Modal berupa logistik politik yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo dan Partai Perindo tampak belum cukup jika mengacu pada ambisi mereka di Pemilu 2024. Mengapa demikian?
Semangat Ketua Umum (Ketum) Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo menyongsong Pemilu 2024 mendatang tampak semakin bertambah setelah partainya kedatangan tokoh anyar.
Sosok itu ialah salah satu ulama terbaik dari Indonesia tengah yang juga mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni Muhammad Zainul Majdi atau akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB).
Pada agenda pelantikan TGB sebagai kader partai pada akhir pekan lalu, Hary Tanoe menegaskan kembali ambisinya di kontestasi elektoral mendatang. Bos MNC Group ini menyebut target Partai Perindo adalah dua digit suara atau 60 kursi Parlemen Senayan.
Bukan hanya di level pusat, Hary Tanoe juga mematok target serupa di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Partai Perindo adalah partai yang sungguh-sungguh berjuang untuk Indonesia, kita harus menjadi partai yang besar, itulah mengapa dicanangkan di dalam Pemilu 2024 perolehan kursinya harus double digit, baik nasional, provinsi maupun kabupaten kota,” begitu komando sang ketum.
Ya, Hary Tanoe memang tampak naik ke panggung politik tidak dengan tangan hampa. Dengan kekuatan media dan jaringan bisnisnya, Partai Perindo dinilai akan menjadi kuda hitam.
Terlebih, torehan di Pemilu 2019 menasbihkan Partai Perindo sebagai parpol non-parlemen terbesar, yaitu dengan mengumpulkan 3,7 juta suara.
Namun, modal kekuatan itu agaknya masih sebatas proyeksi semata mengingat bukan perkara mudah untuk bersaing dengan parpol yang telah eksis sebelumnya seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, bahkan PKS yang memiliki pendukung loyal masing-masing.
Lantas, pertanyaan sederhana muncul, mengapa Hary Tanoe begitu percaya diri dan cukup ambisius di Pemilu 2024 mendatang? Mungkinkah Partai Perindo memiliki senjata rahasia tertentu?
Gunakan Strategi Trump?
Kehadiran TGB untuk memperkuat Partai Perindo agaknya menjadi alasan pertama di balik kepercayaan diri Hary Tanoe.
Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa ceruk massa Islam yang dipengaruhi afiliasi sosok ulama masih menjadi variabel dalam perolehan suara parpol di Indonesia. Burhanuddin Muhtadi dan Kennedy Muslim dalam Islamic Populism and Voting Trends in Indonesia turut menegaskan hal tersebut.
Menurut analisis keduanya, gelombang populis global yang didorong oleh sentimen agama-politik telah mengakar di berbagai negara demokrasi berkembang.
Sayangnya, kecenderungan itu dilatarbelakangi eksploitasi para aktor politik atas perpecahan dalam konteks agama serta politik yang sebelumnya sudah eksis dalam masyarakat.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Burhanuddin dan Kennedy menilai karakteristik itu sangat lekat dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Meskipun spektrum ideologi “kiri-kanan” tidak cukup valid dalam menguraikan lanskap sistem pemilu Indonesia, perpecahan agama-politik “kiri-kanan” yang terjadi dapat menunjukkan spektrum blok suara “pluralis-Islamis” yang ditemukan di negara +62.
Sampel Pemilu dan Pilpres 2019 menjadi indikator atas kecenderungan tersebut. Politisasi agama terlihat jelas dengan manuver tim Prabowo Subianto yang berkolaborasi dengan kelompok Islam konservatif dan tim Joko Widodo (Jokowi) yang merangkul kelompok Islam moderat.
Meskipun belum terlalu tenar di level nasional, Hary Tanoe kemungkinan menyadari bahwa TGB cukup potensial untuk menjadi aktor alternatif pemikat ceruk massa Islam.
Pada Juni lalu, lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) merilis temuan hasil jajak pendapat yang menunjukkan bahwa TGB merupakan ulama paling disukai di Indonesia timur dengan persentase mencapai 97,5 persen.
Memang, sosoknya sendiri selama ini dianggap cukup punya potensi. Misalnya, saat Ustad Abdul Somad (UAS) sempat menyatakan dukungannya jika TGB maju sebagai calon presiden (capres) pada 2019 silam.
Atas dasar itu, boleh jadi Hary Tanoe menganggap TGB dapat diandalkan sebagai alternatif paling menarik bagi kelompok Islam di daerah-daerah, seperti di wilayah Indonesia tengah, timur, hingga Sumatera.
TGB pun langsung diberikan kursi istimewa di Partai Perindo dengan jabatan sebagai Ketua Harian.
Selain kepercayaan diri atas eksistensi sosok yang dapat menarik massa Islam, Hary Tanoe agaknya juga cukup yakin dengan logistik politiknya.
Hary Tanoe melahirkan Partai Perindo sebagai business party yang menurut Andre Krouwel dalam publikasinya berjudul Party Models cukup ideal dalam ekosistem politik kontemporer yang wajib disokong oleh pendanaan mumpuni.
