Sekitar 23 ribu jemaat menghadiri Sholat Idul Fitri di Kawasan Jakarta International Stadium (JIS) sepekan yang lalu. Sebagai stadion yang dibangun di era kekuasaan Anies Baswedan, jelas momen tersebut punya dampak politik yang besar bagi Gubernur DKI Jakarta tersebut. JIS adalah warisan politik Anies yang menjadi pembuktian janji politiknya. Namun, lebih dari pada itu, Sholat Idul Fitri ini menjadi semacam cara bagi Anies untuk mengirimkan “sinyal politik” pada para elite, partai politik, maupun lawan-lawannya. “Look at me! I am strong enough for 2024”, demikianlah kira-kira pesannya.
“Leadership is not about the next election, it’s about the next generation.”
::Simon Sinek, penulis asal Inggris::
Modal politik Anies Baswedan memang tak bisa dianggap remeh. Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu menjadi pembuktian kekuatan retorika Anies dalam politik. Kapasitasnya dalam membangun narasi dan caranya berkomunikasi, membuat mantan Menteri Pendidikan di periode pertama kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini berhasil menarik simpati dan dukungan masyarakat.
Beberapa waktu terakhir Anies juga cukup mampu menggunakan momen atau program tertentu sebagai cara untuk menunjukkan pembuktian kapasitas pribadinya sebagai pemimpin ibu kota. Gelaran balapan internasional Formula E pada Juni 2022 mendatang misalnya, berhasil mengkapitalisasi citra politik Anies dan kemampuannya menyelenggarakan event internasional – hal yang sebetulnya mirip dengan cara Presiden Jokowi berpolitik, katakanlah lewat event MotoGP beberapa waktu lalu.
Formula E dan JIS bisa dikatakan menjadi pembuktian sekaligus keunggulan personal Anies dibandingkan dengan saingan-saingannya yang berpotensi maju di Pilpres 2024 mendatang. Ini berbeda dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, atau Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang belum punya titik poin program tertentu yang mendapatkan atensi besar masyarakat dan bisa dijadikan alat pembuktian kapasitas kepemimpinan serta kinerja mereka.
Tak heran, nama Anies kemudian menjadi salah satu komoditas paling panas untuk Pilpres 2024. Konteks pencalonannya untuk Pilpres juga makin terasa karena Gerindra sebagai pengusungnya di 2017 lalu telah mendorong nama Riza Patria – yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta – untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta 2024. Dengan kata lain, Anies hampir pasti akan maju di Pilpres 2024.
Pada titik inilah Anies menjadi “ancaman” serius bagi tokoh-tokoh pemain lama, terutama untuk Prabowo Subianto sendiri. Anies akan sangat mungkin merebut dukungan kelompok-kelompok yang pada Pilpres 2019 lalu mendukung Prabowo. Ini terbukti dari hasil survei Indikator Politik Indonesia pada awal 2021 lalu yang menyebutkan bahwa Anies mendapatkan dukungan paling banyak dari para pemilih Prabowo-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 lalu.
Pertanyaannya tentu saja, mengapa Anies begitu kuat? Dan apakah peluangnya untuk mengalahkan sosok lain, terutama Prabowo Subianto, sangat besar?
Antitesis Prabowo, Anies “Sahabat” Amerika Serikat?
Kecerdasan berpolitik yang dimiliki oleh Anies memang sangat ditentukan dari caranya berkomunikasi dan membangun narasi. Konteks komunikasi ini juga berkaitan dengan bagaimana pemimpin membangun relasi dengan berbagai pihak, mulai dari pebisnis, media, hingga masyarakat.
Peter Chadwick dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa selain intelligence quotient atau IQ dan emotional quotient atau EQ, seorang pemimpin butuh apa yang disebut sebagai political quotient atau PQ. Konsep ini merujuk pada buku Gerry Reffo dan Valerie Wark berjudul Leadership PQ: How Political Intelligence Sets Successful Leaders Apart.
PQ bisa dilihat dalam konteks relasi antara bisnis dengan pemerintah dan masyarakat atau sebaliknya. Ini adalah kecerdasan untuk menavigasi narasi dan hubungan, sehingga tak banyak hambatan yang terjadi bagi sang pemimpin untuk mencapai goals atau tujuan-tujuan tertentu.
PQ juga berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin bisa masuk ke berbagai spektrum kelompok kepentingan tanpa terkesan membangun narasi yang saling berbenturan.
Poin-poin ini bisa dibilang sangat terlihat dalam cara berpolitik Anies Baswedan. Mantan Rektor Universitas Paramadina ini bisa masuk ke semua kelompok tanpa membangun narasi permusuhan, sekalipun kelompok-kelompok tersebut bisa berseberangan antara satu dengan yang lain.
Jelang Pilkada 2017 lalu misalnya, Anies sempat berkunjung ke markas Front Pembela Islam atau FPI. Pada kesempatan itu, Anies mampu berbicara dengan lugas soal Wahabi, kiprah kakeknya Abdurrahman Baswedan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, serta program-program lainnya, sehingga membuatnya bisa diterima oleh tokoh-tokoh FPI.
Sedangkan di kesempatan lain, Anies juga bisa masuk dan berbicara di hadapan kelompok Katolik misalnya, dan berbagi soal hubungan antara Mohammad Natsir, Abdurrahman Baswedan dan IJ Kasimo ketika mereka bertukar gagasan. IJ Kasimo sendiri adalah tokoh Katolik yang pernah menjadi menteri di era Soekarno.
