Erick Thohir terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) PSSI terpilih pada Kongres Luar Biasa (KLB). Lantas, apakah posisi Ketum PSSI memang lebih “menguntungkan” dibanding Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bagi karier politik Erick?
Federasi sepak bola Indonesia PSSI telah melakukan pergantian pengurus melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB). Pergantian sendiri dilakukan mulai dari ketua umum (ketum), wakil ketua umum (waketum), dan anggota exco PSSI.
Hasil KLB hari ini, Erick Thohir baru saja terpilih menjadi penerus PSSI-1. Meski tampak menang mudah, perjalanan Erick sesungguhnya cukup berliku, utamanya berkaitan dengan dirinya yang masih memegang jabatan sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Pendaftaran calon ketum PSSI sendiri diawali dari penutupan pendaftaran bakal calon pada 16 Januari lalu. Komite pemilihan kemudian menetapkan beberapa nama yang akan maju dalam pemilihan ketum, waketum dan anggota exco di kongres nanti.
Terdapat ada lima nama calon ketum PSSI periode 2023-2027 yang akan menggantikan Mochamad Iriawan atau Iwan Bule. Nama-nama tersebut antara lain Erick Thohir, La Nyalla Mattalitti, Arif Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, dan Fary Djemi Francis.
Kelima nama tersebut akan memperebutkan suara dari 87 pemilik suara kongres PSSI. Tanpa meremehkan calon ketum lain, dari lima nama yang disebutkan diatas, dua nama pertama tampaknya akan bersaing ketat selama kongres nanti.
Maklum saja, Erick Thohir dan La Nyalla bukan nama yang asing bagi para pelaku dan pecinta sepak bola tanah air. Keduanya mempunyai pengalaman yang cukup banyak dalam dunia “kulit bundar”.
Meskipun tiga nama lainnya merupakan calon yang tidak buruk dan memiliki rekam jejak yang baik dalam keterlibatannya di dunia sepak bola Indonesia. Mereka diprediksi hanya akan menjadi “pelengkap” dalam KLB nanti.
Erick dan La Nyalla jamak dinilai mempunyai jaringan yang lebih luas dan modal yang lebih kuat untuk menjadi calon Ketum PSSI.
Jika lebih dikerucutkan lagi dari dua nama tersebut, Erick Thohir menjadi yang terkuat dalam memimpin PSSI.
Erick mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan sebagai orang yang dinilai dapat memperbaiki organisasi tertinggi sepak bola Indonesia. Dia dianggap mempunyai pengalaman di dunia sepak bola bukan hanya dalam lingkup nasional, tapi juga internasional.
Pengalaman yang paling diingat khalayak banyak tentang Erick adalah ketika dia menjadi presiden klub top Italia dan Eropa, Inter Milan. Erick kala itu menjadi orang Asia pertama yang menjadi presiden klub di Italia dan dinilai cukup sukses.
Meskipun prestasi tertingi Inter Milan di era Erick Thohir hanya peringkat empat klasemen Serie A, tapi Erick dinilai mampu membenahi manjemen klub tersebut yang sedang kacau balau hanya dalam waktu tiga tahun.
Namun di samping itu, dua pertanyaan masih tertinggal di balik pencalonan Erick sebagai pimpinan PSSI. Pertama, seperti apa makna kemenangan Erick? Kedua, apakah posisi PSSI-1 lebih “menguntungkan” bagi karier politik Erick?
Modal Memang Erick Kuat?
Erick Thohir maju sebagai calon Ketum PSSI tidak hanya bermodal pengalaman yang dia miliki di dunia sepak bola. Dia mempunyai modal dukungan dari pemilik suara kongres dan dukungan politik dari berbagai kalangan.
Dukungan dari pemilik suara kongres tercermin pada saat dirinya menyerahkan berkas pendaftaran sebagai calon ketum PSSI.
Berbagai pemilik klub baik dari Liga 1 maupun Liga 2 yang mempunyai hak suara dalam kongres ikut menemani Erick menyerahkan berkas kepada komite pemilihan PSSI. Bahkan kabarnya, Erick telah mengantongi 60 dari 87 pemilik suara kongres.
Selain dari para pemilik suara, dukungan kepada Erick juga mengalir dari para pecinta dan pegiat sepak bola Indonesia.
Satu yang menarik, Erick juga kabarnya telah mendapat restu dan dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk maju dalam pemilihan Ketum PSSI. Ihwal yang menjadikan “modal” Erick tampak begitu mumpuni.
Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu dalam buku The Forms of Capital mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Artinya, istilah “modal” digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ada beberapa jenis modal yang dipaparkan Bourdieu, salah satunya dalam konteks dukungan kepada Erick Thohir, yakni modal sosial.
