Presiden Jokowi gemar menggunakan motor dalam berbagai aktivitasnya. Mulai dari chopper, trail hingga motor listrik. Imaji yang sedang dibangun adalah Indonesia bisa memproduksi teknologi semacam ini, namun nyatanya apakah bisa?
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]elama 5 tahun menjabat sebagai Presiden, Jokowi kerap menggunakan motor dalam berbagai aktivitasnya. Yang terbaru, Jokowi menggunakan motor listrik Gesits mengelilingi komplek istana negara. Selain itu, di Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019, Kawasaki W175 milik Jokowi juga dipamerkan.
Di kunjungan Jokowi ke jalan Trans Papua, sembari nge-vlog dia juga menggunakan motor trail Kawasaki KLX. Di Kesempatan lain, tatkala berkunjung ke Asmat, Jokowi menggunakan motor WIM Zero 8I. Yang paling terkenal tentu saja, motor seharga 140 juta milik Jokowi chopper royal Enfield Bullet 350 cc yang viral.
Penggunaan motor ini nampak sebagai sesuatu yang biasa saja, jika melihatnya sebagai sebuah fenomena partikular, namun fakta penggunaan motor ini menjadi berbeda sebab dia dipergunakan oleh seorang kepala negara.
Pertimbangan penggunaan motor tersebut tentu beragam, namun ada sesuatu yang ingin ditunjukkan Jokowi. Dua motor yang digunakan Jokowi di kunjungan ke Asmat dan di komplek istana menggunakan mesin listrik. Hal ini senada dengan rencana pemerintah untuk membuat terobosan dalam dunia otomotif dan energi terbarukan. Pemerintah sendiri sudah bersedia dan akan menfasilitasi pabrikan lokal Gesits.
Dua kejadian tersebut adalah tanda yang dimunculkan Jokowi. Di kali lain, Jokowi menggunakan motor chopper, sebagai unjuk agar industri kreatif di Indonesia segera dibangun dengan serius, salah satu contohnya yaitu di bidang, lagi-lagi, otomotif.
Di dua kesempatan lain, IIMS dan menjajal trans Papua, Jokowi dipersiapkan tim menggunakan motor pabrikan rekanan dekat pemerintah Indonesia di bidang otomotif, Kawasaki dari Jepang. Jepang sudah dikenal lama menanamkan modal di Indonesia, terlebih di bidang manufaktur.
Gambaran pola penggunaan motor Jokowi ini tentu tidak hanya diperuntukkan demi kepentingan keamanan dan juga kepraktisan penggunaan, namun ada satu niat tertentu. Yang tidak disadari adalah bahwa jika kita menelisik lebih dalam, ada satu kesadaran yang melandasi seluruh kerja kepraktisan penggunaan motor tersebut, yaitu apa yang disebut dan sering menjangkiti negara dunia ketiga, sebuah kesadaran industrialis.
Kesadaran industrialis tumbuh dari cita-cita negara berkembang untung mengembangkan negaranya dengan menggunakan industrialisasi secara maksimal. Kesadaran industrialis memiliki corak persis seperti bagaimana industri di negara-negara berkembang tumbuh. Industri yang berbasis pada prekarisasi, tidak adanya alih pengetahuan, dan peka dengan lingkungan sosial dan alam.
Kesadaran ini yang banyak bercokol di negara-negara berkembang, termasuk Presiden Jokowi, yang bisa jadi tidak sadar, dan lalai bahwa sejatinya Indonesia sendiri belum bisa masuk dalam kategorisasi sebagai negara industri, namun kesadaran industrial yang bercokol palsu, sebab imaji industri sebagai yang baik tidak selamanya terjadi.
Posisi Industri Indonesia
Untuk menjadi negara industrial, Indonesia harus memenuhi syarat ekonomi tertentu. Para pemikir ekonomi modern yaitu Allan Fisher, Colin Clark dan Jean Fourastie merumuskan tiga pembagian sektor ekonomi yang terdiri dari material mentah (primer), manufakturing (sekunder), dan jasa (tersier), ketiganya bergerak secara gradual.
Indonesia baru akan masuk sebagai negara industri, maka yang harus dimiliki Indonesia agar bisa menjadi negara industrial secara utuh dan setidaknya bisa melaju ke tahap lanjutannya yaitu dengan mampu mengekstraksi dan mengumpulkan seluruh kekayaan alam, mulai dari pertanian, perhutanan, pertambangan dan perikanan. Begitu menurut kualifikasi yang dibuat oleh C.D Scott.
Industri terbentuk dari pabrik berskala besar, dengan bertumpu pada lini produksi, yang akan membentuk klasifikasi kerja dan membuat otomatisasi, yang akan menggunakan komputer dan robot di kemudian hari.
Industri biasanya berkarakteristik memroduksi yang berat, dengan perlengkapan yang besar dan fasilitas, mesin, serta bangunan yang berskala besar, dan kompleks dalam perjalanan prosesnya. Industri berat ini biasanya akan berkisar pada produksi artileri, permesinan, dan pertambangan. Industri kimia dan listrik menjadi cikal bakal dari industri otomotif dan penerbangan di kemudian hari.
