Lembaga asing pemantau Pemilu sejatinya telah lama hadir dalam konteks demokrasi di Indonesia dan menjadi lembaga penentu di setiap krisis politik dan transisi demokrasi. Lantas mengapa kubu oposisi kini berbondong-bondong memviralkan tagar #IndonesiaCallsObservers? Mungkinkah Indonesia kini tengah mengalami krisis politik yang cukup parah?
PinterPolitik.com
“I’ve used the prestige and influence of having been a president of the United States as effectively as possible. And secondly, I’ve still been able to carry out my commitments to peace and human rights and environmental quality and freedom and democracy and so forth” ~ Jimmy Carter
[dropcap]R[/dropcap]amai-ramai tagar #IndonesiaCallsObservers meriuhkan jagat maya beberapa waktu belakangan ini. Tagar ini bahkan sempat menjadi trending topic worldwide dalam beberapa lama di Twitter.
Tagar ini sejatinya digaungkan oleh kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang tengah berjuang dalam kontestasi Pilpres 2019 ini.
Munculnya tagar ini bertujuan untuk “memanggil” partisipasi lembaga internasional pemantau Pemilu karena ketidakpercayaan terhadap independensi lembaga penyelenggara Pemilu – dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu.
Lembaga pemantau internasional akan bekerja dalam situasi krisis politik Share on XTagar ini pun akhirnya menuai banyak kontroversi. Ada yang mendukung, ada pula yang mempertanyakan urgensi adanya para pemantau internasional tersebut.
Perwakilan Asia Network For Free Election (ANFREL) – salah satu lembaga asing pemantau Pemilu di Indonesia – Lestari Nurhayati, menyebut bahwa sejatinya kehadiran pemantau Pemilu bukanlah hal yang baru.
Menurutnya, tagar #IndonesiaCallsObservers tersebut akan berdampak serius, di mana ketika sebuah negara meminta bantuan asing untuk dipantau dan diawasi, maka bisa jadi akan ditanggapi oleh otoritas internasional – misalnya PBB – dan memungkinkan mereka mendatangkan perangkatnya untuk ikut campur urusan dalam negeri Indonesia.
Tentu menarik untuk kembali mengulas peran dan fungsi lembaga pemantau internasional ini, mengingat segala polemik yang timbul di sekitaran wacananya dalam Pemilu 2019 kali ini.
Lalu, bagaimana sesungguhnya memaknai kemunculan tagar #IndonesiaCallsObservers ini? Apakah Indonesia benar-benar butuh pemantau internasional, ataukah ada maksud lain di balik viralnya tagar ini?
Urgensi Pemantau Internasional
Di tahun 1990-an, Indonesia pernah berada pada krisis politik terburuk sepanjang sejarah. Di era tersebut, Indonesia menghadapi gelombang demokratisasi yang berakibat pada tumbangnya 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru dan masuknya negara ini ke garis waktu yang disebut sebagai periode reformasi.
Pada saat transisi pemerintahan itulah, diketahui bahwa peran lembaga asing pemantau Pemilu mulai beroperasi untuk mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.
Urgensi pemantau asing ini sejatinya penting dalam kondisi transisi kepemimpinan tersebut, mengingat pergantian rezim militer menuju sipil harus diawasi untuk menghindari upaya-upaya kekerasan yang tidak diinginkan.
Menurut Bjornlund dalam buku Beyond Free and Fair, pemantauan Pemilu internasional adalah aktivitas pengumpulan informasi dan penilaian publik mengenai proses Pemilu berdasarkan standar universal tentang kontestasi elektoral yang demokratis dan dilakukan oleh organisasi asing atau internasional.
Sahabat semua, kita butuh Carter Centre di Indonesia. Mention akun @CarterCenter agar mereka datang ke Indonesia..!!
Undangan @KPU_ID kpd KPU negara lain itu cm basa basi, mrk bkn pengawas pemilu. Jgn mau di kadali..!! #IndonesiaCallsObservers
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) March 26, 2019
Dalam ranah kerjanya, lembaga ini harus memegang teguh komitmen netralitas untuk menjaga kepercayaan publik dan dunia internasional terhadap integritas dari proses Pemilu itu sendiri.
