Dengarkan artikel ini:
Media sosial (medsos) dibuat ramai oleh posting-an lama akun bernama Fufufafa. Sejumlah post dari akun yang dikait-kaitkan dengan Gibran Rakabuming Raka itu bahkan menjelekkan Prabowo Subianto dan keluarganya.
“Goodbye, old friend.” – Lord Varys, “The Bells” dalam Game of Thrones (2011-2019)
Sampai jumpa, kawan lamaku. Begitulah kurang lebih kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Lord Varys sebelum akhirnya dieksekusi oleh Daenerys Targaryen.
Kata-kata ini diucapkannya kepada sahabatnya, Tyrion Lannister. Keduanya merupakan penasihat bagi Daenerys Targaryen, seorang ratu yang ingin merebut kembali takhta raja Westeros.
Namun, seiring berjalannya waktu, Varys menyadari bahwa Daenerys bukanlah orang yang tepat dan berencana untuk menggantinya dengan Jon Snow. Mengetahui hal ini, sahabatnya sendiri, Tyrion akhirnya melaporkan Varys kepada Daenerys.
Bagian cerita dari serial Game of Thrones (2011-2019) yang mencapai puncaknya di season kedelapan ini setidaknya memberikan satu pelajaran soal politik, yakni kebijaksanaan bahwa sahabat sendiri bisa saja berbeda pandangan dalam hal politik.
Hubungan interpersonal memang memiliki kaitan erat dan berpengaruh pada dinamika politik. Baik itu hubungan pertemanan maupun hubungan dendam, emosi bisa dibilang kerap mempengaruhi keputusan politik.
Keterkaitan emosi dan politik ini mungkin bisa dilihat dari bagaimana ramainya narasi soal akun bernama Fufufafa di berbagai platform media sosial (medsos). Akun ini dikait-kaitkan dengan wakil presiden (wapres) terpilih, Gibran Rakabuming Raka.
Narasi ini menjadi semakin heboh karena sejumlah unggahan lama akun tersebut justru menghina presiden terpilih, Prabowo Subianto. Bahkan, akun itu tercatat pernah menghina keluarga Prabowo.
Lantas, mengapa narasi akun lama ini bisa menjadi begitu seksi? Mengapa akun seperti ini bisa muncul atau lahir? Kemudian, mengapa kemunculan catatan lama akun ini bisa didasari oleh kepentingan politik?
Bukan Hanya Gibran, Semua Punya Second Account
Kemunculan catatan-catatan lama akun Fufufafa dan semacamnya ini sebenarnya bukanlah kebiasaan dan fenomena baru di medsos. Bahkan, sebagian besar pengguna medsos memiliki lebih dari satu akun.
Mengapa demikian? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan self-disclosure theory. Konsep self-disclosure sendiri secara sederhana dapat dipahami sebagai pembukaan atau pemberian informasi oleh seorang individu kepada individu atau kelompok lain.
Ketika kita mengunggah sebuah post di akun medsos kita, misalnya, secara tidak sadar upaya self-disclosure terjadi. Misal, saat sedang galau karena putus cinta, lirik-lirik lagu sedih yang dibagikan medsos merupakan bentuk self-disclosure.
Mengacu pada tulisan Natalya N. Bazarova dan Yoon Hyung Cho dari Cornell University yang berjudul “Self‐Disclosure in Social Media: Extending the Functional Approach to Disclosure Motivations and Characteristics on Social Network Sites”, ini merupakan bentuk self-disclosure yang mengutarakan perasaan. Self-disclosure-pun bisa masuk ke dalam beberapa kategori, seperti self-expression dan self validation.
Namun, mengapa harus second account (akun kedua)? Mengapa tidak membagikannya pada akun aslinya yang jelas-jelas memiliki identitas yang pasti?
Jawabannya adalah karena setiap lingkungan memiliki affordance yang berbeda. Affordance sendiri dapat dipahami sebagai apa-apa saja yang ditawarkan oleh lingkungannya kepada indvidu terkait.
Misalnya, ketika kita berada di acara keluarga, biasanya akan bersikap lebih sopan dan santun. Namun, ketika berkumpul bersama teman-teman sebaya, self-disclosure yang diberikanpun pasti berbeda, biasanya akan lebih lepas dan lebih terbuka.
Hal yang sama juga berlaku di medsos. Di akun asli, ada batasan norma yang menjaga agar self-disclosure mengalami seleksi. Namun, ketika affordance dalam second account mendukung, seleksi itu menjadi lebih longgar.
Demikian juga dengan anak presiden, bila itu benar milik Gibran. Self-disclosure akan menjadi lebih tidak terbatas di akun yang tidak beridentitas asli, layaknya second account pada umumnya.
Lantas, mengapa narasi Fufufafa ini kemudian diangkat di momen-momen krusial ini, yakni transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo? Mungkinkah ada kepentingan politik di baliknya?
Ada Aktor Politik di Balik Fufufafa?
Menariknya, meski ini menjadi fenomena biasa dalam budaya internet, narasi soal akun lama ini dimunculkan ketika mendekati momen-momen krusial dalam politik. Bukan tidak mungkin, ada unsur kesengajaan di balik kemunculan narasi ini.
Pasalnya, akun ini sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan, catatan akun ini tertanggal hingga tahun 2014 dan 2019, saat Pemilihan Umum (Pemilu) digelar.
Layaknya manusia pada umumnya, politisi dan pejabat juga melakukan kesalahan. Namun, karena mereka pejabat, respons publik-pun menjadi berbeda.
Mengacu pada tulisan Brendan Nyhan yang berjudul “Media Scandals Are Political Events: How Contextual Factors Affect Public Controversies over Alleged Misconduct by U.S. Governors”, skandal atau kesalahan politisi adalah sebuah event dalam politik. Publik akan beramai-ramai mengikuti “event” tersebut.
“Event” ini kemudian akhirnya diunggah dan diterbitkan secara masif oleh media. Kemudian, oposisi akhirnya juga mempolitisasi kejadian politik ini karena bisa jadi sejalan dengan kepentingan politik mereka.
Hal yang sama bisa saja terjadi dalam kasus akun Fufufafa ini. Publik dan media akhirnya langsung meramaikan “event” ini.
Pertanyaannya adalah siapa yang ada di balik ramainya akun ini. Well, siapapun yang mendorong ramainya akun ini bukan tidak mungkin memiliki kepentingan politik tertentu, misal dengan tujuan men-tidak-stabil-kan situasi politik dalam pergantian pemerintahan.
Mungkin, hanya aktor itu sendiri yang bisa mengaku siapa yang ada di balik ini. Yang jelas, mereka bisa saja diuntungkan atas ramainya akun ini. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)