Ryamizard Ryacudu menerawang kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mumpuni, jika pemerintah fokus pada industri pertahanan. Apakah ia bermimpi di siang bolong?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]engapa bisa disebut sebagai mimpi di siang bolong? Penjelasannya memang akan panjang, namun bisa dipastikan, mengandalkan industri pertahanan untuk meningkatkan ekonomi, akan sangat jauh panggang dari api.
Industri pertahanan di Indonesia punya sejarah panjang berliku yang pelik. Mewujudkan Indonesia sebagai pemimpin ekonomi terdepan dengan memfokuskan diri pada industri pertahanan, bukanlah hal yang mudah.
Permasalahan yang dihadapi bahkan tak jarang bersumber dari dalam Kementerian Pertahanan dan lembaga terkait sendiri. Dari sana, pernyataan Ryamizard yang diucapkannya pada Kamis (11/1) di sela-sela Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan tersebut, malah seakan memperlihatkan betapa rendah pemahaman dirinya mengenai badan yang dinaunginya sendiri.
Ryamizard juga mengatakan, peningkatan kualitas persenjataan (alutsista) harus ditingkatkan kualitas produksinya. “Sehingga kalau kita mengajak orang ke sini untuk membuat dan membeli, dia sudah tahu,” sambungnya. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Perancis, dan Inggris, tak luput disebutnya sebagai negara dunia pertama yang maju berkat ditopang oleh industri pertahanan dalam negerinya.
Jika pernyataan Ryamizard ini dihadapkan kembali pada realitas yang ada di dalam negeri, apa saja hambatan yang dihadapi? Sejauh apa kita dari mimpi besar Ryamizad di siang bolong itu?
Produksi Baja Menyedihkan
Jika membicarakan industri pertahanan dan produksi alutsista, seperti yang diungkapkan oleh Ryamizard Ryacudu, maka wajib pula membahas bagaimana bahan baku alutsista seperti senjata, helikopter, serta tank dibuat. Terutama karena peralatan-peralatan tersebut membutuhkan baja dan bijih besi sebagai bahan bakunya.
Bijih besi merupakan modal awal untuk membuat besi dan baja, biasanya didapatkan dalam bentuk magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), siderite, atau limonit. Intinya, bahan ini sangatlah kuat dan punya daya tahan yang sangat lama, meski rawan keropos. Inilah bahan paling utama untuk membuat peralatan alutsista.
Nah, Indonesia sendiri memiliki beberapa titik produksi bijih besi yang keberadaannya menyebar. Tiga besar produsennya terletak di Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan di tahun 2017, produksi bijih besi mengalami lonjakan dari tahun sebelumnya, namun harganya jadi mengalami tren menurun akibat surplus pasokan tersebut. Padahal, melambungnya harga bijih besilah yang mendorong produsen untuk memacu suplai baru.
Di daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan dan Tengah, perusahaan yang menjadi produsenutama adalah PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO). Hanya saja, dalam mengolah dan memurnikan bijih besi, PT. SILO masih terkendala dengan masalah infrastruktur. Hal ini disampaikan langsung oleh Chief Operating Officer (COO) PT. SILO, Henry Yulianto.
Menurut Henry, ketidaksiapan infrastruktur menjadi penyebab bijih besi produksi PT SILO sulit bersaing di pasar dunia, karena tidak mampu menurunkan harga. Malangnya lagi, walaupun upayanya telah digenjot dengan maksimal, produksi bijih besi di seluruh Indonesia masih belum dapat menutupi 50 persen kebutuhan dalam negeri. Bila melihat realitas yang ada, maka terpenuhinya produksi bijih besi semakin menemui jalan yang panjang.
Selain itu, Ryamizard juga sepertinya perlu kembali diingatkan akan ketiadaan riset dan biaya yang diperlukan untuk menggenjot produksi bijih besi. Riset yang dilakukan oleh LIPI dan mahasiswa dari metalurgi menyebut, kebutuhan bijih besi di Indonesia sangatlah tinggi dan banyak dibutuhkan untuk infratsruktur, transportasi, dan energi. Namun sayangnya, peningkatan bijih besi belum dilirik dan disadari oleh pemerintah sebagai komoditas yang sangat dibutuhkan dalam mendukung pertumbuhan Indonesia.
Karena itu, wajar jika pemerintah tidak memberi perhatian berlebih pada kesiapan dana dan pengembangan riset untuk memantapkan infrastruktur pencarian bijih besi. Keterbatasan dana pula yang turut mengekang para pegiatnya, dalam melebarkan daerah pertambangan bijih besi.
Kalimantan sebagai salah satu daerah produsen bijih besi terbesar di Indonesia, sebetulnya masih memiliki potensi lain di sekitar daerah tersebut, yakni di daerah Pantai Paniti yang bertempat di Kalimantan Tengah. Tapi sayangnya, sumber daya tersebut tidak dapat diberdayakan karena di atasnya berdiri PT Salim Ivomas Pratama (SIMP) milik Salim Group yang menggunakan lahan tersebut untuk tanaman sawit.
