Akhir-akhir ini pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak serius memberi perhatian ke Papua, seperti dengan peresmian sejumlah infrastruktur. Di sisi lain, langkah keras masih dilakukan, contohnya dengan melabelkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris. Apakah infrastruktur hanyalah strategi pembangunan persepsi publik terhadap Papua?
“Politicians are the conductors of society and the citizens are the musicians, only when they work together, can they produce beautiful music. Otherwise, there’s only noise,” – Abhijit Naskar, penulis India
Jika kita sering melihat pemberitaan media, kita akan sadar bahwa perbincangan mengenai dinamika di tanah Papua hampir tidak pernah ada habisnya. Uniknya, kalau kita perhatikan, arus pemberitaan pun selalu muncul dari dua sudut pandang, ada kabar yang bernuansa baik, dan tidak sedikit juga yang berupa kabar tidak mengenakkan.
Kabar buruknya, seperti yang kita tahu, permasalahan kekerasan dan separatisme di Papua masih belum terselesaikan, kasus penembakan dan pembunuhan masih terjadi bahkan sampai hari ini. Karena hal ini pemerintah bahkan memberi label ‘teroris’ pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang notabene merupakan sayap militer yang radikal dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sejak April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan pada TNI dan Polri untuk tegas dalam menangani KKB. Memang, TNI dan Polri dikabarkan telah menambahkan pasukannya di Papua semenjak KKB semakin ganas menyerang aparat.
Ini kemudian disulut oleh pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo yang pernah meminta pemerintah untuk memberantas habis KKB tanpa perlu terhalang oleh permasalahan hak asasi Manusia (HAM).
Baca Juga: Gejolak Papua, Haruskah Ditindak Represif?
Kemudian di sisi lain, ada juga kabar baik yang selalu dimuncul-munculkan di tengah lalu lintas berita buruk seperti yang sudah disebutkan di atas. Yang dimaksud dengan kabar baik di sini adalah, pemberitaan mengenai upaya pemerintah untuk membangun hubungan dan keterbukaan dengan masyarakat Papua, seperti melalui dialog dan pembangunan infrastruktur.
Contohnya sudah banyak, seperti Pekan Olahraga Nasional XX (PON XX) yang diselenggarakan pada Oktober lalu, kemudian pembangunan infrastruktur seperti jalan tol Trans-Papua, dan berbagai fasilitas negara yang selalu digembor-gemborkan sejak beberapa tahun terakhir.
Lantas, mungkinkah pembangunan infrastruktur menyelesaikan masalah Papua?
Pembangunan Persepsi
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menggemborkan program unggulan yang dianggap dapat membangun konektivitas dan ekonomi di Papua, yaitu melalui pembangunan infrastruktur. Dari idenya, ini terlihat baik, karena mampu menghubungkan pemukiman-pemukiman di Papua dengan jalan tol. Namun, jika kita kemudian mengaitkannya dengan permasalahan yang ada di Papua, pembangunan infrastruktur megah menjadi hal yang patut dipertanyakan.
Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti menilai pendekatan infrastruktur yang kerap dilakukan pemerintahan Jokowi di Papua tak menjadi solusi penyelesaian konflik. Ia menilai pendekatan ini terlalu parsial untuk menjadi satu-satunya solusi.
Aisah kemudian membuktikannya dengan konflik bersenjata yang tidak henti-hentinya terjadi di Bumi Cenderawasih. Ini menandakan pembangunan ekonomi saja belum bisa menyelesaikan isu rasial dan diskriminasi yang terjadi terhadap orang Papua.
Lalu, mengapa pendekatan infrastruktur masih jadi andalan pemerintah untuk mengatasi persoalan di Papua?
Ada sebuah pandangan menarik dari peneliti Veritas Research & Consulting, Fredick Broven Ekayanta, dalam tulisannya yang berjudul Ideology and Pragmatism. Di dalamnya, Fredick berargumen bahwa pemerintah cenderung melihat wacana pembangunan infrastruktur sebagai legitimasi dari komitmennya untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Baca Juga: Jokowi Perlu ‘Politik Rekognisi’ Papua?
Ini kemudian menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai solusi pragmatis, tanpa benar-benar mengatasi akar permasalahan yang terjadi. Sayangnya, Fredick menilai pembangunan infrastruktur ini ada kecenderungan digunakan sebagai upaya menutupi suatu kenyataan yang pahit, dengan menampilkan wacana pembangunan sebagai kompensasinya.
Di dalam tulisannya, Fredick juga menilai besarnya ambisi pemerintah untuk membangun infrastruktur dapat membungkam antagonisme yang selama ini selalu diungkit oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non-pemerintah.
Sementara itu, laporan mengenai pelanggaran HAM dalam isu Papua sangat minim sekali dikabarkan. Jarang kita lihat di pemberitaan tentang upaya-upaya pemerintah untuk membangun pemulihan keluarga korban di Papua. Di sisi lain, justru penempatan personel militer dan polisi masih dilakukan, yang kemudian semakin menuai kritik.
Dengan menggeser narasi pemberitaan ke acara selebrasi dan peresmian infrastruktur, publik bisa mendapat anggapan bahwa Papua sesungguhnya sudah sangat diperhatikan. Dan memang, secara naluriah, berita mengenai acara dan pembangunan ekonomi membawa nuansa yang cukup positif. Kita hanya akan tahu suatu kebijakan pembangunan tidak efektif jika melakukan penelusuran.
