rating di akar rumput berkat pembangunan, Jokowi memiliki peta persebaran kekuatan akar rumput yang cukup mumpuni di sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua.
Terlebih, Jokowi setidaknya memiliki sokongan dari tangan kanan yang juga merupakan eks kader PDIP dan anak buah Megawati, yakni Budiman Sudjatmiko serta Maruarar Sirait.
Keduanya dinilai mampu menopang kekuatan inheren dan perpanjangan kekuatan-kekuasaan Jokowi dari level terkecil. Dari desa, hingga efek elektoralnya ke level kabupaten/kota, bahkan tak menutup kemungkinan level provinsi.
Di pemerintahan Jokowi pula kesejahteraan desa, khususnya para kepala desa, menemui kondisi dambaannya.
Hal itu belum termasuk peran dan simbiosis mutualisme relawan loyalis Jokowi selama ini yang bisa saja menjadi faktor kolaboratif kekuatan inheren Jokowi sebagai alternatif partai politik (parpol) yang semakin dianggap tak aspiratif.
Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin Jokowi bisa melampaui Megawati dan PDIP untuk menjadi orkestrator politik daerah yang notabene kerap menjadi penopang krusial politik nasional secara keseluruhan.
Akan tetapi, Jokowi kiranya tetap membutuhkan modal dan logistik mumpuni untuk memperpanjang kekuatan dan pengaruhnya, sekaligus menangkis ancaman yang mengarah kepadanya. Utamanya, untuk mengantisipasi elemen penyokong yang cenderung pragmatis dan mengedepankan aspek transaksional.
Namun demikian, penjabaran di atas merupakan interpretasi semata. Jokowi tentu akan terus membaca dinamika politik dan memiliki analisis dan kalkulasi politik personal yang tepat bagi keberlangsungan relevansinya sebagai seorang mantan presiden. (J61)