Namun sejatinya, eksistensi lembaga pemantau internasional ini tak terlepas dari adanya kepentingan “ekspor” demokrasi yang gencar digalakkan oleh Amerika Serikat (AS) di era 1980-an.
Oleh karenanya, untuk mendorong penerapan demokrasi, 14 perwakilan negara anggota PBB membentuk organisasi intrapemerintah yang dinamakan The International Institution for Democracy and Electoral Assistance (The International IDEA).
Selain melalui PBB, AS juga mulai memfokuskan kebijakan luar negerinya untuk mendorong demokrasi ke mancanegara demi mengimbangi penyebaran paham komunisme yang muncul selama era Perang Dingin.
Bahkan, kala itu AS memiliki anggaran mencapai US$ 700 juta yang diberikan kepada beberapa lembaga non-pemerintah yang melakukan pemantauan Pemilu, seperti The International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI), The Carter Center, dan International Foundation for Electoral Systems (IFES).
Dalam konteks Pilpres kali ini, KPU telah mencatatkan 51 lembaga pengawas Pemilu, di mana hanya ada 2 lembaga asing yang terlibat, yakni Asia Democracy Network dan ANFREL – walaupun lembaga tersebut juga menyebutkan bahwa ada 33 negara yang akan terlibat dalam aktivitas pemantauan tersebut.
Keduanya adalah lembaga yang memiliki reputasi mengawal Pemilu di beberapa begara Asia yang notabene banyak dipimpin oleh rezim diktator atau militer, misalnya Thailand dan Myanmar.
Jika merujuk pada konteks tersebut, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam melihat mekanisme pemantauan pemilu oleh lembaga internasional ini. Pertama, lembaga ini cenderung bekerja sebagai pendorong proses demokratisasi dan sebagai pengawal pergantian rezim dari otoriter menuju demokratis. Kedua, adanya kepentingan barat dalam mengekspor penyebaran nilai-nilai demokrasi.
Artinya, lembaga-lembaga ini akan berperan ketika benar-benar terjadi krisis politik yang cukup pelik dalam suatu negara, misalnya yang terjadi di Indonesia pada Pemilu 1999.
Lalu, jika melihat gelora oposisi di balik tagar #IndonesiaCallsObservers ini, mungkinkah kondisi politik di Indonesia saat ini memang tengah berada pada titik krisis, sehingga membutuhkan bantuan pemantau Internasional?
Delegitimasi Pemilu?
Kontestasi perebutan kekuasaan dalam Pilpres 2019 kali ini memang dapat dikatakan cukup drmatis. Hal ini wajar terjadi, mengingat kini hanya ada dua calon yang maju dan bertarung memperebutkan kursi kekuasaan. Terlebih lagi, dua calon ini merupakan rival lama yang telah bertarung di Pilpres sebelumnya.
Dalam konteks ini, kubu oposisi memang terlihat melakukan gempuran-gempuran politik yang cukup keras kepada kubu petahana, termasuk dengan menggelorakan tagar #IndonesiaCallsObservers.
Dengan kata lain, kubu oposisi terlihat konsisten menggunakan strategi persuasi publik melalui konstruksi kondisi genting beberapa waktu belakangan ini.
Oleh karenanya, kekhawatiran akan adanya praktik kecurangan pada Pemilu menjadi narasi yang kerap digaungkan oleh mereka, salah satunya melalui wacana pemanggilan lembaga pengawas Pemilu internasional tersebut.
Dengan demikian, mungkin saja strategi mendelegitimasi pemilu menjadi salah satu andalan bagi kubu oposisi saat ini, termasuk dengan jalan mengglorifikasi pentingnya Pemilu di Indonesia diawasi oleh pihak internasional.
Jika ditarik ke belakang, kubu oposisi juga sering menyorot kinerja KPU – lembaga yang kerap kali menjadi sasaran kritik.