Nilai-nilai seperti ini kemudian kental dengan apa yang disampaikan oleh Antonio Gramsci melalui teori cultural hegemony. Ia berargumen bahwa negara dalam mempertahankan pengaruhnya, tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan melalui paksaan ataupun kekerasan, tetapi juga perlu menunjukkan sisi kemanusiaan yang dapat menimbulkan rasa persetujuan dari masyarakatnya.
Yang dimaksud Gramsci dengan rasa persetujuan adalah, terciptanya kesepakatan bersama tentang pemerintah yang dianggap sesungguhnya sudah berbuat baik untuk negaranya. Dan ini terbukti, jika kita berbicara dengan orang banyak tentang Papua, sebagian orang akan optimis pembangunan infrastruktur dapat menyelesaikan konflik di sana.
Sebagai analogi sederhana, Gramsci mengibaratkan dua sisi yang sangat berbeda ini dengan makhluk mitologi centaurus. Sisi atasnya yang berbentuk manusia menggambarkan upaya pemerintah membentuk persepsi politik, sementara bagian bawahnya menggambarkan sisi kelam yang ingin ditutupi pemerintah.
Lantas, apakah kemudian kita bisa dengan gamblang mengatakan tindakan pemerintah terhadap Papua saat ini salah?
Antara Tongkat dan Wortel
Penetapan suatu organisasi separatisme sebagai teroris memang dapat membantu menyelesaikan masalah. Seperti di Filipina contohnya, setelah kelompok Abu Sayyaf ditetapkan sebagai teroris, negara sekitar dan negara besar seperti Amerika Serikat (AS) berbondong-bondong ikut campur dalam memberantasnya. Semenjak itu, Filipina mendapat bantuan strategis wilayah dan juga pelatihan anti-terorisme.
Meskipun begitu, Papua memiliki ciri khas sendiri, yakni permasalahannya tidak hanya bersandar pada satu organisasi, melainkan juga muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan provinsi yang telah terakumulasi selama puluhan tahun. Oleh karena itu, penetapan label terorisme terhadap KKB berpotensi menjadi pisau bermata dua yang bisa mencederai kredibilitas Indonesia.
Untungnya, pemerintah tampaknya menyadari ini, dengan tidak menurunkan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) ke Papua. Dalam arti lain, penetapan KKB sebagai teroris sepertinya bisa kita anggap sebagai gertakan.
Dari sini, penulis berpandangan, pemerintah sepertinya berupaya menjalankan konsep stick and carrot. Sederhananya, ini adalah analogi yang menggambarkan praktek imbalan dan hukuman oleh pemerintah berdasarkan respons apa yang akan dilakukan oleh lawan bicaranya. Hukuman yang akan diberikan pemerintah di kasus Papua adalah penetapan label teroris, sementara imbalan yang diberikan berupa sejumlah program pembangunan.
Baca Juga: Pasifik, Resolusi Papua ala Retno?
Penggunaan konsep ini bisa dianggap sebagai jawaban yang tepat untuk mengatasi konflik yang sifatnya sensitif secara ekonomi, sosial, dan kultural, namun menimbulkan korban jiwa.
Masalahnya, carrot yang hendak diberikan oleh pemerintah belum pernah dalam bentuk yang tepat. Pembangunan infrastruktur dan komersialisasi mungkin akan berpengaruh baik di wilayah tertentu, tetapi tidak di Papua yang masih sangat kental akan masalah diskriminasi.
Sehingga, persepsi yang ingin ditanamkan pada masyarakat melalui program-program ini masih mendapat kritik yang keras. Jika ingin menyelesaikan masalah secara non-kekerasan, pemerintah harus berani menanggapi sejumlah aduan mengenai pelanggaran HAM.
Walaupun demikian, ada hal yang perlu kita apresiasi dari upaya pemerintah, yaitu penggunaan konsep smart power. Konsep ini dikenalkan oleh Joseph S. Nye, yang singkatnya menjelaskan tentang perlunya gabungan antara kekuatan keras dan kekuatan lunak untuk mengatasi suatu konflik, terutama untuk masalah Papua yang memang sangat kompleks.
Pemerintah perlu membuka jalur humanis dengan Papua, tapi di sisi lain pemerintah tidak bisa menganggap pembunuhan yang dilakukan KKB sebagai hal yang patut diabaikan Oleh karena itu, penempatan aparat untuk menangani mereka relatif bisa dianggap cukup tepat.
Pendekatan lunak oleh pemerintah memang mulai dilakukan, selain acara-acara di Papua, pemerintah pun membuka gerbang komersil Papua pada negara-negara Pasifik Barat yang mayoritas memiliki etnis sama dengan warga Papua.
Namun, ini belum bisa dianggap sebagai solusi yang sempurna. Pemerintah masih harus merombak pendekatan lunak, masih harus mencari ‘wortel’ yang tepat untuk dapat benar-benar mengambil kepercayaan dan simpati dari warga Papua yang masih tertindas. Tentu, salah satunya adalah tentang permasalahan HAM. (D74)