Peningkatan kapasitas militer Tiongkok dan manuver yang dilakukan oleh negara tersebut atas Taiwan diprediksi akan memanaskan situasi politik di Asia Timur. Banyak ahli geopolitik bahkan memperkirakan Tiongkok akan menginvasi Taiwan sebelum tahun 2027. Persoalan ini nyatanya akan berdampak pada kontestasi elektoral Indonesia di 2024 mendatang. Pasalnya, pemimpin yang terpilih haruslah orang yang paham soal perang dan konflik internasional. Inilah yang menyebabkan banyak yang menilai sosok dari militer sudah seharusnya menjadi kandidat untuk memimpin Indonesia di 2024, entah sebagai capres atau sebagai cawapres.
“There is some risk involved in action, there always is. But there is far more risk in failure to act”.
::Harry S. Truman, Presiden ke-33 Amerika Serikat::
Bicara soal kepemimpinan militer dalam kaitan dengan konflik global atau perang memang selalu menjadi sebuah tajuk yang menarik untuk didiskusikan. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR) yang adalah seorang sipil, kerap dianggap sebagai salah satu presiden yang terbesar sepanjang sejarah negeri Paman Sam itu. Namanya bahkan disejajarkan dengan sosok macam George Washington hingga Abraham Lincoln.
Ini karena kepemimpinan FDR pasca The Great Depression sukses membawa AS keluar dari track keterpurukan menuju pembangunan ekonomi yang masif. FDR juga dianggap mampu memimpin AS di sepanjang gelaran Perang Dunia II.
Namun, banyak pula kritik yang datang ke FDR, utamanya saat Perang Dunia II. Ini karena latar belakangnya yang berasal dari sipil membuat pendekatan dan kebijakan yang diambilnya saat perang dianggap lebih lambat, kurang taktis, dan berujung pada perang yang berlangsung cukup lama. AS juga total harus menghabiskan anggaran hingga US$ 4 triliun sepanjang perang tersebut.
FDR kemudian meninggal pada 12 April 1945. Ia digantikan oleh Wakil Presiden-nya saat itu, Harry S. Truman, yang berlatar belakang militer. And guess what, Truman adalah orang yang justru berhasil mengakhiri Perang Dunia II. Latar belakangnya sebagai prajurit angkatan darat AS membuat cara berpikirnya dianggap jauh lebih taktis dan cepat dalam membuat kebijakan.
Truman adalah orang yang memerintahkan penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki – yang walaupun melahirkan efek destruktif yang besar – tapi justru dianggap lebih cepat mengakhiri perang dan menghindarkan kerusakan yang jauh lebih besar. Ini juga membuat nama Truman disandingkan sebagai salah satu presiden yang mampu mengukuhkan posisi AS di kancah politik internasional.
Kisah FDR dan Truman ini mungkin akan jadi refleksi yang menarik untuk dilihat kembali dalam konteks refleksi kepemimpinan militer, termasuk dalam kaitannya dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia untuk tahun 2024 mendatang.
Ini karena kondisi geopolitik di sekitaran tahun 2024 disebut akan memanas, seiring narasi perang antara Ukraina dan Rusia, serta provokasi yang terjadi antara Tiongkok dan Taiwan. Para ahli politik bahkan berani memprediksi Tiongkok akan menginvasi Taiwan sebelum tahun 2027.
Dengan latar tokoh militer yang dianggap jauh lebih paham soal konflik dan perang, tentu banyak yang menilai kandidat militer layak untuk didorong pada Pilpres 2024 mendatang. Pertanyaannya adalah mengapa demikian dan kandidat militer seperti apa yang cocok?
Militer Zeitgeist Politik 2024
Salah satu alasan utama kepemimpinan militer dianggap cocok dalam kondisi krisis keamanan dan perang adalah karena efektivitas pembuatan kebijakan yang dianggap lebih sesuai dengan situasi kegentingan. Tokoh dari militer dianggap sudah terlatih menghadapi situasi yang sulit dalam pertempuran atau perang, sehingga sanggup membuat kebijakan dengan jauh lebih efektif.
Jika mengacu pada konsep Remarkable Trinity yang digariskan oleh Carl von Clausewitz – seorang jenderal Jerman dan teoritikus militer – kepemimpinan saat era perang menuntut sang pemimpin untuk menyeimbangkan 3 aspek penting dari negara itu sendiri, yakni pemerintah, masyarakat dan militer.
Keseimbangan dukungan di antara 3 aspek ini akan menentukan negara bisa bertahan dalam kondisi dunia yang sedang berperang dan berhasil atau sukses melewatinya. Nah, sosok militer dianggap bisa membawa keseimbangan relasi di antara 3 variabel tersebut karena secara alami mereka memang dilatih untuk bisa memimpin di kondisi yang paling sulit sekalipun.