Seperti yang dikatakan Henry, upaya menggenjot produksi bijih besi bila tidak dibarengi dengan kesiapan, hanya akan menempatkan Indonesia dalam posisi terjepit. Apalagi, Pemerintah sepertinya masih fokus dengan impor bijih besi, ketimbang memaksimalkan produksi dalam negeri. Tak heran bila saat ini, Indonesia masih bergantung pada impor bijih besi dari Tiongkok.
Kondisi ini juga diamini oleh Direktur Jenderal Basis Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto. Menurutnya, selama ini bahan baku produk baja sebagian besarnya memang masih diimpor. Setali tiga uang dengan apa yang dipaparkan oleh penelitian LIPI, menurutnya, bijih besi yang dihasilkan Indonesia masih sangat minim, sehingga bila tidak dikendalikan akan dapat habis dalam waktu dekat.
Karena Indonesia belum mampu memaksimalkan produksi bijih besi, ini berimbas pada industri pertahanan. Pada akhirnya, negara harus terus bergantung pada impor senjata dan peralatan alutsista lainnya. Tak main-main, Indonesia bahkan menempati posisi pengimpor senjata terbesar kedua di ASEAN.
Panggang Jauh dari Api?
Selain berbelitnya proses produksi bijih besi di Indonesia, badan usaha yang seharusnya menangani persediaan bahan utama alutsista ini pun tak luput dari cela. Krakatau Steel, misalnya, perusahaan yang sudah sekarat ini, petingginya baru saja terbelit kasus korupsi karena terlibat kongkalikong dalam pembelian lahan dan izin dengan Bupati Cilegon, Banten.
Krakatau Steel sebagai badan usaha milik negara (BUMN) di sektor pertambangan pertama Indonesia, saat ini tengah mengalami kepailitan. Sejak awal berdirinya, perusahaan yang dirintis oleh Presiden Soekarno ini memang membawa semangat untuk mendukung pertumbuhan industri nasional.
Dengan bantuan Uni Soviet, yakni perusahaan bernama Tjazpromexport, Krakatau Steel menancapkan industri terpadunya pertama kali di Cilegon, Jawa Barat, di tahun 1962. Saat terjadi gejolak politik G30S PKI, pembangunannya sempat terhambat, hingga akhirnya diambil alih oleh pemerintahan Soeharto di tahun 1971.
Sejak saat itu, Krakatau Steel mengejar ketertinggalannya dengan mempercepat pembangunan industri baja terpadu di Indonesia. Ini bisa dilihat dari serangkaian peresmian unit-unit pabrik dan sarana pendukungnya, dari pabrik besi beton, besi profil, dan pendirian pelabuhan Cigading.
Senjakala yang dihadapi Krakatau Steel juga menjerat beberapa politisi dan petinggi perusahaan ke jeruji besi, karena terkait dengan kasus korupsi. Kondisi ini merupakan tanda bagaimana sulitnya mengurus dan memperbaiki keadaan internal industri milik negara yang bergandengan dengan kementerian pertahanan ini.
Bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat dan Rusia, sebagai negara besar yang dijadikan acuan oleh Ryamizard, industri pertahanan Indonesia tentu bukan tandingannya. Indonesia memang menempati peringkat keenam di Asia sebagai produsen baja terbesar, tetapi sayangnya, hasil tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan, bahkan di dalam negeri sendiri.
Amerika dan Rusia adalah negara yang memproduksi sendiri bijih besinya. Mereka juga menjadi produsen terbesar di dunia, di bawah Tiongkok. Rusia yang juga banyak dibantu dengan produksi dari Ukraina, dapat menghasilkan 112.000 juta ton bijih besi. Sedangkan Amerika mampu menghasilkan 43.000 juta ton dalam tiap produksinya.
Nah, Indonesia tak menutup kemungkinan pula bisa menjadi raja atau produsen bijih besi terbesar, bila Kementerian Perindustrian turut mendukung pelebaran wilayah ‘penambangan’ bijih besi di Indonesia.
Di samping jauhnya mimpi Ryamizard kepada kenyataan, bukan berarti mimpinya tertutup sama sekali. Airlangga Hartanto, selaku Menteri Perindustrian (Kemenperin), nyatanya sudah berupaya membuka jalan untuk mempercepat pembangunan klaster industri baja.
Selain itu, Airlangga juga kabarnya tengah berencana menggenjot produksi bijih besi nasional hingga mencapai 4 juta ton per tahun. Nah, bila Menteri Perindustrian sudah mulai membuka jalan seperti ini, barangkali mimpi Ryamizard tersebut akan menemui kenyataannya di masa mendatang. (Berbagai Sumber/A27)