HomeNalar PolitikIni Alasan Pilkada 2020 Dilanjutkan?

Ini Alasan Pilkada 2020 Dilanjutkan?

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang memburuk, berbagai pihak heran dengan alasan pemerintah yang tetap melanjutkan Pilkada 2020. Berbagai dugaan bermunculan. Salah satunya karena keluarga pejabat Istana maju di Pilkada tahun ini. Namun, mungkinkah Pilkada 2020 dilanjutkan karena alasan ekonomi?


PinterPolitik.com

Sejak terjadinya gelombang demokratisasi, pemilihan umum (pemilu) telah menjadi norma global yang mencirikan suatu negara tidak lagi menganut sistem politik otoriter. Di Indonesia, khususnya di tingkat daerah, Pilkada pertama baru terlaksana pada 2005 lalu. Sejak saat itu, norma demokrasi ini menjadi pesta berkala yang terus direproduksi.

Namun saat ini, berbagai pihak justru menginginkan Pilkada 2020 tidak diselenggarakan. Ini bukan karena norma demokrasi itu mulai ditentang, melainkan mempertimbangkan dampaknya terhadap penanganan pandemi Covid-19. Seperti yang diketahui, Pilkada mestilah melahirkan kerumunan massa. Itu jelas dapat menjadi sumber penularan virus.

Kontras dengan sosialisasi physical distancing, kebijakan melanjutkan Pilkada 2020 disebut memukul balik penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Atas keanehan ini, berbagai pihak masif berspekulasi. Satu spekulasi sinis kemudian mencuat. Terdapat pihak mengaitkannya dengan keluarga pejabat Istana yang maju di Pilkada 2020. Spekulasi ini dikhususkan kepada putra sulung dan menantu Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution.

Namun, spekulasi tersebut tampaknya kurang tepat dan terlalu sentimental. Pasalnya, dengan dukungan besar partai politik (parpol) terhadap Gibran dan Bobby, meskipun Pilkada 2020 ditunda, keduanya akan tetap dapat maju di Pilkada.

Dalam keterangan terkait mengapa Pilkada 2020 dilanjutkan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pandemi Covid-19 tidak diketahui kapan berakhir. Oleh karenanya, ini membuat tidak terdapat kepastian kapan Pilkada akan terlaksana.

Akan tetapi, terdapat dua kejanggalan yang dirasakan dari jawaban tersebut. Pertama, Presiden Jokowi dapat mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) agar kebijakan pengunduran Pilkada 2020 memiliki payung hukum yang jelas.

Lalu, pemerintah pusat juga dapat melakukan perpanjangan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah yang habis masa jabatannya di tahun 2020 atau menyiapkan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) sementara.

Keduaanggaran Pilkada 2020 sebesar Rp 20,4 triliun dapat dialokasikan untuk penanganan pandemi. Ini tentu adalah tambahan anggaran yang sangat besar. Apalagi, pemerintah juga diharapkan meningkatkan kualitas alat kesehatan dan kesejahteraan tenaga medis yang disebut belum memadai.

Lantas, dengan adanya dua kejanggalan tersebut, mengapa Pilkada 2020 tetap dilanjutkan?

Pilihan Rasional?

Setelah tujuh bulan dilanda pandemi, tentu kita sadar bahwa dampak terbesar pandemi Covid-19 sebenarnya bukanlah kesehatan, melainkan kemampuannya dalam merusak tatanan sosial dan ekonomi. Resesi ekonomi juga telah dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Akibat pandemi, berbagai usaha kehilangan daya produksi. Imbasnya jelas, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi tidak terhindarkan. Per 31 Juli 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat angka PHK maupun yang dirumahkan telah mencapai 3,5 juta lebih.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Selaku penyelenggara negara, wajar sekiranya apabila pemerintah lebih memersepsikan pandemi Covid-19 sebagai bencana ekonomi. Oleh karenanya, berbagai putusan harus diambil agar ekonomi tidak jatuh semakin dalam. Selain itu, perputaran ekonomi, seperti konsumsi di tengah masyarakat juga harus dijaga, bila perlu ditingkatkan.

Dari masalah ini, tentu kita bertanya, mengapa Pilkada 2020 tidak ditunda agar anggaran sebesar Rp 20,4 triliun dapat dialokasikan untuk penanganan pandemi? Pertanyaan ini jelas merupakan kritik telak. Namun, bagaimana jika jawabannya adalah untuk meningkatkan anggaran tersebut?

Sekarang mari kita petakan masalahnya. Katakanlah Pilkada 2020 ditunda dan anggarannya digunakan untuk penanganan pandemi, khususnya untuk bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak. Ini jelas bagus. Namun, seperti yang diketahui, saat ini bansos pemerintah banyak dilaporkan tidak tepat sasaran. Ini berakar pada data yang belum diperbaharui. Tentu pertanyaannya, apakah mungkin memperbaharui data secara cepat dan di tengah kondisi seperti saat ini? Rasa-rasanya akan sulit.

Dalam situasi seperti itu, bukankah penyaluran bansos lebih tepat diserahkan kepada mereka yang memang memiliki pengetahuan demografis yang baik? Jika demikian alur pikir yang terjadi, ini akan menjawab mengapa Pilkada 2020 tepat dilanjutkan.

