HomeNalar PolitikIndonesia Ulangi Kesalahan Flu Spanyol?

Indonesia Ulangi Kesalahan Flu Spanyol?

Sedari awal, terdapat skeptisisme dari berbagai negara terkait mengapa Indonesia masih berstatus negatif virus corona. Kendati pemerintah Indonesia berulang kali memberikan pernyataan resmi, menariknya negara seperti Arab Saudi dan India justru mengeluarkan kebijakan yang terkesan tidak percaya terhadap pernyataan tersebut. Itu misalnya terlihat dari Arab Saudi yang menyetop jamaah umroh asal Indonesia.  India juga melakukan hal yang sama lewat pemeriksaan ketat terhadap penumpang pesawat asal Indonesia.


PinterPolitik.com

Beberapa waktu yang lalu kita mungkin masih mengingat perihal viralnya studi dari Harvard University yang menyebutkan seharusnya telah terdapat kasus virus corona di Indonesia. Studi itu sendiri mengkaji volume penerbangan dari Wuhan ke berbagai tujuan internasional – termasuk ke Indonesia – yang kemudian menyimpulkan semestinya terdapat satu sampai sepuluh kasus virus corona di Indonesia.

Dengan fakta bahwa larangan penerbangan dari dan ke Wuhan sendiri baru ditetapkan oleh pemerintah Indonesia setelah kasus virus ini menyebar pesat, mudah untuk memahami mengapa berbagai pihak menyebut simpulan studi tersebut sangat masuk akal.

Apalagi dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, serta daerah yang begitu luas dan berpulau-pulau, itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk mendeteksi seluruh warga negaranya.

Atas studi tersebut dan berbagai keraguan dari berbagai pihak lainnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan, dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan sampai memberikan pernyataan tegas untuk menekankan bahwa pemerintah memang tidak berbohong terkait status virus corona yang masih negatif.

Kendati telah berulang kali memberikan pernyataan resmi terkait virus corona, menariknya berbagai negara justru memberikan kesan bahwa mereka tidak percaya pada pernyataan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Bagaimana tidak, pada 23 Februari 2020 lalu, pemerintah India melalui Direktorat Jenderal Penerbangan Komersial India (DGCA) telah menetapkan pengawasan ketat terhadap penumpang pesawat asal 10 negara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Anehnya, di dalam daftar 10 negara tersebut, hanya Indonesia yang masih berstatus negatif virus corona.

Terbaru, pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Luar Negeri Kerajaan telah menetapkan larangan masuknya jamaah umroh dari negara yang dinilai berisiko virus corona. Anehnya lagi, Indonesia kembali masuk ke dalam daftar kendati menjadi satu-satunya negara yang masih berstatus negatif virus corona.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan menyebutkan bahwa hal itu adalah bukti pernyataan resmi pemerintah Indonesia terkait status negatif virus corona tidak dipercaya oleh berbagai negara.

Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari adanya skeptisisme terkait status negatif virus corona di Indonesia tersebut?

Bertolak dari Kasus Flu Spanyol

Sebelum terjadinya wabah virus corona ataupun wabah SARS pada 2003 lalu, dunia telah mengenal berbagai wabah flu lainnya yang bahkan sampai menelan jutawaan korban jiwa. Di berbagai kasus tersebut, pandemik Flu Spanyol pada tahun 1918 lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga dan begitu relevan sebagai rujukan untuk menjawab mengapa status negatif corona di Indonesia tidak dipercaya.

Kendati namanya adalah Flu Spanyol, wabah tersebut sebenarnya tidak berasal dari negeri Matador. Penamaannya demikian karena pemerintah Spanyol yang pertama kali secara terbuka memberitakan soal flu tersebut.

Terkait asal kasusnya sendiri, sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian mengungkapkan asalnya dari Tiongkok, namun penelitian lainnya menyebutkan berasal dari Kansas, Amerika Serikat (AS), karena ditemukannya kasus di instalasi angkatan darat AS di Fort Riley pada 11 Maret 1918.

Atas minimnya keterbukaan berbagai negara atas flu tersebut pada awalnya, boleh jadi itu menjadi faktor utama mengapa penyebaran flu tersebut begitu cepat dan masif, sehingga menelan korban jiwa yang diperkirakan mencapai 50 sampai 100 juta jiwa.

