Berbagai kejanggalan kebijakan pemerintah ataupun wacana politik akhir-akhir ini seperti revisi UU KPK, RKUHP, amendemen UUD 1945, ataupun masifnya politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk semakin memperlihatkan bahwa politik oligarki benar-benar terjadi di Indonesia. Namun, di luar berbagai kajian yang menyebutkan sistem politik Indonesia adalah pencampuran antara politik demokrasi dengan politik oligarki, sampai saat ini sekiranya belum terjawab mengapa politik oligarki ini dapat terjadi?
PinterPolitik.com
Selaku entitas yang menjadi konsekuensi atas perlindungan hak dasar warga negara, negara atau katakanlah pemerintah adalah pihak yang senantiasa diharapkan menjadi malaikat pelindung yang dapat mendistribusikan keadilan secara merata. Namun, alih-alih menjadi malaikat pelindung, nyatanya pemerintah justru kerap kali menimbulkan berbagai keriuhan publik karena kebijakannya yang dinilai tidak berorientasi pada kebaikan rakyat.
Terkait hal ini, kita tentu masih ingat demonstrasi besar-besaran mahasiswa di depan gedung DPR pada 23 September lalu, yang disebut sebagai demonstrasi terbesar dalam dua dekade terakhir. Demonstrasi besar tersebut ditengarai karena keputusan Presiden Jokowi dan DPR yang mengesahkan revisi UU KPK yang dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Tidak hanya perihal revisi UU KPK, tuntutan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait RKUHP yang dinilai memiliki banyak pasal-pasal kontroversial dan berpotensi untuk merugikan orang banyak.
Kemudian, baru-baru ini, berbagai wacana politik seperti amendemen UUD 1945 yang juga ingin mengubah pasal 7 agar periode jabatan presiden bertambah ataupun wacana pengembalian Pilkada tidak langsung benar-benar menjadi “bola panas” di tengah diskursus politik publik.
Padahal, selaku negara yang mengklaim diri menganut politik demokrasi – seperti apa yang dikemukakan oleh Filsuf, Jean-Jacques Rousseau – sudah seharusnya kebijakan ataupun wacana politik yang bergulir mengedepankan “kebaikan bersama” atau common good, yakni kebaikan warga negara.
Lantas, mengapa demokrasi ideal tersebut justru tidak mewujud di Indonesia?
Mengakarnya Politik Oligarki
Banyak kajian ataupun pendapat yang mengemukakan bahwa politik demokrasi di Indonesia akan sulit menemukan bentuk idealnya karena telah bercampur dengan politik oligarki. Oleh karenanya, pembuatan kebijakan ataupun wacana politik kerap kali harus disesuaikan dengan para oligark yang “bermain di belakang panggung”.
“Orang bebas untuk berpartisipasi dalam pemilihan, tetapi pemilik modal yang ada di partai politik juga akan ikut campur. Karena demokrasi berbiaya tinggi, sponsor diperlukan untuk memenuhi biaya politik, dan itu adalah sarang oligarki yang tidak memberikan apa pun secara gratis”.
Begitulah pernyataan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor yang mengomentari laju politik demokrasi Indonesia yang disebutnya merupakan pencampuran dengan politik oligarki.
Istilah oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhes – yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Merujuk pada kamus Merriam-Webster, oligarki yang sebelumnya diartikan sebagai “pemerintahan yang diatur oleh beberapa orang”, berubah menjadi “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”.
Pada konteks Indonesia, definisi oligarki yang lebih spesifik merujuk pada pandangan Profesor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters yang mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil (oligark).
Dalam tulisannya, Oligarchy and Democracy in Indonesia, Winters menyebutkan, dari semua sumber daya kekuatan politik di Indonesia, kekuatan materil (kekayaan) sejauh ini adalah yang paling terkonsentrasi, serbaguna, tahan lama, dan paling tidak dibatasi.
Yang menjadi masalah adalah, terjadi kesenjangan kekuatan materil yang begitu besar, bahkan disebut terbesar di dunia. Betapa tidak, oligark yang hanya berjumlah 2/1.000.000 atau sekitar 400 orang (dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta), mereka memiliki kekayaan bersih setara 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) – data pada 2010.
Menurut Winters, para oligark memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi Indonesia, khususnya setelah kejatuhan Soeharto pada 1998.
Pertanyaannya, kenapa para oligark ini dapat memainkan peran penting dalam laju politik?
Semenjak kejatuhan Soeharto, Indonesia tidak hanya memasuki babak baru politik demokrasi dengan berlakunya Pemilu langsung, melainkan juga telah memasuki politik berbiaya tinggi.
Sekarang pertanyaannya, berapa banyak kandidat yang memiliki kekuatan materil begitu kuat? Atas hal ini, para kandidat dan partai politik mau tidak mau harus mencari sponsor dana untuk menyongsong setiap Pemilu, yang dalam beberapa kasus adalah para oligark yang memiliki kekayaan materil berlimpah.