Forza Party di Italia menjadi satu sampel sukses konsep business party yang dikemukakan Krouwel. Didirikan oleh raja media kelahiran Milan Silvio Berlusconi pada 1994, Forza Party menjelma menjadi kekuatan politik terbesar di Negeri Pizza hingga kini.
Berlusconi pun menikmati kesuksesan itu dengan berhasil menjadi Perdana Menteri (PM) Italia selama empat periode.
Dengan latar belakang serupa, Hary Tanoe dengan “profit” dari bisnis MNC Group-nya tampak leluasa memainkan strategi politik apapun yang diinginkannya.
Termasuk saat merekrut TGB yang ternyata disodori pula posisi wakil komisaris utama sekaligus komisaris independen perseroan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN).
Koneksi bisnis MNC agaknya juga menginspirasi strategi politik Hary Tanoe ketika dirinya memiliki relasi bisnis dengan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ya, melalui perusahaannya yang terdaftar di MNC Land, Hary Tanoe memiliki resor di Bali dan Jawa yang dikelola oleh perusahaan milik Trump.
Dalam How Donald Trump Won, eks tim media pemenangan Trump Paul Manafort dan Lellyanne Conway menjelaskan bagaimana Trump membentuk persepsi masyarakat AS menjadi dukungan melalui media massa.
Korelasi tersebut kiranya membuat Hary Tanoe memodifikasi marketing politik ala Trump via media yang lebih relevan dengan ceruk suara dan pemikat simpati masyarakat Indonesia.
Sampelnya dapat publik amati melalui tayangan olahraga favorit masyarakat hingga sinetron di media-media milik MNC, yang masing-masing mencerminkan segmen pemilih tersendiri.
Bahkan, Hary Tanoe kiranya telah mengadopsi konsep political mass hypnotist atau penghipnotis massa politik melalui media yang oleh Ralph Benko juga dinilai menjadi strategi politik Trump di Pilpres AS 2016.
Konsep tersebut dijelaskan Benko sebagai kemampuan memainkan narasi “provokatif” dan memantik keresahan khalayak yang kemudian membuat mereka menyepakati dan hanyut dalam narasi tersebut.
Dalam dimensi berbeda, “hipnotis” itu kiranya telah diperagakan Hary Tanoe. Salah satu sampelnya adalah bagaimana lagu mars Perindo menjadi familiar di telinga publik ketika sering diperdengarkan dalam iklan komersial media MNC Group.
Tidak hanya itu, relasinya sebagai calon mertua selebriti dunia bulu tangkis Kevin Sandjaya Sukamuljo bukan tidak mungkin akan menjadi daya magis politik tersendiri secara tidak langsung.
Namun, proyeksi positif terhadap Partai Perindo seperti yang dijabarkan di atas kiranya belum cukup jika Hary Tanoe tidak mengubah satu kelemahannya. Apakah itu?
Hary Tanoe Terlalu Hemat?
Pada deklarasi lahirnya Partai Perindo pada 7 Februari 2015, Hary Tanoe sudah menegaskan bagaimana partainya akan dikelola.
Sebagai pengusaha, struktur organisasi dan pengelolaan partai pimpinan Hary Tanoe disebut sangat kental dengan karakteristik manajemen perusahaan. Demi sebuah profesionalitas dan stabilitas, komposisi elite Partai Perindo diisi oleh banyak anak buahnya di MNC Group.
Saat pertama kali dibentuk, 14 dari 33 pengurus DPP merupakan anak buah dan rekan kerja Hary Tanoe di MNC. Tak hanya itu, majelis persatuan partai dan mahkamah partai turut didominasi orang-orang MNC.
Nama-nama seperti Syafril Nasution (Direktur PT Global Mediacom), Arya Mahendra Sinulingga (Direktur Pemberitaan MNC), Sururi Alfaruq (Direktur Utama Koran Sindo), A. Wishnu Handoyono (Komisaris MNC Sekuritas) merupakan petinggi Partai Perindo hingga kini.
Pengelolaan yang tampak seperti “efisiensi” itu juga dipraktikkan sebagai strategi politik di akar rumput, yakni dengan tidak banyak menggelontorkan “uang kaget” ke masyarakat atau dikenal dengan politik uang.
Taktik itu disinyalir menjadi salah satu pemicu kegagalan Partai Perindo di legislatif, baik daerah maupun pusat dalam keikutsertaannya di kontestasi elektoral 2019 lalu.
Tanpa bertendensi menyarankan, namun praktik minor itu dinilai masih kental menjadi jurus ampuh parpol di akar rumput daerah sebagaimana dijelaskan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam buku berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru.
Bagaimanapun, analisis di atas masih sebatas interpretasi semata. Namun demikian, apa yang akan menjadi strategi Partai Perindo plus seperti apa kiprahnya di Pemilu 2024 mendatang akan sangat menarik untuk dinantikan. (J61)