Apalagi, perang setidaknya melibatkan 3 dimensi, yakni dimensi manusia, dimensi politik, dan dimensi ketidakpastian. Kepemimpinan militer dianggap bisa lebih mampu menghasilkan kebijakan yang efektif terkait 3 dimensi tersebut, utamanya dalam konteks ketidakpastian.
Kemudian, mengutip gagasan Georg W. F. Hegel tentang Zeitgeist atau roh zaman, banyak pihak menilai sosok militer adalah kepemimpinan yang sesuai dengan roh zaman di sekitaran tahun 2024. Konsep Zeitgeist ini sebenarnya juga terjadi di Indonesia di era-era kepemimpinan sebelumnya.
Soekarno misalnya, dianggap menjadi representasi paling cocok untuk memimpin Indonesia di sekitaran tahun 1945 karena menjadi Zeitgeist dari era itu, di mana masyarakat butuh orator yang bisa membakar semangat juang.
Sementara Soeharto jadi semangat zaman pasca tragedi 1965. Kemudian BJ Habibie adalah Zeitgeist di masa transisi, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur jadi pembuka jalan untuk pluralisme, dan Megawati Soekarnoputri menjadi simbol transisi demokrasi.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali jadi penguat demokrasi dan status militernya memperkuat citra Indonesia di internasional. Sedangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkenal dengan narasi pembangunan yang diusungnya lewat infrastruktur.
Nah, untuk 2024, kepemimpinan akan lebih tepat jika diberikan kepada sosok militer – entah sebagai presiden atau sebagai wakil presiden. Kombinasi sipil-militer atau militer-sipil dianggap akan memampukan Indonesia keluar dari kesulitan-kesulitan yang sangat mungkin akan terjadi di sekitaran tahun-tahun tersebut.
Militer Yang Seperti Apa?
Tentu pertanyaan yang kemudian muncul adalah militer seperti apa yang dibutuhkan? Pasalnya, tidak semua sosok dari militer cocok untuk menjadi pemimpin negara.
Jika menggunakan ukuran pengalaman dan kemampuan pribadi, tokoh militer yang dibutuhkan haruslah yang berstatus “Paket Komplit”. Rumusan ini mengacu pada tokoh yang punya semua pengalaman di bidang militer dan sipil.
Di bidang militer misalnya, tokoh tersebut haruslah pernah berkecimpung dalam kepemimpinan territorial atau berstatus sebagai tentara territorial. Dengan kata lain, yang bersangkutan pernah memimpin di komando militer daerah. Ini juga ditandai dengan prestasi-prestasi yang pernah diraihnya.
Kemudian, sosok militer tersebut juga harus punya pengalaman tempur. Ia pernah terjun ke wilayah konflik, misalnya di Aceh, Timor Leste, Papua, dan wilayah lain di Indonesia. Sosok yang bersangkutan juga paham dan pernah ada di lembaga intelijen – baik intelijen militer, maupun intelijen negara. Ini penting karena menjadi bukti kemampuan yang bersangkutan dalam membaca isu-isu keamanan negara dan masyarakat.
Lalu, yang tidak kalah penting adalah yang bersangkutan harus bebas dari track record pelanggaran HAM atau perbuatan melawan hukum lainnya. Ini penting untuk menjamin yang bersangkutan taat hukum dan bisa menjadi panutan masyarakat.
Sementara di bidang sipil, tokoh tersebut minimal pernah ikut dalam pemerintahan sipil. Misalnya, pernah menjabat sebagai kepala daerah, atau memimpin lembaga sipil lainnya. Hal ini penting, mengingat konteks kepemimpinannya nanti di level negara akan bersinggungan dengan masyarakat sipil. Dengan demikian, sosok yang bersangkutan harus paham hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat sipil.
Poin-poin ini akan menjadikan sosok yang bersangkutan tidak hanya menjadi tokoh militer yang kompeten, tetapi juga pemimpin negara yang komplit. Jika sosok yang demikian ini menjadi pemimpin, niscaya persoalan-persoalan negara di tengah panasnya situasi internasional pada tahun 2024 mendatang bisa ditangani dengan baik.
Pada akhirnya, harapan untuk terpilihnya tokoh berlatar militer masih cukup tinggi. Jika ada sosok militer yang tepat dan berani maju di Pilpres 2024 mendatang serta memenuhi semua kriteria yang sudah disebutkan, niscaya Indonesia bisa berjalan dengan lebih baik.
Sebab, seperti kata Truman di awal tulisan ini, bahwasanya setiap tindakan atau kebijakan memang punya risiko masing-masing. Namun, risikonya lebih besar jika seorang pemimpin gagal mengambil tindakan dan membuat keputusan untuk mengatasi masalah tertentu. Dan sejarah sudah membuktikan bahwa tokoh militer tidak pernah gagal membuat keputusan, apapun risiko yang harus diambil. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)