Seperti pernyataan Firman Noor dan Winters, ini kemudian berkonsekuensi pada transformasi politik menjadi semacam aktivitas ekonomi yang menilai untung-rugi. Selaku sponsor, para oligark tentu memiliki berbagai kepentingan yang harus disuarakan oleh para kandidat ataupun partai politik.
Dalam pandangan Winters, kekuatan materil yang dimiliki oligark sangat menarik dan penting karena itu adalah bentuk kekuatan yang paling serbaguna karena mudah diubah menjadi manifestasi bentuk kekuatan atau kekuasaan lainnya. Misalnya seperti menghasilkan produk hukum, mempekerjakan banyak orang, bahkan menyediakan persenjataan militer.
Uang adalah Akar Oligarki?
Atas kapabilitas kekuatan materil yang unik dan serba guna, tidak heran saat ini lumrah terdengar adagium yang berbunyi: “setiap orang ada harganya”. Adagium ini sendiri lumrah didengungkan dalam politik, yang berarti kesetiaan seseorang dapat ditukarkan dengan materil atau uang – atau kasarnya dapat dibeli.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa inti atau akar masalah mengakarnya politik oligarki ada pada kapabilitas kekuatan materil atau – kita sebut saja uang – karena dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk kekuatan lain.
Pada sejarahnya, uang adalah teknologi yang diciptakan manusia untuk mempermudah transaksi perdagangan, yang mana itu dapat menukar barang dan jasa. Akan tetapi, dalam perjalanannya, uang kemudian bertransformasi dengan meluaskan kapabilitasnya untuk menukar sesuatu.
Hebatnya, uang kemudian dapat menjadi alat yang bahkan dapat menukar hal-hal non-fisik seperti kesetiaan, pertemanan, kasih sayang, ataupun permintaan maaf.
Atas fenomena menarik ini, filsuf sekaligus Sosiolog Jerman, Georg Simmel terinspirasi untuk menulis bukunya yang terkenal, The Philosophy of Money. Tesis Simmel adalah the money equivalent of personal values atau uang ekuivalen dengan nilai-nilai personal.
Menurut Simmel, ini adalah imbas dari tidak terdapatnya suatu nilai intrinsik yang tetap atas objek. Artinya, nilai dari suatu objek menjadi begitu relatif, dan bergantung atas keinginan atau taksiran dari masing-masing individu.
Carsten Herrmann-Pillath dalam Georg Simmel’s Theory of Money and its Relevance for Current Neuroeconomics and Psychology, menyebutkan bahwa pemikiran Simmel tentang nilai yang relatif ini, turut mempengaruhi perkembangan “ekonomi perilaku” atau behavioral economics.
Andrzej Karalus dalam Georg Simmel’s The Philosophy of Money and the Modernization Paradigm, yang mengkontekstualisasi pemikiran Simmel dalam konteks pemikiran modern menyebutkan bahwa nilai yang begitu abstrak dan relatif tersebut dapat dinyatakan atau diwakilkan dengan mudah dengan harga atau uang.
Dengan kata lain, dengan kenyataan nilai atas suatu hal begitu abstrak dan relatif, misalnya kita tidak mengetahui apa atau berapa nilai dari suatu kesetiaan, uang kemudian dijadikan sebagai alat ukur yang mewakili nilai tersebut.
Karena kemampuannya untuk mewakili keinginan atau desire individu inilah, uang kemudian menjadi suatu orientasi yang bahkan melampaui prinsip ataupun nilai-nilai normatif.
Artinya adalah, ini adalah jawaban atas pertanyaan terkait mengapa banyak politisi ataupun partai politik menggadai idealismenya demi mendapatkan sponsor dana dari para oligark. Hal ini karena idealisme tersebut mampu ditukarkan dengan uang atau telah mendapatkan harga tertentu.
Para politisi yang pada awalnya hanya mencari sokongan dana dari para oligark, kemudian menjadi terbelunggu karena dana tersebut tidak diberikan tanpa syarat tertentu. Karena kapabilitasnya pula, uang menjadi alat pengikat kesetiaan para politisi untuk menyuarakan kepentingan para oligark yang berdiri di belakangnya.
Dengan demikian, pandangan politik tradisional yang menyebut politik adalah pertengkaran gagasan atau kekuatan pikiran, sepertinya telah tergantikan dengan pertengkaran kekuatan materil.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami, kuatnya pengaruh politik oligarki di Indonesia adalah konsekuensi dari terjadinya politik berbiaya tinggi, yang mana para politisi yang ingin berlaga di Pemilu membutuhkan sokongan dana besar dari para oligark. Kemudian, kemampuan para oligark yang dapat mempengaruhi jalannya sistem politik ini berakar dari kapabilitas uang yang dapat menjadi alat tukar nilai-nilai personal. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.