Copper Jokowi menggendong industri nasional? Share on XMenurut Morris Teubal Jepang dan Korea menjadi negara dengan mengembangkan industri berat, maka muncullah Fuji Heavy Industries dan Hyundai Heavy Industries. Di Indonesia, industri berat hanya ada di bidang pertambangan.
Di dunia pertambangan Indonesia, ada beberapa komoditas yang digarap, di antaranya yaitu minyak bumi, batu bara, timah, bijih besi, emas, tembaga, intan dan nikel.
Sebagai contoh saja, bijih besi (iron ore) sebagai bagian terpenting dari satu gerak industri berat. Bijih besi hasil manufaktur di Indonesia selalu diekspor secara mentah. Sampai tahun 2018, baru ada sekitar 27 smelter di Indonesia, dengan hanya 4 smelter besi.
Dan sekitar jenis industri lain di Indonesia masih mengandalkan bahan baku dari luar, sehingga harus mengimpor dalam proses produksi, porsinya besar sekitar 64%. Sektor yang dicakup mulai dari permesinan, otomotif, elektronik, kimia, makanan. Tekstil dan pulp. Dan dominasi nilai produksi industri nasional tersebut sebesar 80%, dan menyerap 65% tenaga kerja Indonesia.
Jadi yang terjadi di industri Indonesia adalah bahan mentah tersebut diekspor keluar dan diolah di sana menjadi bahan semi jadi lalu diimpor oleh Indonesia sebagai bahan baku utama. Ini bertentangan dengan cita-cita hilirisasi olah sumber daya alam dalam negeri.
Perusahaan pengolahan bijih besi terbesar yaitu PT Meratus Jaya Iron and Steel, bentukan dari Krakatau Steel dengan Aneka Tambang, dengan kapasitas 315 ribu ton per tahun, itu pun masih harus impor, jika pun bisa membangun bijih besi jadi harus tetap mengimpor 55% kebutuhannya dari luar.
Perusahaan-perusahaan lain seperti PT Delta Prima Steel dan PT Sebuku Lateritic Iron and Steel, dan PT Jogja Magasa Iron and Steel yang ke semuanya bisa ditotal akan menghasilkan sejumlah 11 juta ton produksi bijih besi nasional per tahun.
Konsumsi baja Indonesia sendiri terbilang relatif kecil, sehingga mencerminkan bagaimana perindustrian kita. Indonesia bertengger di angka 26,2 kg per kapita. Bandingkan dengan Malaysia yang 278,9 kg dan Thailand sebesar 204 kg. Seluruh data adalah hasil dari Kementrian Perindustrian Pemerintah Indonesia.
Industri di Indonesia dikuasai oleh Jepang dan Amerika Serikat (AS). Sebanyak 87% investasi Jepang di Indonesia berada di sektor manufaktur. Yang menarik adalah semua bahannya berasal dari Jepang, dan Indonesia hanya merakit semata. AS sendiri mengucurkan sekitar USD 853,7 juta, dengan pertambangan sebagai yang paling unggul, sekitar USD 7,2 miliar.
Maka dengan menggunakan seluruh kualifikasi negara industri, Indonesia belum masuk seutuhnya sebagai negara industri. Untuk menjadi negara industri seutuhnya saja Indonesia masih kesusahan, dan hal tersebut yang menjadikan kesadaran kita masih parsial soal perkembangan teknologi di masa mendatang.
Mencoba menduduki sepeda motor modifikasi di arena pameran Indonesia Motorcycle Show 2018 di Jakarta, siang tadi.
Produksi sepeda motor di Tanah Air sudah diekspor ke 45 negara. Yang menggembirakan, komponen lokal di industri sepeda motor Indonesia rata-rata di atas 90 persen. pic.twitter.com/QD3pWMiH5B
— Joko Widodo (@jokowi) November 3, 2018
Masa Depan Teknologi Indonesia
Revolusi industri 4.0 mengharuskan kita memiliki satu kesadaran teknologis yang utuh. Satu bentuk kesadaran yang tidak tumbuh dari prekarisasi dan sistem automatisasi. Kesadaran teknologi menuntut kita untuk mencipta, dan hal tersebut dituntut dalam revolusi industri 4.0. Sementara Indonesia tampak masih jauh menuju hal itu.
Seperti apa yang dituangkan oleh Martin Heidegger dalam tulisannya, bahwa teknologi yang teknis justru mengalienasi manusia dari dunia. Teknologi seharusnya mampu mencipta, dia adalah sebuah tindakan penyibakan terhadap realitas, dan yang teknologis harus bisa memunculkan yang estetis yang kreatif. Dan seluruh kategori tersebut semuanya dibutuhkan dalam industri 4.0.
Kesadaran industrial harus diperbaharui dan ditingkatkan, sehingga kita tidak ketinggalan. Tantangan Jokowi adalah tidak hanya mewacanakan perkembangan industri, sebab jika hanya demikian akan menjadikan gembar-gemboran industri 4.0 hanya sebatas jualan politik semata, bukan buah industri kreatif di dunia yang makin kompetitif melaju bersama teknologi 4.0.
Hal inilah yang bertolak belakang dengan ambisi manufaktural Jokowi, apa yang didambakan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Kesadarannya tidak sejalan dengan gerak pemerintah dalam hal industri. (N45)