Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ibu Negara Iriana Widodo dikabarkan telah mengemas sebagian barangnya dari Istana Negara. Mungkinkah itu untuk membantah isu penundaan pemilu dan masa jabatan presiden seperti yang pernah dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan sejumlah politisi lainnya?
Spill menjadi istilah kekinian untuk mengungkapkan informasi penting yang belum diketahui sebelumnya. Istilah itu pun cukup sering digunakan kaum muda saat ini sebagai kosakata dalam percakapan lingkar pertemanan dan di media sosial.
Belakangan, spill dilakukan Wali Kota Solo sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, yang membocorkan satu informasi menarik mengenai apa yang tengah dilakukan olehRI-1.
Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi yang tayang pada Senin lalu, Gibran awalnya menegaskan bahwa sang ayah tidak akan selamanya menjadi kepala negara.
Lalu, dia mengungkapkan bahwa ibunya, Iriana Widodo, sudah mulai mengemas barang-barang di Istana Kepresidenan untuk dibawa pulang ke Solo, Jawa Tengah.
Tidak ada pernyataan lanjutan dari Gibran saat itu, sampai satu hari berselang Gibran menjelaskan lebih lanjut di depan awak media bahwa tak hanya barang-barang milik sang ibu yang telah dikemas, melainkan juga milik sang ayah.
Bahkan, Gibran menyebut bahwa sudah ada sejumlah barang yang telah tiba di beranda Presiden Jokowi yang terletak di Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo.
Persis seperti intensi yang dikemukakan Gibran, informasi tersebut seketika membuat isu mengenai perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan pemilu dinilai tak menemui relevansinya lagi.
Sebelumnya, sejumlah politisi bahkan tokoh penting di lingkaran Presiden Jokowi gencar menghembuskan narasi terkait dua hal tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan misalnya, yang membuat heboh dengan klaim adanya big data berupa dukungan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dari 110 juta orang.
Tak hanya itu, Luhut juga sempat mengutarakan hal cukup “unik” saat mempertanyakan alasan Presiden Jokowi harus turun pada tahun 2024.
Selain Luhut, nyatanya isu serupa sempat digulirkan beberapa tokoh di antaranya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, hingga Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Akan tetapi, klaim Luhut tampaknya cukup provokatif karena membuat Politikus PDIP Masinton Pasaribu bereaksi keras dan sempat terlibat ketegangan personal dengan abituren Akabri 1970 itu. Masinton bahkan harus beberapa kali menegaskan bahwa Presiden Jokowi menolak wacana tersebut.
Lantas, apakah informasi “kemas-kemas” menjadi jawaban pamungkas secara tak langsung dari Presiden Jokowi atas isu penundaan pemilu maupun masa jabatan presiden? Atau adakah makna lain?
Momentum Tepat Sanggah Luhut?
Anggapan umum yang terbentuk dari spill Gibran tentu cukup sederhana, yakni negasi terhadap isu penundaan pemilu dan masa jabatan presiden. Akan tetapi, penjelasan lanjutan Gibran bahwa Presiden Jokowi juga telah berkemas agaknya memiliki makna tersendiri jika dilihat dari segi momentum.
Masa jabatan Presiden Jokowi sendiri secara resmi berakhir pada 20 Oktober 2024. Meski tidak ada yang salah, tenggat waktu tersebut membuat kesan yang timbul menjadi sedikit janggal ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah berkemas sedini ini.
Dalam perpolitikan, timing atau momentum menjadi hal yang cukup esensial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dikemukakan, sebagaimana halnya yang dijabarkan Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics.
Menurut Rubio, timing sangat esensial dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.
Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.
Jika direfleksikan pada apa yang diungkapkan Gibran, momentum berkemas Presiden Jokowi saat ini kiranya tidak saja sekadar menyanggah Luhut dan politisi lain. Isu tiga periode dan penundaan pemilu yang belakangan semakin meredup, baik dalam pembicaraan publik, tokoh politik, maupun media kemungkinan juga memiliki signifikansi tersendiri.