Bourdieu mendeskripsikan modal sosial sebagai properti individu, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial dikatakan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu lainnya.
Lebih lanjut, Bourdieu menyebut modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang, dan hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status dengan mengembangkan niat baik.
Merujuk penjelasan Bourdieu diatas, Erick telah memiliki modal sosial yang kuat untuk menjadikannya Ketum PSSI periode 2023-2027. Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, pengalaman dan komitmen Erick dalam dunia sepak bola membuat dirinya seakan sangat layak memperoleh posisi sebagai Ketum PSSI.
Lalu, bagaimana prospek keuntungan bagi Erick jika berhasil memimpin PSSI?
PSSI Lebih Menggiurkan?
Hubungan sepak bola dan politik bukan menjadi sesuatu yang asing di Indonesia. Sejak era kemerdekaan, sepak bola menjadi salah satu alat perjuangan bangsa untuk melawan kolonialisme.
Hal ini tidak terlepas karena sepak bola merupakan salah satu olahraga yang digemari masyarakat Indonesia. Antusiasme rakyat terhadap sepak bola sangat tinggi, meskipun sepak bola bukan cabang olahraga yang rutin menyumbang gelar bagi Indonesia.
Di era modern, jabatan Ketua Umum (Ketum) PSSI sering kali menjadi batu loncatan untuk jabatan politik yang lebih tinggi.
Argumen tersebut tercermin ketika Edy Rahmayadi dan Iwan Bule seakan menjadikan Ketum PSSI sebagai kendaraan politik ke posisi kepala daerah.
Hal ini pula yang dikhawatirkan beberapa pihak jika nantinya Erick Thohir menjadi Ketum PSSI. Jabatannya sebagai Menteri BUMN dinilai belum cukup untuk mendongkrak nama Erick sebagai figur yang dinilai layak untuk jabatan politik yang lebih tinggi.
Kekhawatiran lain adalah rangkap jabatan yang berpotensi dilakukan Erick jika terpilih menjadi Ketum PSSI. Ini akan kembali menimbulkan sentimen negatif terhadap ketum PSSI.
Erick tampaknya memang harus memilih mana yang akan menjadi prioritasnya, Menteri BUMN atau Ketum PSSI.
Jika dilihat dari karier politik jangka panjang, Ketum PSSI, harus diakui lebih menjanjikan untuk seorang Erick Thohir.
Douglas McAdam dalam bukunya Political Process and the Development of Black Insurgency 1930-1970 menjelaskan tentang sebuah peluang politik sebagai salah satu faktor yang mendorong keberhasilan sebuah gerakan sosial.
McAdam menjelaskan keselarasan antara kelompok dengan lingkungan politik yang lebih besar. Semakin besar suatu kelompok dapat bersatu dalam arena politik, maka semakin besar kemungkinannya untuk dapat melakukan perubahan dalam suatu sistem politik.
Merujuk pada penjelasan McAdam, jika Erick berhasil memimpin PSSI hingga 2027, kemungkinan akan membuka peluang Erick sebagai sosok berkompeten dan layak untuk posisi politik yang lebih tinggi.
Di saat yang sama, Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital mengatakan modal sosial dapat dikonversi menjadi modal politik.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, Erick yang memiliki modal sosial, plus ekonomi, berupa jejaring bisnis, militansi konstruksi citra di sosial media, hingga jejaring dalam dunia sepak bola internasional kiranya dapat mengkonversi itu menjadi political capital.
Hal itu yang tampaknya akan membuat kepercayaan secara politik didapatkan Erick dari berbagai kalangan jika dia memiliki catatan yang apik dalam memimpin PSSI.
Ini dilandasi dengan fakta bahwa perhatian masyarakat terhadap sepak bola Indonesia yang begitu besar akan menjadi modal yang mendukung Erick untuk mencapai posisi politik yang lebih tinggi.
Sebagaimana Freek Colombijn jelaskan dalam The Politics of Indonesian Football, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepak bola menyebabkan relasinya dengan politik tak terelakkan, bahkan sejak era pemerintahan Soekarno.
Semua faktor itu tercermin, saat Erick mendapat respons positif saat mencalonkan diri sebagai calon Ketum PSSI karena rekam jejaknya saat menjadi pemilik saham klub sepak bola di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Keberhasilan Erick Thohir dalam memimpin PSSI belum bisa dipastikan sebelum hasil kongres PSSI nanti.
Yang jelas, banyak pihak berharap Erick Thohir dapat memperbaiki sepak bola Indonesia yang carut marut. (S83)