Sebut saja kritik tentang kotak suara, mempermasalahkan DPT, hingga hoaks tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos, yang semuanya sering menjadi headline berita dalam beberapa bulan menjelang Pilpres ini.
Klo hanya sekedar undang KPU negara2 lain — itu bakal lebih banyak basa-basinya doang, Undang Carter Center, lebih kredible untuk awasi Pilpress di banyak negara ?? https://t.co/HtrT3e3WwB
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) March 25, 2019
Dalam konteks kritikan tersebut, terlihat bahwa adanya perasaan insecurity atau tidak aman dari kubu oposisi dan hal itu memang wajar terjadi dalam setiap gelaran pesta demokrasi lima tahunan. Apalagi, kali ini mereka akan bertarung melawan petahana yang tentu punya sumber daya politik yang jauh lebih mumpuni.
Dengan demikian, jika diindikasikan ada kecurangan dalam Pemilu, lembaga-lembaga pamantau bisa dijadikan alat legitimasi tuduhan tersebut.
Hal ini selaras dengan penelitian Lucilia Pereira yang berjudul Free and Fair: The Politicization of Election Monitoring Reports yang menemukan bahwa politisasi terhadap laporan monitoring Pemilu jamak terjadi di beberapa negara.
Hal ini disebabkan karena pihak oposisi dari sebuah pemerintahan memang memiliki kepentingan untuk mempersoalkan legitimasi kontestasi elektoral itu yang pada kadar tertentu akan berdampak terhadap kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Sehingga, memanggil pengawas Pemilu internasional merupakan salah satu cara terbaik untuk mengawasi jalannya proses demokrasi itu, sekaligus untuk mengantisipasi kekalahan.
Meskipun demikian, konteks sejauh mana intervensi yang dapat dilakukan oleh lembaga pemantau internasional ini terhadap Pemilu di Indonesia juga masih perlu diperdebatkan, mengingat otoritasnya yang terbatas.
Selain itu, menurut laporan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pasca Pemilu 1999, aktivitas pemantauan Pemilu mulai terasa menurun seiring konteks pergantian kekuasaan yang dianggap berjalan dengan lebih halus dan damai.
Dalam Pemilu kali ini, KPU pun dikabarkan hanya akan menempatkan lembaga asing pengawas Pemilu ini di sebagian titik di Jakarta dan sekitarnya saja. Sehingga, wilayah kerja para pemantau asing ini tak dapat dikatakan menyeluruh dan tak mampu menggambarkan apa yang terjadi dalam sebuah Pemilu secara utuh.
Tentu saja fakta di atas menunjukkan bahwa adanya lembaga asing pemantau Pemilu tak menjamin bahwa kecurangan dalam Pemilu 2019 dapat dihindari.
Turki adalah salah satu contoh negara di mana adanya lembaga asing pemantau Pemilu hanya berakhir sia-sia. Kekuasaan Erdogan yang begitu absolut menyebabkan dirinya kembali terpilih sebagai Presiden Turki pada tahun 2018 lalu di tengah tuduhan kecurangan di beberapa tempat.
Adanya 415 petugas pemantau dari delapan organisasi internasional kala itu nyatanya tak mampu berbuat banyak. Bahkan beberapa di antara mereka disebut mendapatkan pencekalan dari otoritas setempat.
Hal inilah yang disebut oleh Judith Kelley sebagai bentuk pseudo-monitoring atau monitoring semu di mana lembaga asing memang tak punya otoritas berlebihan untuk mengintervensi Pemilu melebihi otoritas negara.
Pada akhirnya, terlepas apakah benar kubu oposisi sedang mendelegitimasi Pemilu dengan ramai-ramai “memanggil” pemantau Pemilu asing ini, tentu publik berharap kontestasi elektoral di tahun ini bisa berlangsung dengan aman dan damai tanpa kecurangan. Sebab, jika Pemilu-nya curang, maka akan ada dampak besar terhadap legitimasi pemerintahan yang terbentuk nantinya. Bukan begitu? (M39)