Tensi isu yang tak sepanas sebelumnya membuat simbol “berkemas” tersebut terkesan tetap menjadi sanggahan tegas, tetapi masih dalam koridor tepat untuk meminimalkan risiko politik yang tidak diinginkan atau dapat disalahartikan. Utamanya terkait hubungan langsung antara Presiden Jokowi, Luhut, dan tokoh-tokoh terkait.
Selain itu, sebagai sosok yang dikenal sebagai pemegang falsafah Jawa dalam kepemimpinannya, momentum munculnya informasi “berkemas” Presiden Jokowi pun barang kali bukan hanya menghindari risiko politik tertentu.
Elisabet Titik Murtisari dalam tulisannya yang berjudul Some Traditional Javanese Values in NSM: From God to Social Interaction, menyatakan bahwa salah satu nilai budaya Jawa adalah tanggap terhadap perasaan orang lain agar harmoni dan ketenteraman dapat terus terwujud.
Nilai itu pula yang dapat dimaknai dari momentum berkemas sang kepala negara. Dengan berkaca pada isu minor yang dihembuskan orang di lingkaran pemerintahannya sendiri, Presiden Jokowi kiranya ingin mengungkapkan simbol bantahan dengan tetap menjaga kondusivitas dan harmoni di sekelilingnya.
Kendati begitu, suara sumbang turut merespons kabar berkemasnya Presiden Jokowi dan Ibu Negara. Pengamat politik Muslim Arbi mengatakan hal itu tidak perlu dipercaya karena rekam jejak pernyataan Gibran maupun sang ayah kerap tidak sesuai dengan realitas.
Arbi menyebut aksi berkemas yang dilakukan dua tahun sebelum masa jabatan Presiden Jokowi berakhir adalah hal yang tidak masuk akal.
Benarkah demikian?
Harus Teladani Soeharto?
Mulai berkemasnya Presiden Jokowi dan sang istri memang dapat dimaknai sebagai simbol bantahan pamungkas secara personal, baik atas isu penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Namun, konfirmasi teranyar dari salah satu orang dalam Istana sementara ini justru selaras dengan apa yang Muslim Arbi katakan. Dia adalah tenaga ahli Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, Ali Mochtar Ngabalin, yang mengaku belum pernah melihat Iriana Widodo berkemas barang-barang yang akan dibawa pulang ke Solo.
Kontradiksi antara klaim Gibran dan pengakuan Ngabalin tentu memunculkan presumsi berikutnya bahwa wacana penundaan pemilu masih belum sepenuhnya tertutup. Ini tentu akan berlainan dengan identitas yang melekat pada Presiden Jokowi sebagai pemegang falsafah Jawa yang teguh.
Terkait dengan falsafah Jawa dan akhir masa jabatan kepemimpinan, Presiden Jokowi agaknya dapat meniru apa yang dilakukan Presiden RI ke-2 Soeharto. Dalam buku berjudul Decisive Moments: Indonesia’s Long Road to Democracy, Bacharuddin Jusuf Habibie menceritakan bagaimana Soeharto sangat merefleksikan akhir masa jabatannya dengan pemaknaan nilai budaya Jawa yang mendalam.
Sebelum membacakan pidato pengunduran dirinya, Soeharto menegaskan bahwa perubahan rezim yang terjadi tetap harus dilakukan dan dipandang secara konstitusional serta bukan dianggap buah dari aksi maupun reaksi bertendensi paksaan.
Soeharto juga mengatakan bahwa dirinya akan menjadi pandito, yakni sosok yang mendekatkan diri dengan Tuhan, memimpin anak-anaknya menjadi orang yang baik. Sementara bagi masyarakat dan negara, dirinya ingin memberikan nasihat dan mengamalkan asas tut wuri handayani.
Seperti apa pun simbol maupun intrik yang ada, yang terpenting bagi publik saat ini adalah teladan untuk patuh terhadap konstitusi dan melaksanakan tugas negara di sisa masa jabatan dengan baik.
Begitu pula dengan gestur Presiden Jokowi untuk mengelola isu penundaan pemilu dan masa jabatan presiden dari orang sekitarnya seperti Luhut. Semata-mata agar kinerja pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tidak menimbulkan kegaduhan politik yang tidak perlu. (J61)