Tidak hanya menelan jutaan korban jiwa, wabah tersebut juga memberikan dampak yang besar bagi ekonomi dunia. Mark Humphery-Jenner dalam tulisannya di The Conversation, dengan mengutip analisis Kantor Anggaran Kongres AS (The US Congressional Budget) bahkan menyebutkan bahwa jika Flu Spanyol terjadi di AS pada 2006, maka itu dapat memangkas pertumbuhan ekonomi  AS sebesar 4,25 persen.

World Bank juga menaksir wabah tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia sampai sebesar 5 persen. Itu tentu merupakan angka yang fantastik.

Konteks serupa juga sebenarnya telah terjadi di kasus virus corona. Pasalnya, sebelum kasus tersebut menyebar luas, pemerintah Tiongkok pada awalnya menuduh delapan tenaga medis tengah menyebarkan hoaks tentang virus baru. Wali Kota Wuhan, Zhou Xianwang juga telah mengindikasikan bahwa Beijing setidaknya ikut bertanggung jawab atas kurangnya transparansi atas virus tersebut pada awalnya.

Apalagi, dengan fakta bahwa Wuhan adalah kota yang menjadi persimpangan jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota besar di Tiongkok, serta merupakan satu-satunya kota di Tiongkok tengah yang memiliki bandara dengan akses langsung ke lima benua. Tidak mengherankan mengapa penyebaran virus corona jauh lebih cepat dari SARS.

Tidak hanya di Tiongkok, pemerintah Iran juga melakukan represi terhadap berbagai media agar tidak menyebarluaskan informasi tentang virus corona. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya kasus virus corona yang telah mencapai 139 kasus, informasi terkait virus tersebut nampaknya tidak dapat lagi ditutup-tutupi. Jason Rezaian dalam tulisannya di The Washington Post, menyebutkan bahwa represi tersebut terjadi karena pemerintah Iran memang memiliki kekurangan dalam hal akuntabilitas.

Ada Motif Ekonomi?

Berbeda dengan Tiongkok ataupun Iran yang tidak lagi dapat menepis soal wabah corona karena jumlah kasus yang terus bertambah, sampai saat ini memang diketahui belum terdapat kasus virus corona yang diberitakan oleh berbagai media massa di Indonesia, sekalipun suspek atas kasus tersebut telah beberapa kali terdengar.

Dengan demikian, tentu tidaklah bijak apabila mengklaim bahwa kasus yang terjadi di Tiongkok dan Iran juga terjadi di Indonesia. Akan tetapi, dengan melakukan sedikit spekulasi, jika benar pemerintah Indonesia telah berbohong terkait status negatif virus corona, kita dapat menemukan motif yang cukup kuat di baliknya, khususnya terkait persoalan ekonomi.

Konteks tersebut dengan jelas terlihat dalam pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani baru-baru ini, di mana ia menyebutkan bahwa virus corona dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,7 persen.

Simpulan Sri Mulyani tersebut memang sangat masuk akal menimbang pada berbagai sektor seperti pariwisata, impor, hingga bisnis haji dan umroh akan terdampak atas wabah virus tersebut.

Pada sektor pariwisata misalnya, dengan adanya larangan penerbangan, praktis terjadi penurunan angka wisatawan mancanegara. Menyikapi hal tersebut, pemerintah bahkan sampai mengeluarkan kebijakan pemberian diskon tiket pesawat sebesar 40 sampai 50 persen untuk mendorong peningkatan angka kunjungan wisata.

Lalu pada sektor impor, virus corona dengan jelas memberikan dampak yang besar karena 30 persen total kuota impor Indonesia dipenuhi oleh Tiongkok. Dengan nilai yang mencapai US$ 44,5 miliar atau sekitar Rp 611 triliun tentu saja itu bukan angka yang kecil.

Kemudian, dengan adanya larangan umroh dari Arab Saudi, praktis itu membuat vakum bisnis haji dan umroh. Tidak hanya itu, jika larangan tersebut terus berlanjut sampai musim haji, bukan tidak mungkin itu akan menimbulkan gejolak sosial tersendiri di tengah masyarakat.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, terlepas dari benar tidaknya pemerintah Indonesia telah berbohong terkait status negatif virus corona, satu hal yang pasti bahwa wabah virus tersebut benar-benar dapat memberikan dampak ekonomi yang besar bagi Indonesia.

Terlebih lagi, apabila ternyata ditemukan adanya kasus virus corona di Indonesia, itu tentu dapat meningkatkan dampak ekonomi yang telah terjadi saat ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...