Pada 5 Agustus lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Pilkada 2020 yang terjadi di bulan Desember akan meningkatkan perputaran dana dan konsumsi. Tidak hanya dari anggaran penyelenggaraan Pilkada, dana sebesar Rp10 triliun juga disebut akan keluar dari para calon Kepala Daerah.

Akumulasinya, setidaknya akan ada Rp 34 triliun dana yang akan beredar. Terlebih ini, angka tersebut hanyalah estimasi, total dana riil yang beredar nantinya besar kemungkinan akan lebih besar. Nah, bukankah ini adalah taktik untuk menaikkan anggaran?

Selain itu, pemerintah juga seperti memiliki tangan-tangan penyebar dana di berbagai daerah yang memang mengetahui statistik daerah terkait.

Alur berpikir tersebut dapat kita pahami melalui rational choice theory atau teori pilihan rasional. Rafael Wittek dalam tulisannya Rational Choice Theory menyebutkan teori pilihan rasional memiliki tiga asumsi penting.

Pertama, individu dinilai memiliki kecenderungan bersifat egois (self-interest). Kedua, individu akan memaksimalkan utilitasnya (keuntungan). Ketiga, individu bertindak berdasarkan informasi yang lengkap.

Teori ini kemudian jamak diadopsi dalam ilmu ekonomi, dan digunakan sebagai landasan teori atas Homo Economicus atau Makhluk Ekonomi.

Merujuk pada tiga asumsinya, pemerintah selaku pihak yang memiliki informasi yang lengkap, yang dalam artian mestilah memiliki rangkuman persoalan yang ada, akan membuatnya untuk mengambil kebijakan yang dirasa paling menguntungkan.

Pada konteks ini, kebijakan untuk memaksimalkan ajang Pilkada 2020 sebagai pemutar uang boleh jadi dinilai sebagai putusan rasional. Apalagi, Pilkada 2020 yang terlaksana di 270 daerah jelas memiliki daya jangkau yang luas.

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Bertolak dari Pengalaman?

Tidak hanya soal meningkatkan jumlah dan sebaran anggaran, dinilainya pelaksanaan Pilkada 2020 sebagai putusan rasional juga bertolak dari pengalaman.

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru menerangkan bahwa sejak jatuhnya rezim Orde Baru, masifnya kemunculan parpol justru menjadi preseden kuat atas lahirnya budaya politik uang sebagai strategi pemilu.

Menariknya, budaya tersebut tidak hanya terbentuk dalam iklim parpol, melainkan juga di tengah masyarakat. Menurut Muhtadi, politik uang menjadi lingkaran setan yang tidak terputus karena praktik ini tengah mengubah habituasi dan persepsi masyarakat dengan memahami bahwa pemilu mestilah berisi praktik tersebut. Oleh karenanya, dalam realitasnya, masyarakat tidak hanya memandang lumrah, melainkan juga menanti praktik tersebut.

Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia juga menegaskan faktor penting terkait mengapa praktik politik transaksional mengakar kuat. Menurut mereka, dalam kepentingannya untuk melakukan kontrol ekonomi dan kebijakan politik, oligarki telah menjadi pemasok dana bagi para calon kepala daerah yang maju di Pilkada.

Pada 12 September lalu, Menko Polhukam Mahfud MD juga menegaskan hal serupa. Tuturnya, 92 persen calon yang bertarung di Pilkada dibiayai pengusaha besar selaku pemilik modal yang disebutnya sebagai cukong.

Akan tetapi, memang terdapat analisis yang menyebutkan bahwa situasi pandemi akan membuat dampak ekonomi dari Pilkada 2020 lebih kecil dari yang diharapkan. Terkait analisis ini, tampaknya mudah untuk dibantah dengan menyebutkan itu masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Lagipula, perputaran dana akibat Pilkada tidak hanya soal praktik politik uang, seperti serangan fajar, melainkan juga berdampak pada berbagai unit usaha, seperti konveksi, hiburan, dan makanan.

Namun, seperti yang menjadi kritik atas teori pilihan rasional, dengan adanya temuan bias kognitif, sulit untuk menyebutkan bahwa individu dapat benar-benar mengambil putusan secara rasional, dalam artian seobjektif mungkin.

Selain itu, kritik posmodernisme terkait “rasionalitas yang mana?” juga perlu direnungkan. Dalam tesisnya, putusan rasional tidak lagi dipahami sebagai kesimpulan tunggal karena putusan rasional disebut bergantung atas cara individu dalam memersepsikan pengalaman dan informasi. Artinya, dilanjutkannya Pilkada 2020 yang dinilai sebagai putusan rasional, boleh jadi tidak akan disebut rasional oleh pihak lain.

Di luar perdebatan tersebut, tentu kita mengetahui bahwa benar tidaknya Pilkada 2020 dilanjutkan karena alasan ekonomi tidak benar-benar diketahui. Hanya pihak-pihak terkait yang mengetahuinya secara pasti. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan pesta demokrasi tersebut di bulan Desember nanti. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...