Kemampun Anies untuk masuk ke berbagai spektrum politik dan golongan yang demikian inilah yang menjadi gambaran kecerdasan politik yang dimilikinya. Anies bisa juga menjadi simpul citra politisi jalan tengah atau sentrisme. Umumnya sentrisme diartikan sebagai paham yang mengambil hal positif dari spektrum kiri dan kanan. Dalam konteks Anies, mungkin sentrisme itu diartikan sebagai caranya untuk bisa masuk baik ke semua kubu politik.
Hal lain yang menarik juga dilihat dari Anies adalah konteks relasinya terhadap dunia internasional, terutama dengan Amerika Serikat (AS). Ini terkait bocoran kawat dari Keduataan Besar AS di Jakarta pada tahun 2009 lalu kepada Central Intelligence Agency (CIA), Defense Intelligence Agency, National Security Council, dan kepada Kementerian Luar Negeri AS. Kawat tersebut berisi permohonan aplikasi visa.
Kawat yang kemudian dimuat oleh WikiLeaks berkode 09JAKARTA1612_a ini secara spesifik menyebut Anies sebagai “sahabat AS”, kenalan pribadi Dubes AS untuk Indonesia kala itu, serta sosok “muslim moderat yang termasyur”.
Walaupun ini hanya salah satu contoh spesifik, namun sangat mungkin menggambarkan bagaimana negara seperti AS memandang Anies. Bukan rahasia lagi bahwasanya kekuasaan di Indonesia kerap ditentukan oleh restu dari negara seperti AS. Dengan demikian, pada titik ini Anies punya modal yang besar.
Ini penting mengingat Prabowo Subianto misalnya, dianggap terganjal dalam upayanya menjadi penguasa Indonesia salah satunya karena konteks dukungan ini, sebagai akibat kiprah masa lalunya di sekitaran peristiwa 1998.
Waspadai Blok Nasdem
Dari semua kekuatan yang dimiliki oleh Anies, kelemahan terbesarnya adalah tentu saja dalam konteks partai politik. Anies tak punya partai politik. Padahal, syarat utama untuk menjadi penguasa di republik ini adalah mendapatkan dukungan dari partai politik.
Poin dukungan partai politik ini akan berubah peruntungannya kalau Anies mendapatkan dukungan dari salah satu parpol. Sejauh ini, Partai Nasdem adalah yang paling sering digadang-gadang akan menjadi yang terdepan mendukung Anies.
Walaupun persentase suara Nasdem di DPR masih ada di kisaran 9 persen, namun partai ini tak bisa dianggap enteng. Apalagi jika kalkulasi terbentuknya 3 poros di 2024 benar-benar terwujud. Seperti kita ketahui, banyak pengamat memprediksi akan ada 3 poros pada Pilpres 2024 mendatang, yakni poros Gerindra-PDIP, poros Golkar dan poros Nasdem.
Konteks kuatnya posisi politik Nasdem memang tidak lepas dari sokongan finansial yang kuat. Nasdem baru punya kantor baru – Nasdem Tower – yang diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi dan disebut-sebut sebagai kantor pusat partai politik terbesar dan termegah di Indonesia.
Sosok-sosok di belakang partai ini juga tak bisa dianggap remeh. Surya Paloh sebagai Ketua Umum punya kerajaan bisnis media. Ia juga menikah dengan Rosita Barack yang merupakan adik dari Rosano Barack. Yes, keluarga Barack dikenal sebagai pengusaha yang turun-temurun membangun bisnis di Indonesia sejak era kolonialisme Belanda.
Era petualangan bisnis keluarga Barack telah dimulai sejak zaman Samsoedin Barack merantau ke Kalimantan Timur. Rosano adalah generasi ke-5 dari keluarga Barack. Bisnisnya mencakup sektor properti. Ia adalah yang empunya PT Plaza Indonesia Realty, Hotel Grand Hyatt dan lain sebagainya.
Selain nama Rosano, di Nasdem juga ada nama Riza Chalid yang sempat beberapa kali terlihat hadir dalam acara Partai Nasdem – sekalipun keanggotaannya masih belum jelas. Riza merupakan salah satu pengusaha besar Indonesia, disebut yang empunya saham maskapai Air Asia Indonesia. Nama Riza juga mencuat di sekitaran kasus “Papa Minta Saham” yang menjerat Setya Novanto.
Demikianpun dengan pengusaha-pengusaha lain, misalnya Ahmad Sahroni yang kerap dijuluki sebagai crazy rich Priok. Sahroni adalah anggota Nasdem dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Dalam beberapa kesempatan Sahroni pernah terlihat pula bersama Haji Isam, salah satu pengusaha terkaya di Pulau Kalimantan.
Ini jelas membuat Nasdem menjadi partai yang tak bisa dipandang sebelah mata. Partai ini juga “menguasai” kursi Kemenkominfo, yang nota bene di era saat ini adalah salah satu kementerian strategis. Well, masa depan politik adalah soal penguasaan data dan informasi.
Apapun itu, yang jelas jika Anies didukung oleh Partai Nasdem, sulit untuk melihat ia bisa dikalahkan oleh pesaing-pesaingnya yang lain. Dengan modal politik yang ia punyai, ditambah relasi internasional dan dukungan partai, Anies akan jadi sosok utama yang akan bersaing memperebutkan kursi RI-1 di 2024 mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)